Bukan hal yang mudah merangkai senyum para korban tanpa adanya perjuangan. Tanmia Foundation sejak ( Jum’at 16/11 ) melawat ke Desa Malei Balaesang Tanjung Donggala untuk mendistribusikan logistik bantuan. Menempuh jarak 125 KM dari Palu menuju pantai barat ke jalur Lompio- Lambonga-Sirenja bukan hal mudah karena seringnya longsor terjadi bila musim hujan sudah tiba. Kendaraan pun sewaktu-waktu harus siap tertahan ditengah perjalanan.
Walhasil dengan armada angkut biasa-biasa saja menggunakan pick up jenis grand max tibalah di lokasi, banyak mengira kalau kami menggunakan armada double cabin yang jago medan berat dan terjal. Jalur Walandano-Malei-Manimbaya Balaesang Tanjung adalah dikenal dengan jalur berkelok curam dengan tanjakan tajam dan tebing-tebing terjal yang langsung menghadap ke jurang laut pesisir Donggala. Beresiko tapi inilah realita kondisinya.
Alhamdulillah dengan keinginan kuat untuk mengirim bantuan menembus daerah terisolir akhirnya usai maghrib sampailah tim Tanmia Foundation sampai di Dusun muallaf Walandano dan Malei. Sebanyak 100 Paket Logistik diturunkan di Posko Desa Malei tempat posko gabungan relawan kemanusiaan berada. Penat lelahnya perjalanan terbayar selain bisa berjumpa silaturahim dengan warga pun kami mendapat kabar akan segera diwujudkan bangunan masjid dan rumah quran di tengah belantara.
Semoga Allah memberkahi dan memudahkan urusan mereka.
Satu persatu gelondongan pohon kelapa kayu itu rencana akan ditebang untuk disatukan. Selanjutnya ditarik ke lembah pesisir, dirangkai kemudian menjadi tiang untuk dieratkan.
Perjuangan rangkaian kisah yang indah dan senyum bahagia mereka kelak. Meski ditengah belantara disana ada muallaf yang masih bercahaya dengan keimananya.
Memulai perjalanan jam 10 pagi dari pesisir Silae Kota Palu menjadi catatan kenangan sepanjang perjalanan. Jalur Pantai Barat Sulawesi Tengah dari Talise-Mamboro-Wani-Labuan-Sirenja adalah garis pesisir pantai yang hancur diterjang hantaman gempa dan tsunami.
Geografis Donggala yang membentang begitu panjang wilayah pantainya menjadi daerah yang masih minim perhatian penanganan sampai masa transisi darurat sekarang ini.
Balaesang Tanjung adalah bagian pemekaran dari kecamatan Balaesang darat yang terdiri dari 8 desa saja dari gerbang desa Lambonga sampai kampung ujung pedalaman Tanjung Manimbaya.
“Balaesang Tanjung sempat terisolasi selama 10 hari pasca gempa sejak 28/9 karena banyaknya titik longsoran material batu yang memutus akses jalan utama” jelas Iqbal Ketua Posko warga Balaesang Tanjung. Warga lebih sering gotong royong membuka akses jalan dibanding harus menunggu evakuasi alat berat yang kadang harus lama menunggunya.
Iqbal berinisiatif membuka posko sejak sepekan pasca gempa terjadi karena banyak kerabat yang menjadi korban gempa dan bertahan berhari-hari dengan apa yang ada.
“Warga hampir sepekan bertahan dengan parutan pohon sagu dan sisa buah atau makanan yang bisa membantunya menahan lapar”, ungkap Nirsam adik Iqbal salah satu warga Malei yang bertemu di persimpangan jalan sore itu. Listrik pun padam sampai tiga pekan dan baru normal akhir-akhir ini.
Berada di Walandano dan Malei Balaesang Tanjung Donggala melihat-lihat aktivitas warga adalah sebagai petani kelapa dan nelayan.
Kehidupan di antara perbukitan dan tebing terjal yang bisa dijangkau lewat darat dan laut lepas menarik untuk dituliskan. Jalan kebaikan selalu terbuka bagi mereka yang beriman dan yakin dengan balasan indahnya berbagi.
Ali Azmi
Relawan Tanmia
Palu Sulteng