Negeri Tanpa Pajak

Ribut-ribut soal pajak. Pajak merupakan penopang terbesar APBN Indonesia. Pembiayaan terbesar negara ini berasal dari pajak. Sehingga negara ini sangat bergantung pada pajak untuk pembangunan dan penggajian pegawainya.

Tapi seiring dengan itu bermunculan para pegawai pajak yang kaya raya, walau hanya bergaji kecil. Lembaga pajak pun dinobatkan sebagai salah satu lembaga paling korup di negara muslim ini. Padahal disinyalir yang ditangkap baru tikus kecil. Para pemimpinnya berlaku bak pahlawan yang sedang mengusir dan membantai tikus.

Para ahli bicara. Semua memberi komentar. Kalimat paling standar pun muncul; kalau di rumah ada tikus, bunuh tikusnya jangan bakar rumahnya. Belum pernah ada yang berani sekadar berwacana: Negeri Tanpa Pajak. Walau sekadar berwacana. Tidak para ahli itu. Tidak para pengamat. Tidak para motivator yang biasa mengajak orang keluar dari kebiasaan. Tidak pemimpin agama.

Yang ada justru berbagai macam jenis pajak terus bermunculan. Pemerintah yang berhasil mengumpulkan pajak paling banyak sebagai income negara dianggap yang paling sukses. Saking liarnya wacana pajak, rakyat kecil yang hanya berjualan di sepanjang trotoar pun diwacanakan harus dipajaki. Nah, di sinilah dahsyatnya iman dan ilmu. Kalau sulit dijumpai orang yang sekadar berwacana tentang negeri tanpa pajak. Pembahasan kita ini bukan saja wacana. Bahkan merupakan iman! Dan telah teruji secara empiris!!!

Pajak, Warisan Romawi dan Persia

Dua negara adidaya itu yang mengajari tentang pajak. Berbagai macam pajak diwajibkan kepada rakyat. Tidak peduli apakah mereka tersiksa atau sekarat. Hidup semakin sulit. Sementara harta terkumpul di istana. Pantas saja, dua imperium besar itu layak dan harus ditutup. Karena kekuasaan yang dibangun di atas kedzaliman. Dan hanya Islam yang mampu menutupnya. Di zaman Khalifah adil Umar bin Khattab, keduanya berhasil tutup buku!

Berikut ini penjelasan Prof. Dr. Akram Dhiya’ dalam ‘Ashr al Khilafah Ar Rasyidah tentang Romawi,
“Adapun keadaan ekonominya, riba dan penimbunan adalah merupakan asas aturannya.Kaisar Heraklius mewajibkan pajak-pajak baru terhadap penduduk wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, untuk menutup hutang besar pembiayaan perang dengan Persia.”

Selanjutnya, Akram menjelaskan dampak pajak-pajak yang semakin membuat income negara semakin besar tetapi membuat rakyat semakin sengsara,
“Emperium Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis, diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan.”

Akram menukil tulisan Alfred J. Butler dari bukunya Arab Conquest of Egypt sebagai penguat hal tersebut,
“Cukuplah untuk menjelaskan bagaimana Emperium Romawi mengatur wilayah-wilayahnya dengan melihat tulisan Butler tentang pengaturan Mesir: Romawi di Mesir menetapkan pajak jiwa juga pajak-pajak yang jenisnya banyak sekali.

Dia juga menjelaskan: Tidak diragukan lagi, pajak-pajak Romawi di luar kemampuan masyarakatnya. Dijalankan tanpa mempedulikan asas keadilan.

Dia kembali menjelaskan: Pemerintahan Romawi di Mesir hanya memiliki satu tujuan yaitu mengumpulkan harta sebanyak-sebanyaknya dari rakyat untuk pundi-pundi bagi para penguasa.

Akram juga menukil literatur lain tulisan William J. Durant sebagai penguat: Bahkan masyarakat asli Romawi sendiri merasa keberatan terhadap pajak-pajak tersebut, khususnya para petani yang terpaksa menjual tanah-tanah mereka untuk membayar pajak dan kemudian pergi meninggalkan kotanya.

Keadaan ketika masyarakat tercekik oleh pajak yang digunakan untuk pesta para penguasa, membuat mereka berlari ketika ada alternatif lain. Apalagi yang datang bukan buaya sebagai pengganti singa. Benar-benar generasi cahaya.

Saat Amr bin Ash memimpin penaklukan Mesir, dia menjumpai masyarakat Mesir justru menyambut dengan baik kehadiran muslimin. Apalagi mereka telah mendengar keadilan muslimin begitu terkenal di seluruh dunia.

Amr bin Ash berangkat dari Paletina, masuk ke Mesir melalui Rafah, menuju Arisy terus ke Farma berikutnya Kairo dan Iskandariyah.

DR. Ali Ash Shalaby berkata, “Amr maju (masuk Mesir) ke arah barat, dia tidak menemui pasukan Romawi kecuali setelah sampai di wilayah Farma. Adapun sebelum wilayah itu, masyarakat Mesir menyambutnya ucapan selamat datang dan kegembiraan.”

Sebenarnya ini ancaman bagi negeri manapun. Masyarakat yang sudah muak dengan pajak yang semakin menyulitkan dan para penguasa yang berpesta, mereka akan segera menumpahkan kesetiaannya bagi kekuatan yang membebaskan mereka dari perpajakan. Untuk itulah setelah Amr bin Ash berhasil membuka Mesir, dia resmi mengumumkan ditutupnya pajak. Dan begitulah diberlakukan di seluruh dunia kekhilafahan saat itu.

Penghapusan Pajak di Pemerintahan Nuruddin Az Zenky

Nuruddin Az Zenky adalah seorang penguasa muslim yang hebat. Menegakkan aturan Islam di masyarakat. Menjaga keutuhan negara dari berbagai serangan; baik dari sekte-sekte sesat dan pasukan salib. Dialah yang berhasil menyatukan kembali Syam yang terkoyak karena perpecahan dan akhirnya lemah di hadapan musuh Islam. Negara menjadi tempat yang nyaman untuk beraktifitas ekonomi. Keamanan, kemakmuran, berawal dari keadilan dan jihad Nuruddin Mahmud Az Zenky. DR. Ali Ash Shalaby menulis buku:

عصر الدولة الزنكية ونجاح المشروع الإسلامي بقيادة نور الدين محمود الشهيد في مقاومة التغلغل الباطني والغزو الصليبي

(Pemerintahan Zenky Keberhasilan Gerakan Islam dipimpin Nuruddin Mahmud Asy Syahid menghadapi Kebatinan dan Perang Salib)

Salah satu konsep Nuruddin Az Zenky membangun keadilan, kebesaran dan kemakmuran negara adalah dengan dihilangkan semua bentuk pajak dan pungutan. Seluruh wilayahnya; Syam, Jazirah Arab, Mesir dan lainnya tadinya harus mengeluarkan pajak dengan besaran hingga mencapai 45%. Pengumuman resmi kenegaraan disampaikannya di seluruh wilayah, di masjid-masjid. Inilah yang dibacakan oleh Nuruddin di Mosul tahun 566 H di hadapan masyarakat:

وقد قنعنا من الأموال باليسير من الحلال، فسحقا للسحت، ومحقاً للحرام الحقيق بالمقت، وبعداً لما يبعد من رضا الرب، وقد استخرنا الله وتقربنا إليه بإسقاط كل مكس وضريبة في كل ولاية لنا بعيدة أو قريبة ومحو كل سنة سيئة شنيعة، ونفي كل مظلمة فظيعة وإحياء كل سنة حسنة .. إيثاراً للثواب الآجل على الحطام العاجل

“Kami rela dengan harta yang sedikit tapi halal, celakalah harta haram itu, sungguh celaka. Jauh dari ridho Robb. Kami telah istikhoroh kepada Allah dan mendekatkan diri kepada Nya dengan menghapus segala bentuk pungutan dan pajak di semua wilayah; yang dekat ataupun yang jauh. Menghilangkan semua jalan buruk, meniadakan setiap kedzaliman dan menghidupkan setiap sunnah (jalan) yang baik…lebih memilih balasan di kemudian hari di bandingkan kehancuran yang segera.”

Tak hanya membacakan resmi keputusan baru negara di setiap wilayahnya. Tetapi Nuruddin juga memohon kepada para khatib-khatib di masjid-masjid untuk menyampaikan permohonan maaf negara atas pungutan dan pajak yang selama ini diambil.

Pemerintahan Nuruddin Zenky selanjutnya memberikan ancaman hingga hukuman mati bagi siapapun pejabat yang masih melakukan pungutan atau pajak. Pasti kemudian muncul pertanyaan: dari mana, negara membiayai semua kegiatannya. Islam mempunyai jawaban yang sangat lengkap. Sumber pemasukan negara yang ditetapkan Islam halal dan berkah. Kehalalan dan keberkahan lah yang membuat negara justru menjadi lebih banyak pemasukannya.

Tulisan ini belum membahas detail masalah itu. Dan justru di sinilah pentingnya para ulama hari ini menyuguhkan konsep jelas dan detailnya.
Tetapi mari kita dengarkan hasil global yang diperoleh oleh pemerintahan Nuruddin.

DR. Ali Ash Shalaby menjelaskan, “Hasil yang lazim setelah itu, masyarakat menjadi lebih giat untuk bekerja. Para pebisnis mau mengeluarkan harta-harta mereka untuk terus berbisnis. Pungutan yang sesuai dengan syariat justru berlipat-lipat lebih banyak dibandingkan pungutan haram.”

Kemudian dia menukil kalimat Ibnu Khaldun: “Perlakuan tidak baik terhadap harta masyarakat, akan melenyapkan harapan mereka dalam mengembangkan harta mereka. Karena mereka sadar, ujungnya uang mereka akan hilang dari tangan. ika ini terjadi, maka mereka akan cenderung menahan diri untuk berkarya. Tergantung seberapa besar kedzaliman terhadap mereka, sebesar itulah mereka menahan diri dari pengembangan harta. Maka rugilah pasar-pasar, gedung-gedung dan rusaklah keadaan…..kedzaliman terhadap harta masyarakat, kehormatan, darah dan rahasia mereka menyebabkan keguncangan dan kerusakan sekaligus. Negara pun runtuh dengan cepat.”

Hasil baik dari penghapusan pajak yang sering tidak diduga di zaman egois seperti ini adalah peran orang-orang kaya terhadap masyarakat miskin. Terbentuklah masyarakat yang saling menanggung dan menjamin seperti yang terjadi di pemerintahan Nuruddin Zenky. Hal ini mereka lakukan karena meneladani pemimpin negara sekaligus mengharap balasan dari Allah. Sehingga bermunculanlah swadaya untuk membangun sekolah-sekolah, masjid-masjid, rumah-rumah yatim dan sebagainya.

So, solusi itu memang hanya ada di Islam.

Negeri tanpa pajak bukanlah wacana. Negeri tanpa pajak adalah solusi pembangunan yang benar-benar membangun. *)

Oleh: Ust. Budi Ashari, Lc

Kaya Raya Tapi Tidak Wajib Zakat

Zakat adalah salah satu mekanisme syariat untuk menghilangkan ketimpangan antar si kaya dan si papa, satu cara yang sangat sempurna untuk membantu meningkatkan taraf hidup saudara sesama muslim, ia juga merupakan salah satu wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada sahabat Mua’dz bin Jabal radhiyallahu anhu saat beliau mengutusnya ke Yaman sebagai Dai untuk mendakwahkan islam, beliau berpesan:

“Sampaikan kepada penduduk Yaman bahwasanya Allah mewajibkan zakat pada harta mereka, yang diambil dari orang kaya kemudian dikembalikan kepada orang miskin di antara mereka”. (HR Albukhari dan Muslim).

Memang zakat harus diambil dari orang kaya lalu dikembalikan kepada orang miskin, seperti juga firman Allah ta’ala:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS Attubah:103).

Dari hadits dan ayat di atas dapat disimpulkan bahwasanya zakat diambil dari orang kaya dan kemudian dikembalikan kepada orang miskin, demi menjaga hubungan baik antar si kaya dan si miskin serta untuk mewujudkan kesetaraan dan kesempatan untuk mendapatkan modal dan usaha, bila syariat ini dapat ditegakkan dengan baik maka in syaa Allah masalah kemiskinan sedikit demi sedikit akan terkikis habis.

Namun bila syariat zakat tidak terlaksana dengan baik maka akan terjadi ketidak stabilan dalam masyarakat, sehingga muncul percurian, perampokan, perjudian dll. Ini adalah salah satu dari sekian banyak dari pada akibat tidak melaksanakan syariat Zakat.

Redaksi ayat dan hadits di atas yang menggunakan lafaz “ambil” dan “kembalikan” memberikan isyarat kuat bahwasanya dalam harta si Kaya ada harta si Miskin yang harus diambil, lalu dikembalikan pada si Miskin, secara tegas bahwa bagian harta yang kena zakat bukanlah milik si kaya, konsekwensinya kalau si Kaya tidak mengeluarkan harta zakat itu berarti ia mengambil harta yang bukan milik dirinya.

Dalam perjalanan sejarah hidup manusia tercatat orang – orang yang hartanya melimpah ruah namun tidak kena kewajiban Zakat, sebut saja salah satunya adalah Allaits bin Sa’ad, pendiri madzhab fikih, Seorang ulama besar asal Mesir, beliau adalah kebanggaan orang Mesir.

Beliau lahir tahun 94 H dan wafat tahun 175 H pada usia 81 tahun, beliau adalah guru dari Imam Syafii, imam Syafii berguru kepada imam Malik di Madinah dan berguru pula pada Imam Allaits bin Sa’ad di Mesir, Imam Syafii berkata: Allaits bin Sa’ad lebih faqih (Alim) dari Imam Malik, hanya saja murid-murid Allaits bin Sa’ad tidak menyebarkan ilmu guru mereka sehingga madzhad Allaits bin Sa’ad tidak tersebar luas seperti madzhab Imam Syafii dan Imam Malik.

Allaits bin Sa’ad belajar islam dari para Tabi’in di Mesir, pada usianya yang 20 beliau melakukan safar ke Madinah untuk belajar hadits langsung dari pakarnya pada zaman itu, yaitu Imam Ibnu Syihab Azzuhri.

Allaits bin Sa’ad terkenal dengan kekayaan dan kedermawanannya, sehingga ia memberi makan faqir miskin sepanjang tahun, bahkan dikisahkan selama 40 tahun beliau selalu makan dengan orang – orang yang selalu beliau jamu, juga membiayai para ulama, guru agama di berbagai wilayah, bukan hanya di Mesir saja namun kebaikan Allaits bertabur hingga Bagdad, ia memberikan bantuan untuk para ulama, Dai dan para sahabatnya hingga di berbagai daerah.

Dalam satu riwayat disebutkan penghasilan Allaits tiap tahun ada 50.000 dinar emas, bila harga Dinar hari ini Rp 3.500.000/ keping maka total penghasilan beliau 175.000.000.000 (175 Milyard) per tahun, namun penghasilan sebegitu besarnya tidak membuat beliau silau dengan kehidupan dunia, beliau lebih memilih hidup sederhana, dan makan dengan menu ala kadarnya Roti dan minyak Zaitun saja, ini menu favourite dari hidangan makan beliau sehari – hari.

Punya penghasilan 170 M per tahun tentu penghasilan yang sangat besar, namun di akhir tahun ia tidak kena kewajiban zakat, karena sebelum haul tiba dana 170 M itu sudah ia bagikan pada mereka yang membutuhkan, sehingga bila haul datang hartanya tidak sampai nishab (batas minimal kelayakan) zakat, pernah suatu hari beliau bertamu ke rumah Imam Malik di Madinah, Imam Malik sang Sahibul bait memberikan suguhan kepada Allaits satu mangkuk ruthab (kurma segar), Allaits menerima satu mangkuk ruthab itu lalu mengembalikan magkuk tersebut dengan diisi penuh dengan uang dinar.

Seorang wanita datang ke rumah Allaits bin Sa’ad mengadukan bahwa putranya sedang sakit, putranya sedang ingin minum madu, lalu Allaits meminta pembantunya untuk mengirim madu ke rumah wanita itu hampir 200 Kg.

Imam Malik di Madinah adalah sahabat Imam Allaits, meskipun ada silang pendapat masalah fikih di antara mereka, namun hal itu tidak membuat mereka bertengkar, suatu ketika Imam Malik mengirim surat kepada Allaits di Mesir meminta minyak wangi untuk acara pernikahan putri beliau, lalu Allaits mengirim minyak wangi ke Madinah di bawa oleh 30 ekor unta, melihat minyak wangi sangat banyak itu imam malik membagikannya kepada sahabat, tengga, acara nikahan putri beliau, dan sisanya masih sangat banyak, kemudian Imam Malik menjual minyak wangi tersebut 500 dinar emas (500 X 3.500.000= 1.750.000.000).

Ini adalah sekelumit dari potret kehidupan manusia hebat, ulama besar, saudagar kaya, pengusaha sukses yang namanya masih harum hingga sekarang, ilmu beliau dinikmati kaum muslimin hingga hari ini.

Namun Allah Yang Rahman dan Rahim menciptakan manusia seperti ini ada di setiap zaman, barangkali orang seperti ini di zaman ini juga ada, bisa saja ada di lingkungan kita, mungkin saja kita kurang gaul sehingga belum mengenal mereka, semoga Allah memperbanyak manusia seperti ini untuk kejayaan islam dan kaum muslimin.

 

Silaturrahim Via Online, Bolehkah?

Menyambung silaturahim adalah salah satu amalan yang mulia dan kewajiban dalam agama. Banyak ayat Al Qur’an dan hadits yang memerintahkan kita untuk menyambung tali silaturahim serta menerangkan berbagai keutamaannya.

Allah swt memerintahkan untuk menyambung tali silaturahim, dalam firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36).

Bahkan diantara salah satu sifat Ulul Albab yang dipuji oleh Allah swt dalam Al Quran adalah mereka yang rajin menyambung Silaturrahim.
Allah swt berfirman,

(وَٱلَّذِینَ یَصِلُونَ مَاۤ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦۤ أَن یُوصَلَ وَیَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ وَیَخَافُونَ سُوۤءَ ٱلۡحِسَابِ)

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”
(Surat Ar-Ra’d 21)

Dan yang dimaksud dengan menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan sebagaimana perkataan Ibnu Katsir dalam kitab tafsir nya,

صِلَةِ الْأَرْحَام، وَالْإِحْسَان إِلَيْهِمْ وَإِلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَحَاوِيجِ

“Menyambung silaturrahim, berbuat baik kepada karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan”

Demikian juga Rasulullah saw, beliau memerintahkan umatnya untuk menyambung silaturahim, dalam sabda beliau:

ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليصل رحمه،

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahim. (HR. Bukhari).

Bahkan terdapat ancaman serius bagi orang yang memutus silaturahim, beliau bersabda:

لا يدخلُ الجنةَ قاطعُ رحمٍ

“Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).

Dan diantara keutamaan menyambung silaturahim adalah diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya.

Nabi saw bersabda:

من أحب أن يبسط له في رزقه، وينسأ له في أثره فليصل رحمه

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).

Bahkan silaturrahim merupakan salah satu amalan penyebab masuknya seseorang ke dalam surga. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أيها الناس، أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصلوا الأرحام، وصلُّوا بالليل والناس نيام, تدخلوا الجنة بسلام

“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan, sambunglah silaturahim, shalatlah pada malam hari ketika orang-orang sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat” (HR. Ibnu Majah, At Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Silaturahim berasal dari dua kata, yaitu silah yang artinya tali atau hubungan dan rahim yang artinya kasih sayang.

Dari dua kata itu, silaturahim sering diartikan sebagai ‘menyambung tali kasih sayang atau tali persaudaraan.’

Istilah ini sudah sering dipakai untuk saling mengunjungi keluarga, relasi, tetangga, serta teman yang dekat maupun jauh.

Di Indonesia silaturrahim ini sudah lazim dilakukan terutama saat Idul Fitri tiba. Idul Fitri memang saat yang tepat untuk bersilaturahim, Silaturahim seharusnya tidak hanya dilaksanakan saat Idul Fitri, tetapi sedapat mungkin setiap ada kesempatan, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mencontohkannya secara khusus untuk saling mengunjungi saat Idul Fitri. Nabi saw hanya memberikan contoh dengan selalu berangkat dan pulang shalat Id melalui dua jalan yang berbeda agar bisa bertemu banyak orang yang bergantian dapat bersilaturahim.

Zaman dulu orang bersilaturahim biasanya dilakukan dengan bertemu secara langsung, maka seiring perkembangan zaman tidak harus demikian, terutama di musim wabah covid-19 seperti ini yang mengharuskan kita harus stay di rumah sebagai upaya pemutusan rantai penyebaran virus, Orang-orang lebih sering bersilaturahim secara online via berbagai aplikasi media sosial. Cara seperti ini sangat simpel dan murah. Tapi apakah hal semacam ini sudah cukup untuk disebut sebagai silaturrahim sehingga juga menghasilkan pahala yang sama?

Imam Zakariya al-Anshari menjelaskan tata cara silaturahim sebagai berikut:

ـ (وَصِلَةُ الرَّحِمِ) أَيْ الْقَرَابَةِ (مَأْمُورٌ بِهَا) وَهِيَ فِعْلُك مَعَ قَرِيبِك مَا تُعَدُّ بِهِ وَاصِلًا غَيْرَ مُنَافِرٍ وَمُقَاطِعٍ لَهُ (وَتَكُونُ) صِلَتُهُمَا (بِالْمَالِ وَقَضَاءِ الْحَوَائِجِ وَالزِّيَارَةِ وَالْمُكَاتَبَةِ، وَالْمُرَاسَلَةِ بِالسَّلَامِ) وَنَحْوِهَا

“Menyambung silaturrahim atau kekerabatan adalah diperintahkan, yakni tindakan Anda kepada kerabat Anda yang sekiranya dengan itu dianggap menyambung, tidak mengabaikan dan memutus. Caranya ada kalanya dengan memberi harta, menunaikan kebutuhannya, mengunjunginya, saling menyurati, saling berkirim salam dan lain sebagainya,”
(Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathâlib, II, 486).

Dengan demikian, dapat dimaklumi bahwa silaturahim tak harus bertemu secara fisik, tetapi bisa juga dengan berkirim salam atau pesan. Dengan ini kita bisa fahami bahwa berkirim pesan melalui media sosial sudah cukup memenuhi syarat untuk disebut sebagai silaturahim.

Namun demikian, silaturrahim via online tidaklah sempurna sebab ada sesuatu yang tak bisa dilakukan ketika tidak berjumpa secara fisik, di antaranya adalah bersalaman. Nabi Muhamad ﷺ bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ، فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu saling bersalaman, kecuali keduanya diampuni dosanya sebelum keduanya berpisah,” (HR. Abu Dawud).

Tentu saja ampunan Allah swt ini tidak akan didapat ketika kita mencukupkan diri bersilaturahim via Online. Selain itu, keakraban, kehangatan dan saling percaya akan lebih terjalin ketika bertatap muka secara langsung. Jadi, Usahakan untuk tetap bertemu secara fisik apabila keadaan memungkinkan.

Disusun oleh : Khalid, Lc

I’tikaf di Bulan Ramadhan di Rumah Ditengah Pandemi Virus Corona

Oleh : Kholid Mirbah, Lc

Di tengah pandemi wabah Covid-19 ini kita dituntut untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing, dan begitu pula mayoritas negara-negara di dunia, termasuk indonesia, melarang para warganya untuk mengadakan kegiatan yang mengundang perkumpulan masa dalam rangka untuk memutus rantai penyebaran covid-19, terlebih lagi mereka yang tinggal di zona merah seperti kami yang tinggal di Cibubur, Bekasi dan sekitarnya pun tak lepas dari himbauan ini, termasuk dalamnya dilarang menyelenggarakan ibadah shalat berjamaah bagi kaum muslimin di masjid-masjid, maka kita saksikan pemandangan bulan Ramadhan pada tahun ini dimana banyak masjid-masjid yang kosong dari aktivitas ibadah didalamnya termasuk berjamaah lima waktu, shalat tarawih dan juga kegiatan beritikaf di dalam masjid.

Maka sebagian dari kami berinisiatif untuk melakukan berbagai kegiatan Ramadhan di rumah masing-masing, dengan mengkhususkan satu ruangan tertentu untuk dijadikan sebagai masjid atau dikenal masjid al-bait/mushalla rumah, sehingga dapat digunakan untuk shalat berjamaah, membaca Al-Quran, berzikir termasuk I’tikaf sebagai upaya menghidupkan sunnah-sunnah di bulan Ramadhan. Nah apakah I’tikaf semacam ini diperbolehkan, tentunya dengan mengesampingkan masjid sebagai salah satu syarat sah I’tikaf yang termaktub dalam firman Allah swt

وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِی ٱلۡمَسَـٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ

Te-tapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
[Surat Al-Baqarah 187]

Nah sebelum kita membahas permasalahan tersebut lebih lanjut, maka alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengupas tentang hakikat I’tikaf.

a. Pengertian I’tikaf

I’tikaf secara bahasa adalah al-muktsu wal ihtibas yaitu menahan dan mengekang diri, maksudnya adalah menahan diri untuk mengerjakan aktivitas yang biasa ia lakukan.
Adapun secara istilah fuqaha’, diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Sulaiman Al-Bajirimi dalam Hasyiatihi ala Syarhi Minhajut Thullab, (2/91)

الإعتكاف هو أن يمكث المسلم في المسجد بنية العبادة

I’tikaf adalah seorang muslim berdiam diri dan menetap di dalam Masjid dengan niat ibadah.

Al-Imam Ibnu Qudamah didalam kitab Al-Mughni (3/186) mendefinisikan I’tikaf secara bahasa adalah,

الإعتكاف في اللغة لزوم الشيئ وحبس النفس عليه برا كان أو غيره

I’tikaf secara bahasa adalah diamnya sesuatu dan menahan diri dari perbuatan baik maupun yang buruk, diantara makna I’tikaf tersebut disebutkan di dalam firman Allah swt,

a. Ketika Nabi Ibrahim as menasehati ayahnya dan kaumnya agar menjauhi berhala,
Allah berfirman,

(إِذۡ قَالَ لِأَبِیهِ وَقَوۡمِهِۦ مَا هَـٰذِهِ ٱلتَّمَاثِیلُ ٱلَّتِیۤ أَنتُمۡ لَهَا عَـٰكِفُونَ)

(Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beri’tikaf disamping nya (menyembahnya)?”
[Surat Al-Anbiya’ 52]

b. Kisah Bani Israil yang berniat kembali musyrik setelah diselamatkan oleh Allah swt dari kejaran Firaun dan pengikut nya.

(وَجَـٰوَزۡنَا بِبَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡا۟ عَلَىٰ قَوۡمࣲ یَعۡكُفُونَ عَلَىٰۤ أَصۡنَامࣲ لَّهُمۡۚ قَالُوا۟ یَـٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُونَ)

Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”
[Surat Al-A’raf 138]

Sedangkan secara istilah syariat beliau kemukakan tentang I’tikaf,

الإعتكاف هو الإقامة في المسجد على صفة نذكرها وهو قربة وطاعة

I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam tujuan yang bersifat mendekatkan diri dan melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.

b. Dalil Pensyari’atan I’tikaf

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

-Firman Allah ta’ala,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

-Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri ketika sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.

Dalil dari sunnah

-Hadits dari Aisyah ra, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”(HR. Bukhari Muslim)

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah,
-Imam Muhyiddin An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu'(6/475)

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.

c. Hikmah dibalik syariat I’tikaf

Imam As-Shawi dalam kitab Bulghatus Salik li aqrabil Masalik hal. 469 dalam Bab Al-I’tikaf ketika menjelaskan hikmah I’tikaf beliau berkata,

وكان من حكمة مشروعيته تصفية مرآة العقل والتشبه بالملائكة الكرام في وقته، أتبعه بالكلام على الاعتكاف التام الشبه بهم في استغراق الأوقات في العبادات، وحبس النفس عن الشهوات، وكف اللسان عما لا ينبغي“.

Diantara hikmah disyariatkannya I’tikaf adalah untuk Menjernihkan akal dan menyerupai keadaan para malaikat yang mulia, Kesamaan antara orang yang I’tikaf dengan para malaikat adalah didalam totalitas seluruh waktu digunakan untuk beribadah, menahan diri dari syahwat dan menahan lisan dari ucapan yang tak pantas.

Beliau lanjutkan,

“فـالاعتكاف فيه تسليم المعتكف نفسه بالكلية إلى عبادة الله تعالى طلب الزلفى ، وإبعاد النفس من شغل الدنيا التي هي مانعة عما يطلبه العبد من القربى ، وفيه استغراق المعتكف أوقاته في الصلاة إما حقيقة أو حكما ، لأن المقصد الأصلي من شرعية الاعتكاف انتظار الصلاة في الجماعات ، وتشبيه المعتكف نفسه بالملائكة الذين لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون ، ويسبحون الليل والنهار لا يفترون”.

“Maka I’tikaf hakikatnya ia berserah diri kepada Allah swt secara totalitas dalam beribadah, menjauhkan diri dari kesibukan dunia, dan didalamnya orang yang sedang I’tikaf menghabiskan waktunya dalam rangka menunaikan shalat, baik itu secara hakikat atau hukum. Karena tujuan utama dari syariat I’tikaf adalah menunggu waktu shalat berjamaah, menyamai kepribadian para malaikat yang tidak pernah bermaksiyat kepada perintah Allah swt, mengerjakan semua yang diperintahkan kepada mereka, senantiasa bertasbih kepada Allah siang malam dan tidak pernah merasa bosan.

d. Hukum I’tikaf

I’tikaf dibulan Ramadhan dan di bulan selainnya hukumnya sunnah, sehingga bagi pelakunya dapat pahala di sisi Allah swt, hanya saja status hukum sunnah ini dapat berubah menjadi wajib karena menjadi nazar bagi pelakunya.
Imam Ibnu Munzir dalam kitab Al-Ijma hal. 7.

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”
Dan itu senada dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, beliau bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya (HR. Bukhari).

e. Syarat dan rukun I’tikaf

Sebelum melakukan i’tikaf, penting untuk memperhatikan syarat dan rukunnya, antara lain sebagai berikut:

Pertama, niat, dalam i’tikaf harus ada niat sehingga orang yang melakukannya paham apa yang harus dilakukan, tidak melamun, dan pikiran tidak kosong.

نويت الاعتكاف لله تعالى
“Saya niat I’tikaf karena Allah swt”

Kedua, diam di dalam masjid dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang beri’tikaf, sebagaimana firman Allah SWT “…Tetapi, jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS Al-Baqarah: 187).

Orang yang melakukan i’tikaf harus muslim, berakal, suci dari hadas besar (haid, nifas, keluar mani) dan harus di masjid.

f. Waktu I’tikaf

I’tikaf itu disyari’atkan setiap waktu, namun lebih ditekankan lagi di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan suci tersebut. Sedangkan bagi seseorang yang berniat itikaf di sepuluh malam terakhir maka hendaklah dia memasuki masjid atau memulai itikafnya sebelum terbenam matahari di malam 21 Ramadhan, sebagaimana pendapat jumhur ulama.

g. I’tikaf bagi wanita.

Para Ulama telah bersepakat tentang sahnya wanita untuk beri’tikaf, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang tempat mereka harus beri’tikaf,

-Jumhur ulama mengatakan bahwa wanita diwajibkan I’tikaf di masjid, karena adanya riwayat dari Ibnu Abbas ra ketika beliau ditanya tentang wanita yang bernazar untuk beri’tikaf di rumahnya, maka beliau menjawab, “Bid’ah, dan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah membuat bid’ah. Maka, tidak sah I’tikaf kecuali didalam masjid yang didalam nya ditegakkan shalat jamaah, karena rumah tidak sama dengan masjid baik itu secara hakikat maupun hukum, karena dirumah orang yang sedang junub boleh berdiam diri sedangkan di masjid tidak diperbolehkan, seandainya hal itu boleh niscaya istri-istri Rasul saw pasti melakukannya walaupun hanya sekali, namun kita tak mendapatkan riwayat semacam itu.

-Adapun kelompok Hanafiyah dan pendapat imam Syafi’i dalam qoul qadim memperbolehkan wanita untuk I’tikaf di rumahnya (ruangan khusus untuk ibadah di dalam rumah/mushalla rumah), karena memang ruangan itu tempat khusus untuk ia shalat, dan makruh bagi ia untuk I’tikaf di masjid jami’ yang dipakai untuk shalat berjamaah, mereka berpendapat bahwa Rumah itu lebih afdhol baginya dari pada masjid kampungnya, sedangkan masjid kampungnya itu lebih afdhol baginya dari pada masjid kota. Dan tidak diperbolehkan bagi wanita untuk I’tikaf diselain ruangan khusus untuk shalat di rumahnya. Adapun bagi laki-laki seluruh ulama bersepakat bahwa I’tikaf nya harus di masjid, karena masjid adalah salah satu rukun dalam I’tikaf. Sekalipun demikian Ibnu Lubabah Al-Maliki memiliki pendapat berbeda yaitu kebolehan I’tikaf bukan di masjid seperti yang dikatakan oleh Ibnu Bazizi Al-Maliki: “Dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa I’tikaf yang syar’i tidak sah kecuali di masjid, dan Ibnu Lubabah mengatakan sah di selain masjid”. Begitu pula sebagian ulama Malikiyah memperbolehkan Itikaf bagi lelaki dan wanita di rumah, karena I’tikaf itu hukumnya sunnah, dan perkara yang sunnah lebih baik dilaksanakan di rumah (Raudhatul Mustabin juz 1 hal 548)

h. Bagaimana sikap kita I’tikaf dirumah atau di masjid di tengah pandemi covid-19 ini?

Tidak diragukan lagi bahwa Masjid sebagai bagian rukun dari I’tikaf tidak terbantahkan lagi karena adanya nash dari Al Quran dan Hadits, perbuatan Rasulullah saw dan para sahabatnya, dan memang di masjid lah tercapai tujuan I’tikaf yaitu menahan diri dari syahwat dan totalitas dalam beribadah, adapun I’tikaf seorang lelaki di rumahnya mencegah nya untuk meraih maksud dan tujuan I’tikaf itu sendiri.
Hanya saja karena keadaan yang mendesak kau muslimin untuk tetap tinggal dirumah dalam rangka pencegahan tertular wabah virus covid-19, maka jumhur ulama merajihkan pendapat dari ulama Malikiyah dengan catatan:

a. I’tikaf hanya boleh dilakukan diruangan khusus untuk shalat dan ibadah/mushalla rumah, tidak boleh dilakukan disetiap ruangan yang ada di rumah.
b. Ia harus komitmen I’tikaf di mushalla rumah dengan tidak keluar darinya kecuali karena hal yang sangat mendesak, seperti buang air dan lainnya, adapun ia keluar masuk keliling rumah maka ini bukanlah I’tikaf.
c. Menyibukkan diri dengan berbagai ibadah sewaktu I’tikaf di mushalla rumahnya seperti membaca Al Quran, berzikir, shalat, sehingga dengannya terwujud maksud dan tujuan I’tikaf
d. Ikhtiyar seperti ini dibangun karena menyesuaikan kondisi yang ada, namun ketika uzur ini telah hilang maka kembali kepada hukum asal yaitu I’tikaf harus di masjid, kecuali bagi wanita yang sebagian ulama memperbolehkan I’tikaf di mushalla rumahnya.
e. Pendapat yang mengatakan bolehnya I’tikaf di rumah itu lebih mengacu pada sisi maslahatnya, karena dalam rangka menjaga syiar dibulan Ramadhan, dan dalam Kaidah fiqih dikatakan,

” الإعمال مع سقوط بعض الشروط أولى من الإسقاط بالكلية”

Mengamalkan suatu amalan dengan menggugurkan sebagian syarat-syarat nya itu lebih baik dari pada meninggalkan amalan tersebut secara totalitas.

Wallahua’lam bish Shawab!

Perintah Ber Zakat Dan Cara Menghitungnya

Zakat adalah salah satu syariat di dalam islam, ia merupakan pilar – pilar tegakknya islam atau yang biasa kita kenal dengan istilah Rukun Islam, sungguh sebuah kehormatan dan kemuliaan apabila Allah mentaqdirkan kita sebagai orang diberikan kemampuan untuk berzakat, karena pada dasarnya kita telah diberikan kesempatan oleh Allah untuk dapat beramal shaleh lebih banyak, plus mendapatkan rahmat, ridha dan ampunan Allah lebih banyak pula, sehingga kita sangat bersyukur dengan nikmat ini, salah satu bentuk wujud syukur ialah dengan mengeluarkan zakat.

Allah ta’ala berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku'”. (QS. al-Baqarah [2]: 43).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”. [HR Bukhari, no. 8].

Selain zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi penegakan syariat Islam, Zakat juga merupakan kegiatan amal sosial dan kemanusiaan, yang dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan umat manusia.

Di antara fadhilah zakat ialah

  • Mensucikan harta
  • Menambah keberkahan harta dan jiwa
  • Melipat gandakan harta
  • Meraih keridhaan Allah ta’ala
  • Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah ta’ala berikan
  • Untuk pengembangan potensi ummat
  • Dukungan moral kepada orang yang baru masuk islam (muallaf)
  • Zakat adalah tabungan manusia, kelak ia akan mengambil tabungannya tersebut dengan berlipat ganda di hari kiamat.

Allah ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Attaubah: 103).

 

CARA HITUNG ZAKAT MAAL

Zakat maal berlaku untuk harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim dengan rumusan sebagai berikut:

Zakat Maal = 2,5 persen X Jumlah harta yang tersimpan selama 1 tahun.

Menghitung Nisab Zakat Maal = 85 x harga emas pasaran per gram.

Contoh: Pak Cik Ramli punya tabungan Rp 100 juta rupiah,

Deposito Rp 200 juta rupiah,

Investasi rumah dan tanah senilai Rp 500 juta rupiah

Piutang Rp 100.000.000,-

Penghasilan lain – lain Rp 100.000.000,-

Total harta yang dimiliki Rp1 miliar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak 1 tahun yang lalu.

Misal, harga 1 gram emas sebesar Rp 500.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp 42.500.000,- Karena harta Pak Cik Ramli telah lebih dari nisab, maka ia harus membayar zakat maal sebesar Rp1 Milyard  X 2,5 persen = Rp 25 juta rupiah per tahun.

Contoh lain

Mak Cik Aminah punya tabungan uang senilai 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tabungan tersebut sudah mengendap selama satu tahun, maka cara menzakatkannya adalah sebagai berikut:

50.000.000 X 2,5%= Rp 1.250.000,- (satu juta dua ratus lima puluh ribu).

NB. (Nisab zakat harta tergantung pada nilai emas, maka hendaknya memperhatikan nilai emas di pasaran, setelah itu barulah dihitung zakatnya).

Contoh

Bila hari ini harga emas per gramnya adalah Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) maka nisab zakatnya adalah sebagai berikut:

800.000 X 85 gram emas = Rp 68.000.000,- (enam puluh delapan juta rupiah) ini adalah nisab zakatnya. Jadi bila harta simpanannya di bawah 68 juta rupiah maka ia tidak kena kewajiban zakat maal, karena belum mencapai batas minimal kelayakan membayar zakat (nisab), namun ia boleh untuk ikut sedekah, infaq, wakaf, dll.

CARA MENGHITUNG ZAKAT EMAS

Nisab emas sebanyak 20 dinar.

1 dinar = 4,25 gram emas. Jadi 20 dinar = 85 gram emas murni.

Dari nisab tersebut, diambil 2,5 persen.

Jika lebih dari nisab dan belum sampai ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nisab awal.

Contoh:

Ummi Rani memiliki emas 87 gram yang disimpan. Jika telah sampai haulnya, wajib untuk dikeluarkan zakatnya, yaitu 2,5 persen x 87 gram = 2,175 gram (dua koma satu tujuh lima gram).

CARA MENGHUTUNG ZAKAT BARANG DAGANGAN (Tijarah)

Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga beli, lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.

Contoh

Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya (aset/stock barang dagang) pada akhir tahun dengan total Rp 200.000.000,-, laba bersih Rp 50.000.000,-, dan memiliki hutang Rp. 100.000.000,-. Maka perhitungannya sebagai berikut:

Modal – Hutang: Rp200.000.000,- – Rp 100.000.000,- = Rp 100.000.000,-

Jumlah harta zakat adalah: Rp100.000.000,- + Rp 50.000.000,- = Rp150.000.000,-

Zakat yang harus dibayarkan: Rp 150.000.000,- x 2,5 % = Rp 3.750.000,-

 

Bila sang saudagar tidak ada hutang, maka dapat kita hitung sebagai berikut:

Jumlah nilai barang yang ada (stock) Rp 200.000.000,-

Laba Rp 100.000.000,-

Piutang 50.000.000,-

Maka harta zakatnya adalah 200.000.000 + 100.000.000,- + 50.000.000= Rp 350.000.000,-

Rp 350.000.000 X 2,5% = Rp 8.750.000,- (delapan juta tujuh ratus lima puluh rupiah).

Semoga Allah memberikan keberkahan pada harta kita, keluarga dan anak keturunan kita, mudahan Allah memudahkan kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka untuk kemaslahatan diri mereka, agama dan kaum muslimin.

Penolakan Pasien dan Korban Virus Corona, Grand Syekh Al-Azhar: Haram Menurut Syariat

Siapa yang tidak ingin ketika meninggal, jasadnya diurus dengan sebaik-baiknya oleh orang sekitar? Semua pasti memimpikan hal tersebut, bukan? Manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain. Bahkan ketika mati sekalipun, setidaknya kita membutuhkan satu dua orang untuk memandikan, menshalati, memikul, menggali kubur, sampai menguburkan jasad kita.

Karena sampai saat ini, belum ada satupun kasus mayit melakukan semua hal tersebut sendiri, dan tidak akan pernah terjadi.
Semakin bertambahnya jumlah orang yang terjangkit dan banyaknya jiwa yang berguguran, membuat sebagian orang panik dan merugikan sekitar. Tidak hanya panic buying dan pengusiran tim medis Corona saja yang terjadi. Kabar kurang sedap lain juga sedang beredar belakangan ini. Tidak hanya di Indonesia, di Mesir pun hal tersebut terjadi, tepatnya di Timur Laut Delta Nil, Ad-Daqahliyah. Kabar yang dimaksud adalah kabar penolakan pemakaman pasien terinveksi virus Corona atau Covid 19 oleh masyarakatnya sendiri. Bentrokan pun tidak dapat dihindari, hingga kemudian berujung kepada penahanan.

Merespon hal tersebut, para ulama pun turut bersuara, di antaranya adalah Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ahmad At-Thayyib. Seperti yang dimuat youm7 pada tanggal 12 April 2020, di antara pernyataan beliau adalah, “Menolak memakamkan atau mengejek orang yang meninggal karena Corona hukumnya haram menurut syariat.” Selain haram menurut syariat, beliau juga menegaskan bahwa hal tersebut merupakan seburuk-buruknya akhlak. “Tidak boleh hukumnya baik secara syar’i maupun kehormatan, seseorang mengejek dan merendahkan orang lain yang terjangkit wabah ini atau mati karenanya,” tegasnya.

Selain grand Syekh Al-Azhar, Mufti Besar Lembaga Fatwa Mesir (دار اللإفتاء المصرية), Syekh Prof. Dr. Syauqi Abdul Karim ‘Allam juga mengeluarkan fatwa yang serupa dan dimuat di Facebook resmi darul ifta’ pada tanggal 11 April 2020, yang inti dari fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Allah ta’ala memuliakan seluruh manusia. Penghormatan ini Allah ta’ala berikan kepada manusia bahkan sampai setelah kematiannya. Tidak ada perbedaan antara muslim atau yang lainnya, antara yang miskin atau yang kaya, antara orang yang sehat atau yang sakit.
2. Di antara bentuk penghormatan yang paling penting kepada manusia setelah ruh keluar dari jasadnya adalah dengan segera memandikannya, menshalatinya, mengantar jenazahnya ke pemakaman lalu menguburkannya. Ini adalah konsesnsus umat Islam sejak zaman nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam sampai hari ini. Imam salaf, Ayyub As-Sakhtiyani rahimahullah mengatakan, “Pemuliaan Mayit adalah dengan menguburkannya.” Hal ini didukung oleh apa yang telah diriwayatkan Al-Baihaqi di dalam Sya’bul Iman, dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu dia telah berkata, aku telah mendengar Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian meninggal, maka janganlah kalian menahannya dan segeralah menguburkannya.”
3. Oleh karena itu, tidak dibolehkan untuk siapapun menghalangi saudaranya sesama manusia untuk mendapatkan hak tersebut.
4. Tidak boleh dengan alasan apapun mem-bully pasien Corona.
5. Tidak boleh melakukan provokasi seperti menolak pemakaman korban virus Corona, di mana penolakan seperti ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai agama dan moral kita.
6. Orang yang meninggal karena virus Corona, dalam agama kita mereka dikatagorikan sebagai mati syahid karena telah merasakan sakit, capek, dan menderita, hingga meninggal dalam keadaan sabar. Terlebih apabila mereka adalah para dokter dan tim medis yang setiap waktunya menghadapi kematian untuk keselamatan orang lain, maka memuliakan dan memenuhi haknya adalah wajib.
7. Wajib kifayah hukumnya atas setiap muslim yang di lingkungannya terdapat korban meninggal dunia karena virus Corona, untuk segera menguburkannya sesuai tuntuna syariat, dengan mengikuti prosedur kesehatan.

Bukan hanya tokoh dan lembaga keagamaan di Mesir saja yang berpandangan demikian. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan pendapat yang serupa. Pernyataan mereka sudah banyak diberitakan dan disebar luaskan media tanah air.

Karenanya, mengejek dan memprovokasi massa untuk menolak dan merendahkan korban corona sama sekali tidak dibenarkan, baik secara syariat maupun akhlak dan moral. Waspada boleh, sangat dianjurkan malah. Tapi tidak dengan panik yang dapat merugikan orang lain. Agama kita indah, sempurna. Mulia dan memuliakan. Semoga Allah ta’ala menjaga kita semua dari wabah ini dan dari penyakit yang lain. Semoga wabah ini segera diangkat, sehingga kita segera dapat kembali menghirup udara segar tanpa rasa khawatir dan beraktifitas seperti biasa. Aamiin.

 

Oleh: Ahmad Ahmad Hakiki

Hindari Pakaian Syuhrah

Mengenakan pakaian dan menutup aurat merupakan salah satu aturan syariat islam, yang apabila kita laksanakan akan mendapat pahala, meninggalkannya (tidak menutup aurat) akan berdosa, aturan syariat berupa menutup tubuh dengan pakaian adalah salah satu kemuliaan islam, yang telah mengatur tata cara berpakaian demi kebahagiaan ummatnya.

Pada zaman dahulu orang yang paling baik pakaiannya yang bermaksud paling menutup anggota badannya (auratnya) dikenal sebagai kaum bangsawan, paling maju cara berfikirnya, cendikia, dan paling dihormati di tengah masyarakatnya.

Sehingga kelihatan kontras dengan mereka yang tidak berpendidikan, bahkan sering kali ada dugaan mereka yang tidak sempurna dalam berpakaian adalah kaum budak, para budak yang dijual belikan di pasar, budak sering kali terlihat tidak berpakaian dengan baik, baik laki – laki maupun perempuan, para budak ini kemudian disuruh oleh tuannya untuk berkerja, membantu bahkan bernyanyi dengan pakaian seadanya.

Sedangkan yang menonton mereka bernyanyi adalah para saudagar, warga istana, raja, bagsawan, dan lain – lain, tuan putri dan istri – istri raja dan istri menteri berpakaian sangat sempurna, bahkan sering kali rok tuan putri atau ratu harus diangkat oleh para pelayan saat mereka berjalan, yang menunjukkan pakaian sempurna adalah pakain para ratu, saudagar, bangsawan dan kaum cendikia, sedangkan pada zaman itu pakaian minim adalah pakaian mereka dari masyarakat kelas bawah, terbelakang atau budak hamba sahaya. pakaian ratu, permaisuri, istri bangsawan seperti ini bukanlah dari satu negeri saja, namun seluruh negeri dari Arab, cina, india, eropa, amerika semua mereka berpakaian sempurna, karena itu adalah identitas mereka sebagai kaum terhormat.

Gaya berpakaian sempurna bak ratu dan istri bagsawan sering kali ditiru oleh mereka yang ingin menjadi ratu sehari dalam upacara pernikahan mereka, sehingga mempelai wanita dihias dan diberikan pakaian layaknya seorang ratu, roknya yang pajang hingga terseret – seret bila mereka berjalan, tak mau kalah dengan para ratu mempelai wanita juga minta tolong pada pengawal penganten untuk mengangkat ujung rok mereka agar mirip dengan pakaian para ratu, karena penganten pasti ingin dihias bak raja dan ratu walau hanya sehari saja.

Namun islam telah menganjurkan bagi penganutnya untuk berpakaian sempurna sejak awal matahari islam terbit di Makkah, pakaian yang bersih dan sempurna bukan pakain kaum terbelakang yang tidak mengerti cara berpakaian atau budak, lihat firman Allah dalam surat Al Muzammil yang dikatakan oleh para ulama adalah termasuk di antara ayat yang pertama – tama kali turun.

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
dan pakaianmu bersihkanlah (QS Al Muddatsir:4).

Ibnu Jarir Ath thabary berkata: ayat ini turun setelah proses turun wahyu pertama kali di gua hira, takut dengan peristiwa yang terjadi di gua hira itu beliau shallahu alaihi wasallam langsung pulang ke rumahnya dalam kondisi menggigil karena ketakutan, meminta sang istri untuk menyelimuti beliau, dalam kondisi seperti itu Allah turunkan ayat di atas, yang menjelaskan bahwa pentingnya menjaga pakaian dan kebersihannya.

Ayat di atas sekaligus memberikan isyarat bahwasanya pakaian di dalam islam sangatlah penting serta mendapat perhatian yang besar, setelah ayat pertama yang memerintahkan untuk membaca guna mendapatkan ilmu lalu setelah itu langsung turun ayat yang memerintahkan untuk berpakaian yang bersih, ini jelas – jelas perhatian yang sangat besar dari syariat soal pakaian, bahkan di dalam ayat yang lain Allah berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31) yakni setiap kali shalat.

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al A’raf: 26).

Pakaian adalah perhiasan hidup manusia, dengan pakaian itu manusia akan tampak indah, rapi, menawan sehingga penampilan semakin mantap, islampun menganjurkan hal tersebut, hanya saja saat membelinya harus menghindari tabdzir (boros/berlebihan), dan saat mengenakannya harus berhias dengan sifat tawadhu’ serta menghindari sifat angkuh dan sombong.

وفي حديث عن معاذ بن أنس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا»[[15]- (رواه الترمذي: [2405] – [9/21]، وحسّنه الألباني برقم: [6145] في صحيح الجامع).

“Dari Mua’adz bin Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang meninggalkan (menjauhkan diri dari) suatu pakaian (yang mewah) dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, padahal dia mampu (untuk membelinya / memakainya), maka pada hari kiamat nanti Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluq, lalu dia dipersilahkan untuk memilih perhiasan / pakaian (yang diberikan kepada) orang beriman, yang mana saja yang ingin dia pakai” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Shahih Al-Shahih).

Hadits ini memberikan bimbingan kepada kita agar sederhana dalam berpakaian dan penampilan meskipun kita mampu untuk membeli pakaian yang mewah dengan harga yang tinggi, imbalannya ialah Allah akan memberikan hadiah istimewa pada mereka di hari kiamat, hadiah tersebut diberikan oleh Allah di hadapan seluruh makhluq, bukan sembarang pakaian namun pekaian Iman, sebagai bukti bahwa iman kita benar.

Hal yang harus dihindari pula dalam berpakaian ialah pakaian syuhrah, pakaian popularitas, pakaian yang dikenal orang sebagai pakaian mewah yang berbeda dengan pakaian umum yang dipakai kebanyakan orang, sehingga akan menarik perhatian orang, orang yang melihat pakaian tersebut akan terpukau, si pemakai pakaian tersebut pun akan merasa bangga diri, sombong dan takabbur.

Ibnu Al Atsir berkata: Maksud dari kata syuhrah ialah ‘tampak’ bermakna pakaian tersebut tampak populer di tangah manusia karena corak dan warnanya berbeda dengan yang umumnya dipakai orang, sehingga orang – orang kagum melihatnya, yang menggunakan pakaian akan merasa ujub (bangga diri) dan (takabbur) sombong.

Hadits – hadits Nabi shallahu alaihi wasallam tentang hal ini sangat banyak, kami akan sebutkan sebahagian di antaranya sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa memakai baju (untuk) kemasyhuran (syuhrah) di dunia, kelak di hari kiamat Allah Subhanahu wata’ala akan memakaikan kepadanya baju kehinaan, kemudian Allah Subhanahu wata’ala mengobarkan api di dalamnya.” (HR. Ibnu Majah no. 3606—3607 dan ini adalah lafadz beliau, Abu Dawud no. 4029, dengan sanad yang tsiqah seperti yang disebutkan oleh Imam Syaukani dalam kitab Nailul Authar.

وعن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” ما من عبد لبس ثوب شهرة إلا أعرض الله عنه حتى ينزعه، وإن كان عنده حبيباً “. قال الحافظ العراقي في تخريج الإحياء: رواه ابن ماجه من حديث أبي ذر بإسناد جيد .

Dari Abu Dzar radhiyallahu anhu, dari Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda:
Tidaklah seorang hamba yang memakai pakaian syuhrah kecuali Allah akan berpaling dari manusia tersebut hingga ia melapaskannya (HR Ibnu Majah, Al Hafizh Al Iraqy dalam takhrij hadits al ihya’ berkata: sanad hadits ini Jayyid (baik).

Al-Imam asy- Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan haramnya memakai pakaian kemasyhuran (syuhrah). Namun, hadits ini tidak hanya berlaku untuk pakaian yang mewah. Bisa jadi terjadi pada seseorang yang memakai pakaian orang fakir yang berbeda dengan umumnya pakaian orang, supaya dipandang oleh orang lain sehingga takjub dengan pakaiannya dan meyakini (kezuhudan)nya. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Ruslan rahimahullah.”.

Apabila memakai pakaian tersebut bertujuan agar terkenal (masyhur) di tengah-tengah masyarakat, tidak ada perbedaan antara pakaian mewah dan pakaian jelek, baik pakaiannya sama dengan pakaian masyarakat secara umum maupun pakaian yang berbeda dengan mereka. Sebab, keharaman tersebut bertumpu pada niat kemasyhuran. Yang dianggap ialah maksud (niat) nya walaupun tidak sama dengan kenyataannya.” (Kitab Nailul Authar 2/111).

Maka sudah semestinya bagi seorang Muslim untuk berpakaian yang sesuai dengan sunnah Nabi shallahu alaihi wasallam, beliau sederhana dalam berpakaian, tawadhu dalam penampilan jauh dari kesombongan, sehingga beliau shallahu alaihi wasallam bersabda:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «كُلُوا وَاشْرَبُوا، وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ»؛

“ Makanlah kalian, dan minumlah kalian, dan berpakaianlah kalian, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan tidak sombong.” (HR Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, Hakim, Imam Suyuthi berkata hadits ini shahih).

Pakaian adalah perhiasan, memakainya adalah melaksanakan syariat, hindari tabdzir, syuhrah, sombong dll.

Fikih Kanan dan Kiri

Sudah menjadi perhatian syariat bagian adab dan sopan santun, sehingga seluruh hal yang menyangkut perihal sopan santun telah pun diatur dalam syariat dengan baik dan sempurna, termasuk etika menggunakan tangan kanan dan tangan kiri.

فروى البخاري (168) ومسلم (268) عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : ” كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ ” .

Dari Aisyah rahiyallahu anha ia berkata:
Bahwasanya Nabi shallahu alaihi wasallam sangat menyukai bagian kanan dalam segala hal, dalam memakai sandal, menyisir rambut, bersuci dan dalam seluruh urusan beliau ( HR Al Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi berkata:
Ini adalah kaidah yang selalu dijadikan sebagai pegangan dalam syariat, yaitu segala hal yang berhubungan dengan sesuatu yang baik dan mulia seperti memakai baju, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, mengenakan celak, makan dan minum, bersalaman, istilam (melambaikan tangan) pada hajar aswad dan hal baik lainnya disunnahkan menggunakan tangan kanan, namun sebaliknya bila hal tersebut berhubungan dengan hal yang tidak baik maka disunnahkan menggunakan tangan kiri.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ ؛ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ )

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: apabila engkau makan maka makanlah dengan tangan kanan, apabila engkau hendak minum maka minumlah dengan tangan kanan, karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kirinya (HR Muslim).

عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ )

Dalam riwayat yain lain dari Jabir radhyallahu anhu, dari Nabi sallahu alaihi wasallam ia bersabda: janganlah engkau makan dengan tangan kiri, karena setan makan dengan tangan kiri (Muslim).

Syekh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah berkata:
Makan dengan tangan kiri karena ada udzur maka tidak apa – apa, namun bila tidak ada udzur maka itu haram hukumnya, karena Rasulullah shallahu alaihi wasallam telah melarang hal itu dalam sabda beliau

إن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله

“Sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri”.

dan Allah taala telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Hai orang – orang yang beriman janganlah engkau mengikuti langkah – langkah setan, karena sesungguhnya setan menyuruh kepada yang keji dan mungkar. (QS Annur:21).

Salah satu bentuk langkah dan gerak – gerik setan adalah dengan makan dan minum dengan tangan kiri.

عن عمر بن سلمة رضي الله تعالى عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( يَا غُلَامُ ، سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ ) رواه البخاري (5376) ومسلم (2022)

Dari Umar bin Salamah ia berkata: Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: Hai anak bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat denganmu (HR Al Bukhari dan Muslim).

وفي صحيح مسلم (2021) : ( أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ ، فَقَالَ : (كُلْ بِيَمِينِكَ ) قَالَ : لَا أَسْتَطِيعُ ، قَالَ : لَا اسْتَطَعْتَ ، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ ، قَالَ : فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ ) .

Ada seorang laki – laki makan dengan tangan kiri di hadapan Nabi shallahu alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: makanlah dengan tangan kananmu, laki – laki itu menjawab: aku tidak bisa, ia enggan menggunakan tangan kiri karena sobong, akibat kesombongan itu Allah hukum dia sehingga ia tidak mampu mengangkat makanan ke mulutnya ( HR Muslim).

وفي سنن أبي داود (33) عن عائشة رضي الله عنها قالت : ( كَانَتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيُمْنَى لِطُهُورِهِ وَطَعَامِهِ ، وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى لِخَلَائِهِ وَمَا كَانَ مِنْ أَذًى ) وصححه الألباني في صحيح أبي داود .

Di dalam Sunan Abu Daud, dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata: bahwasanya tangan kanan Rasulullah shallahu alaihi wasallam untuk makanan dan berhias, tangan kiri beliau untuk urusan toilet dan kotoran ( HR Abu Daud).

وروى مسلم (262) من حديث سلمان رضي الله عنه قال : ( نَهَانَا ـ يعني النبي صلى الله عليه وسلم ـ أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِيَمِينِهِ ) .

Dari Salman Alfarisi ia berkata: Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang kami untuk istinjak (cebok) dengan tangan kanan ( HR Muslim).

Namun bagaimanakah bila seseorang sudah sejak lahir memiliki kecenderungan menggunakan tangan kiri dalam segala hal?!
Dalam hal ini para ulama selalu menganjurkan agar ia berusaha menggunakan tangan kanan dalam hal – hal yang baik, seperti makan, minum, mengambil mushaf, memberi atau menerima sesuatu dari orang lain, memberi isyarat/ menunjuk dengan tangan kanan, memanggil, mengarahkan dll, kecuali bila ia benar – benar tidak mampu melakannya dengan tangan kanan karena memang sudah sangat terbiasa dengan tangan kiri sejak lahir maka tentu ada keringanan baginya dalam hal seperti ini.

Syekh Albany ulama hadits abad ini bila ada orang memberikan sesuatu kepada beliau dengan tangan kiri beliau enggan untuk mengambilnya, bahkan beliau mendoakan orang tersebut agar ia mendapat hidayah, hingga orang tersebut memberikannya dengan tangan kanan, karena sangat besar komitmen beliau dalam mengamalkan hadits Nabi shallahu alaihi wasallam.

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ (19) إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلاقٍ حِسَابِيَهْ (20) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ (21) فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ (22) قُطُوفُهَا دَانِيَةٌ (23) كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الأيَّامِ الْخَالِيَةِ (24) وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ (25) وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ (26) يَا ‎لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ (27) الحاقة}

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”, Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku, Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi, buah-buahannya dekat, (kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”, Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu (QS Al Haqqah: 17-29).

Di dalam surat Al Haqqah ini Allah menyebutkan bahwasanya ahli surga menerima catatan amal mereka dengan tangan kanan sedangkan calon penghuni neraka menerima buku catatan amal mereka dengan tangan kiri.

Secara umum hikmah menggunakan tangan kanan sesuai yang disebutkan oleh para ulama sebagai berikut:

1. Menyelisihi setan, karena setan makan dan minum menggunakan tangan kiri.
2. Menunjukkan kemulian tangan kanan atas tangan kiri.
3. Menggunakan tangan kanan dalam berinteraksi dengan orang lain merupakan bagian dari adab islam.
4. Sebagai bentuk optimis bahwa kita akan menjadi Ashabul Yamin (golongan kanan) pada hari kiamat.

Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk menggunakan tangan kanan pada hal – hal yang baik untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?”       (Q.S. Fushilat : 33)

Mailing form

    Kontak Kami

    Jl. Kranggan Wetan No.11, RT.1/RW.5, Jatirangga, Jatisampurna, Kota Bks, Jawa Barat 17434

    0852-1510-0250

    info@tanmia.or.id

    × Ahlan, Selamat Datang!