Sungai Musi merupakan merupakan jalur utama denyut nadi perdagangan dan transportasi utama serta simbol kejayaan masa lalu Kesultanan Palembang di bumi Sriwijaya “ Laskar Wong Kito “ sebutan untuk daerah Palembang Sumatera Selatan. Bangunan Kesultanan Benteng Kuto Besak seakan menyapa “Pulang ke kotamu ada setangkup haru dalam rindu” sepenggal saksi abadi pusat Kesultanan Palembang di abad 18. Keberadaanya ibarat torehan sejarah yang tak akan lekang dimakan zaman. Dimana didalamnya banyak tersimpan sejarah perjuangan dan mengisahkan kerinduan terhadap indahnya kenangan di sepanjang tepian Sungai Musi. Kokohnya jembatan ampera kini telah menyambungkan segala cerita dan kebaikan hingga bisa kita nikmati hari ini bila melawat ke Palembang.
Sungai Musi dengan ribuan cabang-cabangnya merupakan sarana vital perhubungan yang paling utama sejak masa Kesultanan itu, ia mengikat bagian-bagian wilayah Kesultanan menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, saling erat kuat berkaitan, sambung menyambung yang teratur dan terarah. Geografisnya yang strategis dan sangat berpeluang untuk memajukan jalur niaga perdagangan yang sangat menguntungkan telah memikat setiap para pedagang yang datang dan berkeinginan menetap disana.
Dimasa kini tak hanya tepian Sungai Musi dengan latar jembatan Ampera saja, Palembang terus bergerak menggeliat dengan perkembangan dakwah. Bumi dialek melayu yang menjadi ciri khasnya merupakan sebagai daerah mayoritas muslim di seluruh wilayahnya yang hampir tersebar di 17 kota dan kabupatenya. Belum lagi bonus demografi menjadi bonus umat islam sejalan dengan pemeo “banyak anak banyak rejeki” yang akrab pada sebagaian masyarakat tanah air. Artinya ungkapan yang mengingatkan kembali arti penting nilai anak menjadi asset investasi sumber daya manusia, sebagai generasi hebat di masa depan. Bonus yang bisa diibaratkan pedang bermata dua; jadi berkah bila siap mengelolanya, atau musibah bila tak bisa mengimbanginya.
Syahdan Alhamdulillah, sudah dimulai sejak Ramadhan 1445 H lalu, para calon santri pengabdian wiyatabhakti dari Pesantren Al-Itqan Bekasi sudah mulai diterjunka untuk mengawali khidmat pengabdian dengan kegiatan Santri Ramadhan selama sebulan lamanya. Walhasil, usai prosesi wisuda bulan Juni 2024 putaran kayuh dayung dakwah pun bergerak berlanjut. Sebanyak 4 alumni tugas pengabdian wiyatabhakti “ Da`I Untuk Negeri” angkatan V ditempatkan masing-masing di SDIT Bunga Bangsa Prabumulih Timur, Kota Prabumulih dan Rumah Qur`an Luqmanulhakim yang tersebar dibeberapa titik di Kota Palembang.
“Alhamdulillah, kabar baik para alumni yang bertugas wiyatabhakti sudah mulai beraktivitas membantu kegiatan belajar mengajar di halaqah-halaqah ruang kelas kami”, terang Ust Kisman selaku Kepala Sekolah SDIT Bunga Bangsa Prabumulih beberapa saat lalu lewat selularnya.
Masa pengabdian wiyatabhakti ini memang singkat dan sederhana, bisalah menjadi bagian kecil prestasi yang patut diapresiasi, karena ditengah era disrupsi kondisi perkembangan zaman yang tidak baik-baik saja. Gempuran kemerosotan moral bangsa terjadi diberbagai aspek dipertontonkan sudah bukan hal aib lagi sehingga pengabdian “dai untuk negeri” ini menjadi arti penting untuk mengisi ruang-ruang positif ummat yang kosong untuk terus bebenah berkiprah menjadi lebih baik.
Lebih jauh “pengabdian” ini adalah batu pijakan untuk melangkah yang tidak kalah penting lagi untuk menyambung rentang panjang perjuangan dakwah di Sumatera Selatan tidak akan lepas dari peranan dakwah Kesultanan Palembang, di tampuk puncak kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin II di era perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Inggris. Sebagai pewaris kerajaan layaknya putra mahkota, Sultan Mahmud masa itu memang di-didik dan ditempa untuk menjadi pewaris Kesultanan Palembang. Pendidikan agamanya sangat religius diperoleh dari ulama besar waktu itu sehingga dakwah struktural lewat kekuasaan Kesultanan Palembang mampu mempertahankan wilayahnya dari serangan bertubi-tubi dari bengisnya invasi kolonial penjajahan Inggris dan Belanda masa itu.
Dikutip dari berbagai sumber tentang jejak “Ulama Sumsel Riwayat Hidup dan Perjuanganya” Sultan Mahmud Badaruddin II juga memiliki kemauan besar untuk belajar dan memiliki tingkat kecerdasan yang memadai. Alhasil, dia menguasai ragam bahasa, seperti bahasa Arab, Portugis dan hafal Mushaf Al-Qur`an 30 Juz. Bertepatan pada hari Senin tanggal 21 Dzulhijjah 1218 H bersamaan dengan 3 April 1804. Gelar resmi Sri Paduka Sultan Mahmud Badaruddin II Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam menjadi gelar tahta tertinggi Kesultanan setelah mendiang ayahnya wafat. Meskipun masa kejayaan pada akhirnya mengalami kekalahan perang dengan Belanda dan diasingkan ke Ternate, Maluku Utara dan meninggal disana tepat, pada hari Jum’at tanggal 26 November 1852.
Membangun impian dan asa harapan perjuangan tidaklah sehiruk pikuk layaknya pesta meriah. Begitu pun acara hura-hura lazimnya sebuah ulang tahun perayaan. Itulah bagian arti pengabdian, merintis pendidikan di pelosok tanah air, mewujudkan cita-cita demi kecerdasan generasi bangsa bersama gemilangnya para generasi muda penerus yang setia mengorbankan segenap tenaga dan sumbangsih pikiranya. Mengisi ruang-ruang kemerdekaan untuk melampaui masa muda yang penuh tanggung jawab untuk melahirkan moral dan akhlak yang mulia.
Para santri “Pengabdian Da`I Untuk Negeri” di masa wiyatabhakti memang bukanlah dituntut ideal serba penuh sempurna, tapi kepedulian membangun bangsa sedikit demi sedikit disemai, ditanam agar tumbuh bersemi menjadi solusi yang tergerak “jiwa nurani keikhlasan”nya dan menyala kembali menjadi bara yang tak pernah padam. Inilah kader-kader yang nantinya terlatih untuk tangguh membangun setiap panggilan kebaikan membersamai ummat dan masyarakat tanah air seutuhnya. Iman yang mereka siapkan akan kembali menata setiap hati dan jiwa yang telah terkoyak rusak agar dapat istiqomah kembali beribadah sebaik-baiknya kepada Rabb-Nya, Sang pemilik semesta. Momentum kemerdekaan yang masih hangat belum berlalu, semoga bukan akhir puncak masa perjuangan. Tidak ada kata terlambat untuk bertanya jujur dalam-dalam pada sanubari diri kita, dimana peran sumbangsih kita dalam mengisi hari-hari kemerdekaan, apakah nyala semangat itu masih ada, atau sudah meredup menghilang ? Wallahu Musta`an.
Ali Azmi
Relawan Tanmia