Oleh : Kholid Mirbah, Lc
Di tengah pandemi wabah Covid-19 ini kita dituntut untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing, dan begitu pula mayoritas negara-negara di dunia, termasuk indonesia, melarang para warganya untuk mengadakan kegiatan yang mengundang perkumpulan masa dalam rangka untuk memutus rantai penyebaran covid-19, terlebih lagi mereka yang tinggal di zona merah seperti kami yang tinggal di Cibubur, Bekasi dan sekitarnya pun tak lepas dari himbauan ini, termasuk dalamnya dilarang menyelenggarakan ibadah shalat berjamaah bagi kaum muslimin di masjid-masjid, maka kita saksikan pemandangan bulan Ramadhan pada tahun ini dimana banyak masjid-masjid yang kosong dari aktivitas ibadah didalamnya termasuk berjamaah lima waktu, shalat tarawih dan juga kegiatan beritikaf di dalam masjid.
Maka sebagian dari kami berinisiatif untuk melakukan berbagai kegiatan Ramadhan di rumah masing-masing, dengan mengkhususkan satu ruangan tertentu untuk dijadikan sebagai masjid atau dikenal masjid al-bait/mushalla rumah, sehingga dapat digunakan untuk shalat berjamaah, membaca Al-Quran, berzikir termasuk I’tikaf sebagai upaya menghidupkan sunnah-sunnah di bulan Ramadhan. Nah apakah I’tikaf semacam ini diperbolehkan, tentunya dengan mengesampingkan masjid sebagai salah satu syarat sah I’tikaf yang termaktub dalam firman Allah swt
وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِی ٱلۡمَسَـٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ
Te-tapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
[Surat Al-Baqarah 187]
Nah sebelum kita membahas permasalahan tersebut lebih lanjut, maka alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengupas tentang hakikat I’tikaf.
a. Pengertian I’tikaf
I’tikaf secara bahasa adalah al-muktsu wal ihtibas yaitu menahan dan mengekang diri, maksudnya adalah menahan diri untuk mengerjakan aktivitas yang biasa ia lakukan.
Adapun secara istilah fuqaha’, diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Sulaiman Al-Bajirimi dalam Hasyiatihi ala Syarhi Minhajut Thullab, (2/91)
الإعتكاف هو أن يمكث المسلم في المسجد بنية العبادة
I’tikaf adalah seorang muslim berdiam diri dan menetap di dalam Masjid dengan niat ibadah.
Al-Imam Ibnu Qudamah didalam kitab Al-Mughni (3/186) mendefinisikan I’tikaf secara bahasa adalah,
الإعتكاف في اللغة لزوم الشيئ وحبس النفس عليه برا كان أو غيره
I’tikaf secara bahasa adalah diamnya sesuatu dan menahan diri dari perbuatan baik maupun yang buruk, diantara makna I’tikaf tersebut disebutkan di dalam firman Allah swt,
a. Ketika Nabi Ibrahim as menasehati ayahnya dan kaumnya agar menjauhi berhala,
Allah berfirman,
(إِذۡ قَالَ لِأَبِیهِ وَقَوۡمِهِۦ مَا هَـٰذِهِ ٱلتَّمَاثِیلُ ٱلَّتِیۤ أَنتُمۡ لَهَا عَـٰكِفُونَ)
(Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beri’tikaf disamping nya (menyembahnya)?”
[Surat Al-Anbiya’ 52]
b. Kisah Bani Israil yang berniat kembali musyrik setelah diselamatkan oleh Allah swt dari kejaran Firaun dan pengikut nya.
(وَجَـٰوَزۡنَا بِبَنِیۤ إِسۡرَ ٰۤءِیلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡا۟ عَلَىٰ قَوۡمࣲ یَعۡكُفُونَ عَلَىٰۤ أَصۡنَامࣲ لَّهُمۡۚ قَالُوا۟ یَـٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُونَ)
Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”
[Surat Al-A’raf 138]
Sedangkan secara istilah syariat beliau kemukakan tentang I’tikaf,
الإعتكاف هو الإقامة في المسجد على صفة نذكرها وهو قربة وطاعة
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam tujuan yang bersifat mendekatkan diri dan melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.
b. Dalil Pensyari’atan I’tikaf
I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.
Dalil dari Al Quran
-Firman Allah ta’ala,
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).
-Firman Allah ta’ala,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).
Penyandaran i’tikaf kepada masjid dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri ketika sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.
Dalil dari sunnah
-Hadits dari Aisyah ra, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”(HR. Bukhari Muslim)
Dalil Ijma’
Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah,
-Imam Muhyiddin An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu'(6/475)
فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع
“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.
c. Hikmah dibalik syariat I’tikaf
Imam As-Shawi dalam kitab Bulghatus Salik li aqrabil Masalik hal. 469 dalam Bab Al-I’tikaf ketika menjelaskan hikmah I’tikaf beliau berkata,
وكان من حكمة مشروعيته تصفية مرآة العقل والتشبه بالملائكة الكرام في وقته، أتبعه بالكلام على الاعتكاف التام الشبه بهم في استغراق الأوقات في العبادات، وحبس النفس عن الشهوات، وكف اللسان عما لا ينبغي“.
Diantara hikmah disyariatkannya I’tikaf adalah untuk Menjernihkan akal dan menyerupai keadaan para malaikat yang mulia, Kesamaan antara orang yang I’tikaf dengan para malaikat adalah didalam totalitas seluruh waktu digunakan untuk beribadah, menahan diri dari syahwat dan menahan lisan dari ucapan yang tak pantas.
Beliau lanjutkan,
“فـالاعتكاف فيه تسليم المعتكف نفسه بالكلية إلى عبادة الله تعالى طلب الزلفى ، وإبعاد النفس من شغل الدنيا التي هي مانعة عما يطلبه العبد من القربى ، وفيه استغراق المعتكف أوقاته في الصلاة إما حقيقة أو حكما ، لأن المقصد الأصلي من شرعية الاعتكاف انتظار الصلاة في الجماعات ، وتشبيه المعتكف نفسه بالملائكة الذين لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون ، ويسبحون الليل والنهار لا يفترون”.
“Maka I’tikaf hakikatnya ia berserah diri kepada Allah swt secara totalitas dalam beribadah, menjauhkan diri dari kesibukan dunia, dan didalamnya orang yang sedang I’tikaf menghabiskan waktunya dalam rangka menunaikan shalat, baik itu secara hakikat atau hukum. Karena tujuan utama dari syariat I’tikaf adalah menunggu waktu shalat berjamaah, menyamai kepribadian para malaikat yang tidak pernah bermaksiyat kepada perintah Allah swt, mengerjakan semua yang diperintahkan kepada mereka, senantiasa bertasbih kepada Allah siang malam dan tidak pernah merasa bosan.
d. Hukum I’tikaf
I’tikaf dibulan Ramadhan dan di bulan selainnya hukumnya sunnah, sehingga bagi pelakunya dapat pahala di sisi Allah swt, hanya saja status hukum sunnah ini dapat berubah menjadi wajib karena menjadi nazar bagi pelakunya.
Imam Ibnu Munzir dalam kitab Al-Ijma hal. 7.
وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه
“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”
Dan itu senada dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya (HR. Bukhari).
e. Syarat dan rukun I’tikaf
Sebelum melakukan i’tikaf, penting untuk memperhatikan syarat dan rukunnya, antara lain sebagai berikut:
Pertama, niat, dalam i’tikaf harus ada niat sehingga orang yang melakukannya paham apa yang harus dilakukan, tidak melamun, dan pikiran tidak kosong.
نويت الاعتكاف لله تعالى
“Saya niat I’tikaf karena Allah swt”
Kedua, diam di dalam masjid dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang beri’tikaf, sebagaimana firman Allah SWT “…Tetapi, jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS Al-Baqarah: 187).
Orang yang melakukan i’tikaf harus muslim, berakal, suci dari hadas besar (haid, nifas, keluar mani) dan harus di masjid.
f. Waktu I’tikaf
I’tikaf itu disyari’atkan setiap waktu, namun lebih ditekankan lagi di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan suci tersebut. Sedangkan bagi seseorang yang berniat itikaf di sepuluh malam terakhir maka hendaklah dia memasuki masjid atau memulai itikafnya sebelum terbenam matahari di malam 21 Ramadhan, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
g. I’tikaf bagi wanita.
Para Ulama telah bersepakat tentang sahnya wanita untuk beri’tikaf, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang tempat mereka harus beri’tikaf,
-Jumhur ulama mengatakan bahwa wanita diwajibkan I’tikaf di masjid, karena adanya riwayat dari Ibnu Abbas ra ketika beliau ditanya tentang wanita yang bernazar untuk beri’tikaf di rumahnya, maka beliau menjawab, “Bid’ah, dan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah membuat bid’ah. Maka, tidak sah I’tikaf kecuali didalam masjid yang didalam nya ditegakkan shalat jamaah, karena rumah tidak sama dengan masjid baik itu secara hakikat maupun hukum, karena dirumah orang yang sedang junub boleh berdiam diri sedangkan di masjid tidak diperbolehkan, seandainya hal itu boleh niscaya istri-istri Rasul saw pasti melakukannya walaupun hanya sekali, namun kita tak mendapatkan riwayat semacam itu.
-Adapun kelompok Hanafiyah dan pendapat imam Syafi’i dalam qoul qadim memperbolehkan wanita untuk I’tikaf di rumahnya (ruangan khusus untuk ibadah di dalam rumah/mushalla rumah), karena memang ruangan itu tempat khusus untuk ia shalat, dan makruh bagi ia untuk I’tikaf di masjid jami’ yang dipakai untuk shalat berjamaah, mereka berpendapat bahwa Rumah itu lebih afdhol baginya dari pada masjid kampungnya, sedangkan masjid kampungnya itu lebih afdhol baginya dari pada masjid kota. Dan tidak diperbolehkan bagi wanita untuk I’tikaf diselain ruangan khusus untuk shalat di rumahnya. Adapun bagi laki-laki seluruh ulama bersepakat bahwa I’tikaf nya harus di masjid, karena masjid adalah salah satu rukun dalam I’tikaf. Sekalipun demikian Ibnu Lubabah Al-Maliki memiliki pendapat berbeda yaitu kebolehan I’tikaf bukan di masjid seperti yang dikatakan oleh Ibnu Bazizi Al-Maliki: “Dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa I’tikaf yang syar’i tidak sah kecuali di masjid, dan Ibnu Lubabah mengatakan sah di selain masjid”. Begitu pula sebagian ulama Malikiyah memperbolehkan Itikaf bagi lelaki dan wanita di rumah, karena I’tikaf itu hukumnya sunnah, dan perkara yang sunnah lebih baik dilaksanakan di rumah (Raudhatul Mustabin juz 1 hal 548)
h. Bagaimana sikap kita I’tikaf dirumah atau di masjid di tengah pandemi covid-19 ini?
Tidak diragukan lagi bahwa Masjid sebagai bagian rukun dari I’tikaf tidak terbantahkan lagi karena adanya nash dari Al Quran dan Hadits, perbuatan Rasulullah saw dan para sahabatnya, dan memang di masjid lah tercapai tujuan I’tikaf yaitu menahan diri dari syahwat dan totalitas dalam beribadah, adapun I’tikaf seorang lelaki di rumahnya mencegah nya untuk meraih maksud dan tujuan I’tikaf itu sendiri.
Hanya saja karena keadaan yang mendesak kau muslimin untuk tetap tinggal dirumah dalam rangka pencegahan tertular wabah virus covid-19, maka jumhur ulama merajihkan pendapat dari ulama Malikiyah dengan catatan:
a. I’tikaf hanya boleh dilakukan diruangan khusus untuk shalat dan ibadah/mushalla rumah, tidak boleh dilakukan disetiap ruangan yang ada di rumah.
b. Ia harus komitmen I’tikaf di mushalla rumah dengan tidak keluar darinya kecuali karena hal yang sangat mendesak, seperti buang air dan lainnya, adapun ia keluar masuk keliling rumah maka ini bukanlah I’tikaf.
c. Menyibukkan diri dengan berbagai ibadah sewaktu I’tikaf di mushalla rumahnya seperti membaca Al Quran, berzikir, shalat, sehingga dengannya terwujud maksud dan tujuan I’tikaf
d. Ikhtiyar seperti ini dibangun karena menyesuaikan kondisi yang ada, namun ketika uzur ini telah hilang maka kembali kepada hukum asal yaitu I’tikaf harus di masjid, kecuali bagi wanita yang sebagian ulama memperbolehkan I’tikaf di mushalla rumahnya.
e. Pendapat yang mengatakan bolehnya I’tikaf di rumah itu lebih mengacu pada sisi maslahatnya, karena dalam rangka menjaga syiar dibulan Ramadhan, dan dalam Kaidah fiqih dikatakan,
” الإعمال مع سقوط بعض الشروط أولى من الإسقاط بالكلية”
Mengamalkan suatu amalan dengan menggugurkan sebagian syarat-syarat nya itu lebih baik dari pada meninggalkan amalan tersebut secara totalitas.
Wallahua’lam bish Shawab!