Perjalanan silaturahim team Tanmia Jakarta ke warga muslim muallaf dusun Cuntel Kopeng harus menempuh jarak 60 KM dari kota Yogyakarta. Dusun terakhir ini berada di lereng pendakian Merbabu yang pada kesempatan ini menuju lokasi bersama tim rombongan Ukhuwah Muallaf Indonesia ( UMI ) pimpinan Ibu Dosmauli Simbolon, mantan pendeta yang akhirnya menjadi muallaf.
Berikut ini menyimak kisah para lansia muallaf yang masih gigih untuk belajar Alquran.
Dinomo. 79 tahun, memulai belajar Iqra’ setahun ini di Masjid Baiturrahman dusun Cuntel Desa Kopeng Kabupaten Semarang. Keinginan untuk bisa membaca Al-Qur’an pada usianya yang sudah lanjut sungguh menakjubkan. Cita-citanya untuk bisa mengkhatamkan Qur’an memang tidaklah mudah dan instan, berbagai hal harus dilaluinya dengan kesabaran dan juga pengorbanannya yang tidaklah ringan.
Motivasi yang kuat mendorong Kakek Dinomo sampai sekarang ini masih gigih belajar Al-Qur’an. Sebenarnya diumur yang sudah lanjut keinginan saya untuk bisa membaca Al-Qur’an tetap masih ada. Sudah lama menunggu-nunggu tapi terkendala banyak hal, disamping belum ada guru yang siap menjadi pengajar juga faktor fisiknya yang makin membungkuk menjadi kendala tersendiri yang dihadapinya.
“Jejak masalalu pernah bertahun-tahun menjadi ketua gereja Pantekosta dan gereja Bethel di wilayah Cuntel, Alhamdulillah atas ijin Allah akhirnya tergerak untuk memeluk islam menjadi muallaf akhirnya”, jelas sang kakek dengan senyum polosnya usai belajar membaca iqra.
Keinginanya untuk belajar Alquran terus membara padahal fisiknya makin menua. Usia bukan lagi menjadi halangan dirinya untuk tidak memulai belajar, hingga kondisi keadaan tidak membuatnya menyerah begitu saja.Berikut singkat kisah bagaimana awal perjalanan Mbah Dinomo belajar membaca Qur’an ?
Saya mulai belajar ketika awalnya Ibu Ully bersama tim Ukhwah Muallaf Indonesia datang meluangkan waktu setiap Jumat sore mengajar kami. Ketika itu tahunya mengaji sebatas ikut menghadiri ceramah di pengajian itupun jarang sekali. Belum tentu setiap bulan itu ada.
Seiring waktu kehadiran rutin para pengajar UMI lambat laun terdorong semangat untuk belajar bersama para lansia yang lain. Dari sinilah, saya dan para lansia yang lain memulai belajar Al-Qur’an, setiap Jum’at sore berlatih dengan Iqra’.
Bagaimana langkah yang kakek gunakan untuk bisa belajar ?
Setiap hari, setelah belajar hari Jum’at bersama tim UMI kami membukanya lagi dirumah dan mengulanginya lagi baris demi baris hingga satu halaman. Keesokan harinya, sebelum berangkat ke ladang mengulangi ayat-ayat tersebut. Tak cukup itu saja, saya pun sering bertanya pada imam atau tetangga muslim yang sudah bisa.
Tim UMI memang menetapkan jadwal setiap hari Jum’at sore khusus untuk mengajar warga lansia di dusun Cuntel Kopeng dan Merapi Sari. Sehingga apa yang sudah diajarkan akan kembali diulanginya lagi selama satu pekan.
Demikian seterusnya, para warga yang mayoritas lansia selalu berlatih belajar membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan Iqra’ tersebut. Jadwal kegiatan ini sudah berjalan selama tiga tahun hingga sekarang.
Mbah Tilah, Dusun Merapi Sari ( 96 tahun ) Selain kakek Dinomo tak mau ketinggalan ada Mbah Tilah ( 96 tahun ) asal dusun Merapi Sari Ngablak lereng Merbabu Magelang juga masih sabar belajar membaca Iqra’ demi keinginanya bisa membaca Qur’an. Keseharian nenek juga masih seperti biasanya beraktivitas berkebun sayur dan mencari rumput untuk ternaknya padahal usianya sudah cukup lanjut. Kini Mbah Tilah tengah belajar sampai Iqra’ jilid II kendati usianya terbilang sangat lanjut ia masih tetap berkeinginan belajar tanpa malu, bahkan cucu cicitnya terkadang yang menuntunya ketika belajar.
Awalnya mustahil bisa ikut belajar karena usia tetangga-tetangganya yang jauh lebih muda darinya. Tapi justru mereka malah berbalik menyemangati Mbah Tilah untuk tetap membulatkan tekad pantang menyerah sekalipun usianya sangat berpengaruh pada daya ingatnya yang semakin melemah. Tetapi ketika mereka melihat kebulatan tekadnya, akhirnya mereka pun tersulut untuk tak mau kalah untuk terus giat belajar dan sedikit demi sedikit hafalannya pun mulai bertambah.
“Ketika Mbah Tilah mulai beranjak bisa perlahan para lansia yang lain pun merasa takjub sangat bahagia bahkan tak sesekali air mata menetes di pipi mereka karena rasa bersyukurnya”, jelas Siti yang juga ikut belajar bersama-sama Mbah Tilah.
Selain belajar rutin Iqra setiap sekali sepekan, terkadang juga diisi dengan acara mabit dan pemberian santunan kepada warga yang kurang mampu.
Ali Azmi
Yogyakarta