Oleh : Kholid Mirbah, Lc
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
(وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَىِٕمَّةࣰ یَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔایَـٰتِنَا یُوقِنُونَ)
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.
[Surat As-Sajdah 24]
Alhamdulilah, Allah swt memberikan kesempatan kita untuk melaksanakan rangkaian ibadah dan amal shalih, nah bersambungnya rangkaian ibadah demi ibadah dan amal shalih yang kita lakukan itu pertanda bahwa semua amalan ibadah dan amal shalih yang kita tunaikan di terima oleh Allah swt, sebagaimana kata imam Hasan Al-Bashri,
إذا قبل الله أعمال العبد يوفقه في الطاعات ويصرفه عن المعاصي
Ketika Allah swt menerima amalan-amalan hamba-Nya maka ia akan memberikan kemudahan untuk melaksanakan rangkaian ketaatan dan menjauhkan nya dari segala maksiyat.
Sebuah tema yang penting untuk kita pelajari mengingat kita menyaksikan fenomena-fenomena bagaimana kurangnya adab para murid terhadap guru pada hari ini, sangat jauh dari keteladanan yang diajarkan oleh salafus shalih kita dahulu. Ulama salaf kita sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam perbedaan ulama. Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,
بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Abdullah ibnu Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Maka kita bisa saksikan potret keteladanan para sahabat nabi dalam adab memuliakan guru mereka, diantara mereka adalah Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhuma,
Selepas menshalati jenazah sang ibunda, Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu pulang menaiki bighal. Saat akan menunggangi hewan peranakan kuda dan keledai itu, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu tiba-tiba menghampirinya lalu memegang tali kendali tunggangan tersebut. Abdullah hendak menuntunnya sebagai bentuk penghormatan.
Keduanya adalah sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Zaid merupakan ulama di kalangan para sahabat. Ia dipercaya oleh Rasulullah sebagai penulis wahyu dan di masa Abu Bakar dan Utsman ia diangkat sebagai ketua penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an.
Sedangkan Abdullah bin Abbas, Ia adalah lautan ilmu, ahli tafsir, dan banyak meriwayatkan hadits Rasulullah. Meskipun lebih muda dari Zaid bin Tsabit, ia juga menjadi tempat bertanya para sahabat senior karena keluasan ilmunya.
Namun kali ini, Abdullah bin Abbas menunjukkan tawadhu’nya. ia memegang tali kekang kendaraan Zaid bin Tsabit lalu menuntunnya. Zaid merasa sungkan diperlakukan seperti itu oleh keluarga Rasulullah itu. “Lepaskanlah, wahai anak paman Rasulullah!” kata Zaid.
Abdullah bin Abbas enggan melepasnya. “Beginilah kami memperlakukan ulama,” jawab Abdullah sembari memuji Zaid sebagai ulamanya umat Islam.
Zaid tidak mau kalah, ia meraih tangan Abdullah lalu mencium tangannya. “Beginilah kami diperintahkan dalam memperlakukan keluarga Nabi,” katanya. Kerendahan hati Abdullah bin Abbas dibalas dengan kerendahan hati oleh Zaid bin Tsabit.
Subhanallah !!, lihatlah bagaimana ketawadhu’an para sahabat terhadap guru mereka!
Di masa tabiin, Abu Hanifah rahimahullah beliau senantiasa mendoakan kebaikan untuk gurunya imam Hammad bin Abi Sulaiman setiap selesai shalat, kemudian tradisi ini diteruskan oleh murid seniornya yaitu Imam Abu Yusuf, setiap selesai shalat beliau senantiasa mendoakan Imam Abu Hanifah sampai akhir hayatnya. Inilah adab yang luar biasa seorang murid terhadap guru, yaitu selalu mendoakan kebaikan untuk gurunya. Disebutkan didalam Thabaqat Syafiiah Imam Ahmad bin Hanbal senantiasa mendoakan kebaikan untuk gurunya Imam Syafii selama 40 tahun di setiap selesai shalatnya, beliau berdoa kepada Allah swt,
اللهم اغفرلي ولوالدي ولمحمد بن إدريس
Ya Allah ampunilah dosaku, dosa kedua orangtuaku dan dosa guruku Muhammad bin Idris (Imam Syafii).
Adab seperti ini hilang dari generasi kita, adab ini telah banyak hilang baik itu di dunia nyata maupun dunia maya, ada santri mlototi ulama sambil berteriak-teriak dihadapannya dan itu disaksikan secara live di televisi hanya karena beda pandangan, ada siswa yang melaporkan gurunya ke polisi hanya karena tidak terima ia ditegur karena tidak shalat zuhur berjamaah, atau hanya karena beda pendapat ia tega meninggalkan majelis gurunya, terlebih lagi didunia maya banyak sekali kita dapati cacian, hinaan, komentar buruk kepada para ulama.
Nah bagaimana kebutuhan manusia terhadap ulama?
Kebutuhan mereka persis seperti kebutuhan Umat terdahulu terhadap para Nabi yang di utus kepada mereka. Membawa risalah yang benar, yang mengajarkan bagaimana menciptakan hubungan yang harmonis dengan Allah dan sesama manusia, menggandeng mereka menuju hidayah Allah untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat, membimbing mereka menuju tatanan kehidupan masyarakat yang diridhai Allah swt, sehingga tercipta sistem kehidupan manusia yang harmonis, berkepribadian yang luhur dan beradab.
Imam Al Ajiri dalam kitabnya Akhlaqul Ulama membuat permisalan yang unik tentang kebutuhan manusia terhadap ulama, beliau mengatakan,
“مثل العلماء ومثل الناس بهم وبدونهم كمثل قوم ساروا في ليلة مظلمة في وادٍ مسبع، فيه سباع ووحوش وأشجار وحيات وعقارب، في ظلام دامس، يسيرون لا يدرون على ما يطئون، وما يواجههم، ولا إلى أين يتجهون؟ فجاءهم شخص بيده مصباح فأنار لهم الطريق حتى أخرجهم من هذا الوادي المظلم، يعني هؤلاء هل هم بحاجة إلى صاحب المصباح؟ بحاجة ماسة
Perumpamaan Para Ulama dengan manusia yang bersama mereka adalah bagaikan suatu kaum yang berjalan dalam kegelapan malam di lembah liar, di dalamnya terdapat binatang bertaring, buas, pepohonan, ular dan kalajengking, mereka berjalan serta tidak tahu dimana kaki mereka sedang menginjak, apa yang mereka hadapi dan kemana mereka akan tuju? Lalu datang seseorang membawa lentera, lalu ia pun menerangi jalan tersebut hingga membawa mereka keluar dari lembah yang gelap, maka apakah mereka butuh lentera tersebut? Tentu saja sangat butuh”
Kenapa demikian? Karena Ulama itu pewaris para Nabi, disebutkan dalam hadits, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menegaskan:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (H.R. At-Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Kenapa di dalam hadits ini disebut kata pewaris, tidak menggunakan redaksi yang lain?
Imam al-Munawi dalam kitab Faidul Qadir mengatakan,
لأن الميراث ينتقل إلى الأقرب وأقرب هذه الأمة بنسبة هذا الدين العلماء
Karena warisan itu berpindah kepada manusia yang terdekat, dan manusia yang terdekat ditinjau dari agama ini adalah para ulama.
Maka kalau kita ingin benar dalam beragama, benar dalam berakidah dan bermuamalah, maka bergurulah kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para Nabi.
Mengenai pentingnya keberadaan ulama dalam kehidupan manusia adalah awal musibah terbesar di dunia akan terjadi bila manusia meninggalkan ulama mereka, sebagaimana dalam hadits Rasulullah saw bersabda
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا
“Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dan merebaknya kebodohan dan diminumnya khamer serta praktek perzinahan secara terang-terangan”
[HR. Bukhari No. 78]
Hancurnya tatanan kehidupan manusia diawali dengan hilangnya ilmu dari kehidupan manusia dan cara Allah swt menghilangkan ilmu dari kehidupan mereka adalah dengan mewafatkan para ulama, sebagaimana Nabi saw bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا(رواه البخاري)
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan. (HR. Bukhari)
Al Munawi menjelaskan bahwa yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu untuk makrifatullah dan iman kepada-Nya serta ilmu mengenai hukum-hukum Allah, karena ilmu hakiki adalah ilmu yang berkenaan dengan hal ini. Dengan wafatnya para ulama maka proses mengajar akan berhenti, sehingga tidak ada yang menggantikan ulama-ulama sebelumnya.
Tatkala ulama diangkat maka sekedar buku saja tidak bisa menggantikan kedudukan mereka, sebagaimana Imam Ahmad menyebutkan bahwa hadits ini disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika haji wada’. Di riwayat lain disebutkan bahwa seorang badui bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,”Wahai Nabi Allah, bagaimana ilmu diangkat sedangkan ada pada kami mushaf-mushaf, dan kami telah belajar darinya apa yang ada di dalamnya dan kami mengajarkan istri-istri, anak-anak dan para pembantu kami?”
Maka, Rasulullah saw mendongakkan wajah dan beliau marah lalu bersabda,”Ini orang-orang Yahudi dan Nashrani ada pada mereka lembaran-lembaran, mereka tidak mempelajari darinya mengenai apa yang datang kepada mereka dari para nabi mereka”.
Al Munawi menyatakan bahwasannya hadits di atas menunjukkan bahwa adanya buku-buku setelah ilmu diangkat dengan meninggalnya para ulama, buku-buku itu tidak berguna apapun bagi orang yang bodoh. (Faidh Al Qadir, 2/274)
Imam As Syatibi juga menyatakan bahwa di masa lalu, ilmu itu di dada para ulama, kemudian berpindah ke buku-buku, namun kuncinya masih di tangan para ulama. (Al Muwafaqat, 1/31)
Makanya kita patut bersedih ketika ulama diwafatkan oleh Allah, karena ini tanda Allah ingin mempercepat terjadinya hari kiamat.
Nah, pada hakikatnya kedudukan ulama sangatlah agung di sisi Allah dan di tengah kehidupan manusia, sampai sampai ketika Al Imam Ibnu Qayyim mensifati kedudukan ulama beliau katakan,
العلماء هم في الأرض بمنزلة النجوم في السماء؛ بهم يهتدي الحيران في الظلماء، وحاجةُ الناس إليهم أعظمُ من حاجتهم إلى الطعام والشراب”
Kedudukan para ulama di bumi bagaikan bintang-bintang di langit, dengan adanya mereka orang-orang yang kebingungan arah dalam kegelapan mendapatkan petunjuk, maka kebutuhan manusia terhadap para ulama lebih besar dari pada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman (I’lamul Muwaqi’in)
،قال ابن المبارك: “مَن استخفَّ بالعلماء ذهبتْ آخرتُه، ومَن استخف بالأمراء ذهبتْ دنياه، ومن استخف بالإخوان ذهبتْ مروءتُه”.
“Barangsiapa meremehkan ‘ulama niscaya hilang (kebahagiaan) akhiratnya, barangsiapa meremehkan para penguasa niscaya hilang (kebahagiaan) dunianya, dan barangsiapa meremehkan saudara-saudaranya (se-iman) maka niscaya akan hilang kewibawaannya”
(Siyarul A’laam Wan-Nubalaa, Jilid 15 Hal: 425)
Dari mana kita bisa membaca quran memahami tafsirnya, mengetahui benar dan salah, membedakan ibadah dan maksiyat semuanya kalau tidak dari para ulama.
Maka wafatnya ulama itu lebih dahsyat bahayanya dari pada bencana alam sekalipun, karena ketika terjadi bencana manusia masih memiliki kesempatan untuk bertahan hidup, namun ketika ia tidak sempat bertanya dengan ulama maka ia tidak akan selamat walaupun hanya sesaat saja, bahkan dapat mengantarkan kepada kematian, sebagaimana kisah yang diriwayatkan Jabir ra
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ
Dari Jabir ra, beliau berkata, “Kami berangkat dalam satu perjalanan lalu seorang dari kami tertimpa batu dan melukai kepalanya. Kemudian orang itu mimpi “basah” lalu ia bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapatkan keringanan bagiku untuk tayammum ?” Mereka menjawab, “Kami memandang kamu tidak mendapatkan keringanan karena kamu mampu menggunakan air.” Lalu ia mandi kemudian meninggal. Ketika kami sampai dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, peristiwa tersebut diceritakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allâh membalas mereka. Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui ? Karena obat dari tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya dia cukup bertayammum [HR Abu Daud dalam sunannya dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ , no. 4362]
Dalam sebuah riwayat di kitab Al Ba’its ala inkaril Bida’ karya Abi Syamah hal 1755 disebutkan,
– قال الإمام مالك:
” بكى ربيعة يوما بكاء شديدا فقيل له:
أمصيبة نزلت بك؟ فقال:
” لا ! ولكن استفتي من لا علم عنده وظهر في الإسلام أمر عظيم ”
الباعث على إنكار البدع لأبي شامة (ص 1755)
Imam Malik bercerita: “Imam Rabiah suatu hari menangis tersedu-sedu, maka muridnya iba dan bertanya “Apa Musibah yang menimpamu wahai Ustadzi? Beliau menjawab “Tidak ada musibah yg menimpa diriku tapi aku bertanya masalah kepada orang yang tak berilmu, ternyata dampaknya sangat dahsyat dalam agama.”
Maka tidak ada musibah yang lebih besar melebihi musibah yang menimpa pada agama seseorang, yaitu ketika ilmu tidak diserahkan pada ahlinya, atau ilmu hanya digunakan untuk meraih popularitas dan kedudukan disamping penguasa. Maka bahaya sekali kalau fatwa agama itu dituntut menyesuaikan kehendak penguasa politik, dalam sebuah kisah disebutkan, Di zaman Ahmad bin Hanbal berkembang paham jahmiyah menganggap al Quran makhluk, mengingkari nama dan sifat Allah, bahkan paham ini diamini para penguasa pada waktu itu, lebih dari itu para ulama dipaksa untuk mengimani Al Quran sebagai makhluk, sehingga sebagian ulama karena takut ada yang berpura-pura, namun Imam Ahmad teguh pendirian ia meyakini Al Quran adalah Kalamullah bukan makhluk. Lalu karena menolak beliau mendapatkan siksaan bertubi tubi, kepada ulama yang berpura-pura dan tidak berani menyampaikan kebenaran beliau berbicara kepada mereka tentang kisah Khabbab bin Arats, yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tak tahan dengan penderitaan yang dialami dalam berdakwah. Ketika itu beliau sedang berbantalkan sorbannya di bawah lindungan Ka’bah. Kemudian kami bertanya, ‘Apakah engkau tidak memintakan pertolongan untuk kami? Apakah engkau tidak mendoakan untuk kebaikan kami?’
Beliau bersabda, ‘Orang-orang yang sebelum kamu itu ada yang ditanam hidup-hidup, ada yang digergaji dari atas kepalanya sehingga tubuhnya terbelah dua, dan ada pula yang disisir dengan sisir besi yang mengenai daging dan tulangnya, tetapi yang demikian itu tidak menggoyahkan mereka dari agamanya.
Beliau mengajak para ulama lain untuk bersabar umtuk menghadapi ujian berat pada hari itu.
Meskipun kedudukan ulama sangat penting hari ini. Maka penting hari ini kita untuk mengetahui sifat dan karakteristik ulama berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Ada Sebagian orang menganggap ulama itu yg punya santri yang banyak, sebagian memahami ulama adalah yang bisa berbahasa Arab dan baca kitab kuning, sebagian berpendapat ulama adalah yang dapat menangkap jin lalu memindahkannya ke botol, sebagian memahami ulama itu yang berpakaian gamis dan bersorban dan kemana mana membawa tasbih di tangannya, maka masyarakat mendapati kerancuan mengenai definisi ulama, karena mereka tidak mengembalikan istilah ulama sesuai Al Quran dan sunnah.
Nah, Apa saja sifat-sifat atau Muwashafat ulama itu?
1. خشية الله في السر و العلانية
(Takut kepada Allah swt dalam kondisi tersembunyi maupun terang-terangan)
Dalam Al Quran Allah swt berfirman,
إِنَّمَا یَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰۤؤُا۟ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِیزٌ غَفُورٌ)
Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.
[Surat Fathir 28]
Maka ulama sejati itu yang semakin berilmu menyebabkan semakin takut kepada Allah, sebagaimana falsafah padi semakin berisi semakin merunduk
Maka Syaikhul Islam ketika mengomentari ayat tersebut beliau berkata,
” وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَنْ خَشِيَ اللَّهَ فَهُوَ عَالِمٌ . وَهُوَ حَقٌّ ، وَلا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ عَالِمٍ يَخْشَاهُ ” انتهى من [“مجموع الفتاوى” (7/539) ]
“Ini menunjukkan bahwa pasti setiap orang yang takut kepada Allah adalah alim, dan tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang alim itu takut kepada Allah swt (Majmu Fatawa 7/539)”
Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata:
«لَيْسَ الْعِلْمُ لِلْمَرْءِ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ»
“Ilmu bagi seseorang itu tidaklah ditentukan dengan banyaknya hafalan riwayat (hadits) akan tetapi ilmu itu yang mengantarkan kepada al-Khasyah (rasa takut kepada Allah)
dan rasa takut itu letaknya di dalam hati Makanya Allah menyebut ilmu itu dengan sebutan Nur atau cahaya, Allah swt berfirman,
(وَكَذَ ٰلِكَ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ رُوحࣰا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِی مَا ٱلۡكِتَـٰبُ وَلَا ٱلۡإِیمَـٰنُ وَلَـٰكِن جَعَلۡنَـٰهُ نُورࣰا نَّهۡدِی بِهِۦ مَن نَّشَاۤءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَهۡدِیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰطࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ)
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus,
[Surat Asy-Syura 52]
Ilmu adalah cahaya yg menerangi kehidupan manusia dengan bimbingan dan arahan kebaikan yg membuat seseorang takut kepada Allah.
Sehingga Imam malik ketika melihat kecerdasan muridnya yaitu Imam Syafii, maka beliau berkomentar,
“إني أرى الله قد ألقى على قلبك نورا، فلا تطفئه بظلمة المعصية”
“Sungguh, aku melihat Allah telah menancapkan cahaya (ilmu) di dalam hatimu, maka jangan engkau padamkan cahaya tersebut dengan gelapnya maksiyat”
Nah, Pada suatu hari Imam Syafii kehilangan cahayanya, ia lupa pada suatu hafalannya, Padahal Imam Syafi’i sebenarnya orang yang hafalannya sungguh amat luar biasa. Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, ia berkata, “Aku telah menghafalkan Al Qur’an ketika berumur 7 tahun. Aku pun telah menghafal kitab Al Muwatho’ ketika berumur 10 tahun. Ketika berusia 15 tahun, aku pun sudah berfatwa.” (Thorh At Tatsrib, 1: 95-96). Sungguh luar biasa hafalan beliau rahimahullah. maka suatu saat terjadi masalah dalam ingatan hafalannya, lalu ia mengadu kepada gurunya imam Waki bin Jarrah.
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).
Maka kalau ada seorang pelajar kehilangan atau rusak hafalannya itu penyebab utamanya adalah maksiyat kepada Allah.
Imam Syafi’i pun merenung, ia merenungkan keadaan dirinya, “Apa yah dosa yang kira-kira telah kuperbuat?” Beliau pun teringat bahwa pernah suatu saat beliau melihat seorang wanita tanpa sengaja yang sedang menaiki kendaraannya, lantas tersingkap pahanya [ada pula yang mengatakan: yang terlihat adalah mata kakinya]. Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya.
Maka Imam Syafi’i tak sengaja melihat betis wanita itu saja bisa merusak hafalan, maka jangan-jangan ilmu yg kita pelajari selama ini tidak berbekas pada ingatan kita itu karena dosa dosa yang selama ini tak sadari.
2. عالم بعلمه وعامل به
Mengetahui pokok pokok persoalan agama, sekaligus ia amalkan, ia menjiwai ilmu tersebut lalu mempraktekannya dalam kehidupan sehari hari. Kita bisa lihat keteladanan imam Hasan al Bashri dalam masalah ini, ketika didatangi oleh para budak.
Suatu waktu, serombongan budak mengunjungi ulama besar ini di rumahnya. Tujuan mereka, Imam Hasan mau menyampaikan materi tentang keutamaan memerdekakan budak di majelisnya. Dengan penyampaian itu, mereka berharap majikannya berkenan membebaskan mereka.
Imam Hasan hanya menjawab, “Insya Allah…”
Keesokan harinya, Imam Hasan pun berceramah. Namun, tidak sedikit pun menyinggung materi pesanan rombongan budak yang bertamu ke rumah beliau.
Mendengar materi ceramah Imam Hasan yang tidak menyinggung keutamaan memerdekakan budak, para hamba sahaya itu pun kembali menemui Imam Tabi’in tersebut, dan menyampaikan permintaan serupa.
Namun, kejadian itu berulang lagi, hingga 3 kali.
Hingga suatu hari, Imam Hasan menyampaikan ceramah dengan materi yang sesuai dengan permintaan para budak tersebut. Para jemaah pun langsung beramai-ramai memerdekakan hamba sahaya yang mereka miliki.
Setelah kejadian itu, rombongan budak kembali menemui Imam Hasan. Di antara mereka ada yang berkata, “Seandainya saja engkau menyampaikan materi itu dari kemarin-kemarin, maka kami pun tidak perlu menunggu lama untuk menjadi manusia merdeka.”
Imam Hasan pun menjawab, “Sejak kemarin kalian memintaku untuk memerdekakan budak, sebenarnya aku belum pernah melakukan hal tersebut. Aku pun berada dalam kondisi tidak memiliki budak untuk dimerdekakan saat itu. Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli budak dari orang lain.”
“Beberapa hari kemarin, aku menabung. dan tepat hari ini aku baru memiliki uang yang cukup untuk membeli budak, lalu memerdekakannya, maka baru hari ini pula, aku memiliki keberanian dan pengetahuan yang cukup untuk menyampaikan materi tersebut.
Aku takut termasuk manusia yang diancam oleh Allah melalui firman-Nya dalam Al Quran,
(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفۡعَلُونَ)
Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Surat Ash-Shaf 2 – 3)”
3. معلم
Mau mengajarkan ilmunya, bukan hanya duduk manis dikantor, cuman tanda tangan, tidak pilih pilih tempat maunya di tempat yang elit manja, maunya berangkat di jemput pulang diantar, tapi juga mau terjun ke masyarakat ke daerah daerah pedalaman, maka kita harus miris melihat keadaan seperti ini. Ada seorang ikhwah bercerita disuatu daerah pedalaman ada seorang minisionaris yang rela tinggal di pedalaman selama bertahun tahun, ia meninggalkan kehidupannya dikota ketika ditanya kenapa kau melakukan hal ini? Ia menjawab “Aku rela tinggal disini selama bertahun-tahun, mempelajari bahasa mereka, memahami karakter kehidupan dan lingkungan mereka supaya aku bisa menerjemahkan Injil kedalaman bahasa mereka.
Imam Qutaibah ketika ditanya tafsir Rabbaniyyun dalam Al-Qur’an Allah berfirman,
(مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن یُؤۡتِیَهُ ٱللَّهُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ یَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا۟ عِبَادࣰا لِّی مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَـٰكِن كُونُوا۟ رَبَّـٰنِیِّـۧنَ بِمَا كُنتُمۡ تُعَلِّمُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ وَبِمَا كُنتُمۡ تَدۡرُسُونَ)
Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah yan Rabbani, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!”
[Surat Ali ‘Imran 79]
Maka beliau menjawab,
هم العلماء المعلمون
“Mereka adalah Ulama yang mau mengajar”
3. عدم الإغترار بالدنيا و ما فيها
Tidak mudah ketipu dunia dan apa yang ada di dalamnya
Makanya Allah sampaikan dalam Al Quran,
(وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَىِٕمَّةࣰ یَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔایَـٰتِنَا یُوقِنُونَ)
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.
[Surat As-Sajdah 24]
Didalam ayat diatas ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang tokoh itu benar dan mendapat petunjuk Allah, yaitu memiliki sifat sabar dan yakin, dan kedua sifat ini harus ada dalam diri para ulama, agar dia selamat dari fitnah-fitnah yang menjerumuskan nya dari hal-hal yang dibenci oleh Allah swt.
Ibnu Qayyim dalam kitabnya Rasail ila ahadi ikhwanihi mengatakan, bahwa fitnah yang menimpa ulama dan para tokoh agama itu ada dua macam.
1. Fitnah Syahwat, yaitu syahwat jabatan, kekayaan dan popularitas maka untuk menghadapi fitnah ini harus dihadapi dengan sabar, sabar terhadap fitnah dunia. Bukan disebut ulama kalau masih tergiur dengan dunia, karena hakikat ulama itu idealisme mereka tidak mudah berubah hanya karena iming-iming dunia.
2. Fitnah syubhat, kita dapati banyak syubhat dalam islam yang digaungkan oleh ulama-ulama su’ ada ulama yang mengatakan jilbab itu tidak wajib hukumnya, syubhat boleh nya kepemimpinan non muslim bagi kaum muslimin dan lain sebagainya. Bahkan syubhat seperti ini yang pernah meluluhlantakkan kota Baghdad pada waktu itu yang menjadi pusat peradaban islam disebutkan dalam Kitab Al-Adab As-Sulthaniyah wa Ad-Duwal Al-Islamiyah yang ditulis Ibnu Ath-Thoqthoq, setelah meluluhlantakkan Kota Baghdad dan menenggelamkan kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama ke Sungai Dajlah, saat itu pasukan Tatar yang dipimpin panglima kafir yang dikenal bengis Hulagu Khan kemudian mengumpulkan para tokoh dan ulama.
Untuk mencari legitimasi kekuasaan dan demi meraih simpati rakyat Baghdad, Hulagu Khan kemudian bertanya kepada mereka, mana yang lebih baik pemimpin kafir tapi adil atau pemimpin muslim tapi dzalim? Maka dijawablah dengan lantang oleh seorang pemuka ulama Syiah Radhiuddin Ali bin Thawus;
الحاكم العادل الكافر أفضل على المسلم الجائر، ذلك بأن لنا عدل الكافر العادل عندما يحكم وعليه وزر كفره لوحده بينما لنا ظلم المسلم الجائر إذا حكم، وله لوحده إسلامه الذي يثاب عليه
“Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang dhalim. Karena keadilan pemimpin kafir untuk rakyatnya dan dosa kekafirannya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kedzaliman pemimpin muslim yang dzalim adalah untuk rakyatnya, sedangkan islamnya pahalanya untuk dirinya sendiri.”
Syubhat ini hanya bisa dilawan dengan sikap yakin terhadap kebenaran melalui ayat-ayat Allah.