Oleh : Kholid Mirbah, Lc
Qurban merupakan sebuah syariat yang sudah lama muncul semenjak generasi insan pertama. Dalam Al Qur’an bisa kita saksikan bagaimana kisah pengorbanan yang dilakukan oleh putra-putra nabi Adam Alaihi salam. Allah ta’ala berfirman :
(۞ وَٱتۡلُ عَلَیۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَیۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانࣰا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ یُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡـَٔاخَرِ قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ قَالَ إِنَّمَا یَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِینَ)
Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka (qurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang yang bertakwa.”
(Al-Maaidah 27).
Selanjutnya syariat qurban ini juga menjadi amal shalih yang dilanjutkan Ibrahim alaihi salam. Dan bahkan kemudian dari sinilah dikenal sumber syariat Qurban Rasulullah shallahu alaihi wasallam berasal.
Sebagaimana beliau menerangkan ketika ditanya oleh salah seorang sahabat,
يا رسول الله ما هذه الأضاحي؟ قال: سنة أبيكم إبراهيم عليه الصلاة والسلام
“Wahai Rasulullah, apakah Qurban itu?” beliau menjawab: “Qurban adalah sunahnya bapak kalian Nabi Ibrahim.” (HR. Ahmad)
Pelaksanaan qurban diperingati sebagai suatu ritual ibadah bagi umat Islam sebagai syar’u man qablana, dimana pada hari itu dilakukan penyembelihan binatang ternak untuk dipersembahkan kepada Allah ta’ala.
Pengertian Qurban
Qurban dari kata Qaruba – Yaqrubu – Qurban – Qurbanan, berarti dekat, karena hakikatnya ibadah qurban dilaksanakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Istilah lain yang biasa di gunakan adalah Nahr (sembelihan). Dalam literatur fiqih, biasa menggunakan istilah Udhiyyah, jama’nya Adhahiy.
Imam Zakariyya Al Anshori di dalam kitab Fathul Wahab bi-Syarhi Minhajith Thullab mengatakan :
مَا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ تَقَرُّبًا إلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ يَوْمِ عِيدِ النَّحْرِ إلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ
“Udlhiyyah adalah apa-apa yang disembelih dari binatang ternak tertentu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejak hari Idul adha sampai akhir hari Tasyriq”.
Kenapa dinamakan Udlhiyyah? Karena qurban dianjurkan dilakukan di waktu duha. Dan diantara jenis hewan yang dapat dijadikan qurban diantaranya sapi, unta, kambing maupun kerbau.
Dari pengertian ini, maka hewan qurban hanya disembelih pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, sebab dihari-hari tersebut adalah hari suka cita dan menikmati hidangan qurban bagi umat Islam. Sehingga di luar hari tersebut, maka itu bukan dinamakan dengan qurban, melainkan termasuk kategori shadaqah saja.
Dasar Hukum Disyariatkan Qurban
Terkait dasar pensyariatan qurban rujukannya adalah al Quran, as Sunnah.
Diantaranya adalah firman Allah swt:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (Al Kautsar:2).
Maksud shalat dalam ayat tersebut adalah shalat ‘Ied (hari raya) dan sembelihlah (hewan) qurban.
Selain itu, dalil tentang mimpi Nabi Ibrahim as ketika diperintahkan Allah ta’ala untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail Alaihi salam, namun akhirnya Allah ta’ala menggantinya dengan seekor domba, sebagaimana firman Allah ta’ala,
(فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡیَ قَالَ یَـٰبُنَیَّ إِنِّیۤ أَرَىٰ فِی ٱلۡمَنَامِ أَنِّیۤ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ یَـٰۤأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِیۤ إِن شَاۤءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِینَ فَلَمَّاۤ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلۡجَبِینِ وَنَـٰدَیۡنَـٰهُ أَن یَـٰۤإِبۡرَ ٰهِیمُ قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡیَاۤۚ إِنَّا كَذَ ٰلِكَ نَجۡزِی ٱلۡمُحۡسِنِینَ إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَـٰۤؤُا۟ ٱلۡمُبِینُ وَفَدَیۡنَـٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِیمࣲ)
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim!
sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
[Surat Ash-Shaffat 102 – 107].
Adapun hadits yang berkaitan anjuran untuk berkurban, diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
ضَحَّى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقَرْنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
“Nabi saw berqurban dengan dua kambing kibasy berwarna putih lagi panjang tanduknya, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri yang mulia seraya membaca basmalah, bertakbir dan meletakkan kaki beliau yang berkah diatas leher keduanya.” (Fathul Wahhab hal. 337).
Begitupula di dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda,
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. قَالَ: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصّلاَّنَا ـ (رواه احمد و ابن ماجة)
“Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban maka janganlah ia mendekati tempat sholat Id kami.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
Hukum Berqurban
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum ibadah qurban, disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,
ذهَب جُمْهورُ الفُقَهاءِ، ومِنْهمُ الشّافِعيَّةُ والحَنابِلَةُ، وهوَ أرْجَحُ القَوْلَيْنِ عِنْدَ مالِكٍ، وإحْدَى رِوايَتَيْنِ عَنْ أبي يوسُفَ إلى أنَّ الأُضْحيَّةَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ، وهَذا قَوْلُ أبي بَكْرٍ وعُمَرَ وبِلالٍ وأبي مَسْعودٍ البَدْريِّ وسوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ وسَعيدِ بْنِ المُسَيَّبِ وعَطاءٍ وعَلْقَمةَ والأسْوَدِ وإسْحاقَ وأبي ثَوْرٍ وابْنِ المُنْذِر.
Jumhur ulama berpendapat hukum berqurban adalah sunnah mu’akkadah. Yakni pendapat dari mazhab Syafi’iyah, Hanabilah dan perkataan yang kuat dari kalangan mazhab Malikiyah. Demikian pula menurut satu riwayat, Abu Yusuf juga menetapkan bahwa hukum Qurban menurutnya sunnah muakadah. Ini pula yang diklaim menjadi pendapat Abu Bakar, Umar, Bilal, Abu Mas’ud al Badri, Sa’id bin Musayib, Alqamah, Aswad, Ishaq, Abu Tsur dan Ibnu Mundzir.
واسْتَدَلَّ الجُمْهورُ على السُّنّيَّةِ بِأدِلَّةٍ، مِنْها: قَوْلُهُ – علَيْهِ الصَّلاةُ والسَّلامُ -: ((إذا دَخَلَ العَشْرُ، وأرادَ أحَدُكُمْ أنْ يُضَحّيَ فَلا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ ولا مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا))، ووَجْهُ الدَّلالَةِ في هَذا الحَديثِ أنَّ الرَّسولَ – صلَّى اللَّهُ علَيْه وسلَّم – قال: ((وأرادَ أحَدُكُمْ)) فَجَعَلَهُ مُفَوَّضًا إلى إرادَتِهِ، ولَوْ كانَتِ التَّضْحيَةُ واجِبَةً لاقْتَصَرَ على قَوْلِه: ((فَلا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ))، ومِنْها أيْضًا أنَّ أبا بَكْرٍ وعُمَرَ – رَضيَ اللَّهُ عَنْهُما – كانا لا يُضَحّيانِ السَّنةَ والسَّنَتَيْنِ، مَخافَةَ أنْ يُرَى ذَلِكَ واجِبًا، وهَذا الصَّنيعُ مِنْهُما يَدُلُّ على أنَّهُما عَلِما مِنَ الرَّسول – صلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلَّم – عَدَمَ الوُجوبِ، ولَمْ يُرْوَ عَنْ أحَدٍ مِنَ الصَّحابةِ خِلافُ ذَلِكَ.
Jumhur ulama beralasan dengan beberapa dalil, diantarabya; hadis Nabi Muhammad saw, apabila telah masuk 10 Dzulhijjah, sedangkan salah seorang kamu ingin berqurban, maka hendaklah dia menahan diri dari memotong kuku, dan rambutnya. Isyarat dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rasul bersabda, (dan salah seorang kamu berkehendak) beliau mengkaitkan berqurban dengan kehendak atau keinginan nya, dan jikalau berqurban itu hukumnya wajib maka harusnya redaksi haditsnya terbatas pada, (maka hendaknya ia menahan diri dari memotong rambut sampai dia menunaikan qurbannya), dan alasan lain bahwa Abu Bakar dan Umar mereka tidaklah berkurban dalam satu tahun, atau dua tahun sekali, khawatir dianggap sebuah kewajiban, dan perbuatan mereka ini menunjukkan bahwa mereka mengetahui dari Rasulullah shallahu alaihi wasallam bahwa yang demikian itu tidaklah wajib, dan tak ada satupun riwayat dari sahabat yang menyelisihi mereka.
وذَهَبَ أبو حَنيفَةَ إلى أنَّها واجِبةٌ، وهَذا المَذْهَبُ هوَ المَرْويُّ عَنْ مُحَمَّدٍ وزُفَرَ وإحْدَى الرِّوايَتَيْنِ عنْ أبي يوسُفَ، وبِه قالَ رَبيعَةُ واللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ والأوْزاعيُّ والثَّوْريُّ ومالِكٌ في أحدِ قَوْلَيْه.
Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa berqurban hukumnya wajib, pendapat ini juga diriwayatkan oleh Muhammad, Zufar, dan salah satu riwayat dari Abu Yusuf, sebagaimana pendapat ini diamini oleh Rabiah, Al Laits, Al Auza’i, Ats-Tsauri dan Malik dalam salah satu riwayatnya.
واسْتَدَلُّوا على ذَلِكَ بِقَوْلِه تعالَى: {فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر: 2]، فَقَدْ قيلَ في تَفْسيرِهِ صَلِّ صَلاةَ العيدِ وانْحَرِ البُدْنَ، ومُطْلَقُ الأمْرِ لِلوُجوبِ، ومَتَى وجَبَ على النَّبيّ – صلَّى اللَّهُ علَيْه وسلَّم – وجَبَ على الأُمَّةِ لأنَّهُ قُدْوَتُها، وبِقَوْلِ النَّبيّ – صلَّى اللَّهُ علَيْه وسلَّم -: ((مَنْ كانَ لَهُ سَعَةٌ ولَمْ يُضَحِّ فلا يَقْرَبَنَّ مُصَلانا))
وهَذا كالوَعيدِ عَلَى تَرْكِ التَّضْحيَةِ، والوَعيدُ إنَّما يَكونُ عَلَى تَرْكِ الواجِب
Abu Hanifah dan kelompoknya mendasari pendapat mereka dengan firman Allah ta’ala dalam surat al Kautsar ayat 2, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmmu dan berqurbanlah.
Dalam tafsir dijelaskan maksudnya adalah shalat id dan qurban hewan ternak.
Perintah shalat dan berqurban dalam ayat ini dipandang oleh Abu Hanifah sebagai perintah wajib.
Dan perintah yang diwajibkan kepada Nabi maka berlaku pula kewajiban itu atas ummatnya, karena beliau adalah teladan nereka.
Dan hadis yang mengatakan: barang siapa yang mempunyai kemampuan untuk berqurban tetapi dia tidak mau berqurban maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami,’adalah ancaman yang berat. Hadits ini menunjukkan ancaman bagi orang yang meninggalkan qurban, dan ancaman itu dapat berlaku bagi siapa saja yang meninggalkan kewajiban.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah juz 5 hal. 75-76)
الأُضْحيَّةُ المَنْذورَةُ: اتَّفَقَ الفُقَهاءُ على أنَّ نَذْرَ التَّضْحيَةِ يوجِبُها، سَواءٌ أكانَ النّاذِرُ غَنيًّا أمْ فَقيرًا.والأُضْحيَّةُ إذا كانَتْ واجِبةً بِالنَّذْرِ فشَرائِطُ وُجوبِها هيَ شَرائِطُ النَّذْرِ، وهي: الإسْلامُ والبُلوغُ والعَقْلُ والحُرّيَّةُ والاخْتيارُ.
وإذا كانَتْ واجِبَةً بِالشَّرْعِ – عِنْدَ مَنْ يَقولُ بِذَلِكَ – فشُروطُ وُجوبِها ثلاثة، وزادَ مُحَمَّدٌ وزُفَرُ شَرْطَيْنِ.
Para ulama sepakat bahwa barang siapa yang nazar berqurban maka wajib baginya untuk menunaikannya, baik yang bernazar itu orang kaya, maupun fakir. Berkurban jikalau hukumnya menjadi wajib disebabkan nazar, maka syarat wajibnya berqurban sama dengan syarat bernazar, yaitu islam, baligh, berakal, merdeka, dan tanpa paksaan.
Dan apabila berqurban hukumnya menjadi wajib secara syar’i bagi yang yang berpendapat demikian, maka syarat wajibnya ada 3, dan Muhammad dan Zufar menambah dua syarat lagi,
الشَّرْطُ الأوَّلُ: الإسْلامُ، فَلا تَجِبُ على الكافِرِ، ولا تُسَنُّ لَهُ؛ لأنَّها قُرْبَةٌ، والكافِرُ لَيْسَ مِنْ أهْلِ القُرَبِ.
الشَّرْطُ الثّاني: الإقامَةُ، فَلا تَجِبُ عَلَى المُسافِر.
هَذا مَذْهَبُ الحَنَفيَّة القائِلينَ بِالوُجوبِ، وأمّا مَنْ قالَ بِالسُّنّيَّةِ فَلا يُشْتَرَطُ هَذا الشَّرْطُ،
الشَّرْطُ الثّالِثُ: الغِنَى – ويُعَبَّرُ عَنْهُ بِاليَسارِ – لِحَديثِ ((مَنْ كانَ لَهُ سَعَةٌ ولَمْ يُضَحِّ فلا يَقْرَبَنَّ مُصَلانا))، والسَّعَةُ هيَ الغِنَى.
الشَّرْطانِ الرّابِعُ والخامِسُ: البُلوغُ والعَقْلُ، وهَذانِ الشَّرْطانِ اشْتَرَطَهُما مُحَمَّدٌ وزُفَرُ
Syarat pertama, Islam sehingga qurban tidak wajib bagi orang kafir tidak pula disunnahkan untuknya, karena ibadah tersebut adalah jenis taqarrub kepada Allah, sedangkan orang kafir tidak masuk katagori di dalamnya.
Syarat kedua, Iqomah (mukim), maka bagi musafir berqurban hukumnya tidaklah wajib, ini adalah mazhab Hanafi yang berpendapat berqurban hukumnya wajib, namun bagi yang berpendapat berqurban hukumnya sunnah, maka hal ini tidak disyaratkan.
Syarat ketiga, mampu atau dalam redaksi lain “lapang” karena adanya hadits “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban maka janganlah ia mendekati tempat sholat Id kami.”
Syarat keempat dan kelima, baligh dan berakal, keduanya syarat inilah yang tentukan oleh Muhammad dan Zufar.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Juz 5 hal.78-80)
Syarat-syarat hewan qurban.
Adapun syarat-syarat berqurban ditinjau dari jenis hewan qurban:
Pertama: Harus dari golongan binatang ternak, yaitu unta, sapi, kerbau, kambing, baik domba, biri-biri, atau yang lainnya, berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُواْ اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِّن بَهِيمَةِ الاْنْعَامِ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka”. (QS. al Hajj ayat 67)
Kedua: Hewan tersebut mencapai usia tertentu yang telah disyari’atkan, yaitu; jadza’ah dari kambing, atau tsaniyah dari hewan lainnya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallahu alaihi wasallam :
لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن. رواه مسلم
“Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, namun jika kalian sulit mendapatkannya maka sembelihlah jadza’ah dari kambing”. (HR. Muslim).
Musinnah adalah tsaniyah ke atas (usia satu tahun), jadza’ah adalah di bawahnya. Tsaniy dari unta ( yang berumur 5 tahun), Tsaniy dari sapi (yang berumur 2 tahun), Tsaniy dari kambing (yang berumur 1 tahun), sedangkan jadza’ah (yang berumur setengah tahun). Maka tidak sah qurban seseorang jika usia hewannya di bawah tsaniy dari unta, sapi dan kambing. dan usia di bawah jadza’ah dari domba/biri-biri.
Ketiga: Hewan qurban harus selamat dari cacat yang menjadikannya tidak layak dijadikan hewan qurban, yaitu:
a. Matanya buta sebelah, yaitu; bermata satu, atau salah satu matanya muncul hampir keluar, atau juling.
b. Hewan yang lidahnya secara keseluruhan
c. Hewan yang terpotong hidungnya.
d. Hewan yang terpotong kedua telinganya atau salah satunya.
e. Hewannya sakit, yang ciri-cirinya nampak jelas, seperti; panas yang menjadikannya duduk terus dan tidak mau makan, atau kena penyakit kudis yang merusak daging dan mempengaruhi kesehatan tubuhnya, atau luka yang dalam yang mempengaruhi kesehatannya.
f. Hewannya pincang, yang menghalangi hewan tersebut untuk bisa berjalan seperti biasanya.
Keempat,:Hewan qurban harus menjadi milik yang berqurban sepenuhnya, atau yang mendapatkan izin untuk berqurban, sesuai dengan yang ditetapkan syariat atau mendapatkan persetujuan dari pemilik hewan qurban. Dan tidak sah berqurban dengan hewan yang bukan miliknya, seperti hasil ghasab, mencuri, mengambil paksa dengan alasan yang bathil; karena tidak sah mendekatkan diri kepada Allah dengan bermaksiat kepadanya.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Juz 5 hal. 83-84)
Kelima: disembelih pada waktu yang telah ditentukan oleh syariat, yaitu; mulai setelah shalat Idul Adha sampai terbenamnya matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah (akhir hari tasyrik). Selain pada waktu yang telah ditentukan, maka qurbannya tidak sah, sebagaimana hadits dari al Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda :
من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله وليس من النسك في شيء
“Barang siapa yang berqurban sebelum shalat, maka sembelihannya menjadi makanan untuk keluarganya dan bukan ibadah (qurban) sama sekali”. (HR.Bukhari).
Namun jika terjadi udzur sampai terlambat untuk menyembelihnya, seperti hewan qurbannya hilang, baru ditemukan setelah keluar dari hari tasyriq maka yang demikian tidak apa-apa disembelih di luar hari tasyriq, diqiyaskan kepada yang tertidur dari ibadah shalat, atau lupa belum shalat, maka ia menunaikannya setelah ia bangun atau setelah ia ingat kembali.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah juz 5 hal. 91)
Qurban dalam bentuk iuran berjamaah.
Qurban dengan iuran ditinjau dari aspek fiqih maka hal itu diperbolehkan dengan perincian : 1 ekor kambing untuk satu orang, 1 ekor kambing untuk satu keluarga, 1 ekor sapi untuk 7 orang, dan 1 ekor unta untuk 7 orang. Sebagaimana sabda Nabi shallahu alaihi wasallam melalui Jabir radhiyallahu anhu,
عن جابر رضي الله عنه قال : صَليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيد لاضحى فلما انصرف اوتى بكبش فدبحه فقال : بسم الله والله اكبر هدا عنى وعن لم يضح من امتى- رواه احمد و ابو داود والترميذى
Dari jabir r.a, ia berkata : “aku shalat Idul adha bersama Rasulullah shallahu alaihi wasallam. Setelah selesai, diambil seekor kambing. Beliau menyembelihnya dan bersabda : “Bismillah, Allahu Akbar. Ini qurbanku dan qurban yang tidak dapat berqurban dari umatku ” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Hadits diatas memberikan pemahaman kita kepada dua poin penting,
a. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat jumhur ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya
b. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam hanyalah khusus bagi Rasulullah saw. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallahu alaihi wasallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga
Keutamaan Qurban
Hakikat berqurban adalah menebarkan syi’ar kemuliaan dan keagungan Islam. Semua agama punya syi’ar, tapi tidak seindah dan seagung syi’ar Islam. Nah diantara keutamaan berqurban;
a. Qurban adalah amalan yang paling dicintai Allah ta’ala pada saat Idul Adha. Karena Inti ibadah qurban adalah menumbuhkan nilai pengorbanan, keikhlasan, dan kepedulian sosial. Sebagaimana sabda Nabi shallahu alaihi wasallam,
وعنْ عائِشةَ أنَّ النَّبيَّ – صلَّى اللهُ علَيْه وسلَّم – قال: ((مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عمَلاً أحَبَّ إلى اللهِ – عزَّ وجلَّ – مِنْ هراقةِ دَمٍ، وإنَّهُ ليَأْتِي يَوْمَ القِيامَةِ بِقُرُونِها وأظْلافِها وأشْعارِها، وإنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِن اللهِ – عزَّ وجلَّ – بِمَكانٍ قَبْلَ أنْ يَقَعَ على الأرْضِ، فَطِيبُوا بِها نَفْسًا))؛ الترمذي وابن ماجه
“Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda: “ Tidak ada amalan yang dikerjakan oleh ibnu Adam pada hari Idul Qurban yang lebih dicintai Allah ta’ala. Selain dari pada mengalirkan darah (qurban). Sungguh yakin, hewan qurban pasti datang menjemput tuannya pada hari kiamat dengan tanduk dan sepatunya. Dan sesungguhnya darah sembelihan qurban yakni akan tiba disisi Allah sebelum menetes ke bumi, oleh karena itu relakan jiwamu dengan qurbanmu.” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah).
b. Sebagai wujud syukur atas segala karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang beriman, sebagaimana firman Allah ta’ala,
(وَلِكُلِّ أُمَّةࣲ جَعَلۡنَا مَنسَكࣰا لِّیَذۡكُرُوا۟ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِیمَةِ ٱلۡأَنۡعَـٰمِۗ)
“Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.” [Surat Al-Hajj 34].
c. Bukti ketaqwaan seorang hamba kepada Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman,
(لَن یَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلَـٰكِن یَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ)
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.” [Surat Al-Hajj 37].
d. Meraih ampunan Allah ta’ala.
Rasulullah saw telah bersabda kepada anaknya, Fatimah, ketika beliau ingin menyembelih hewan. ”Fatimah, berdirilah dan saksikan hewan sembelihanmu itu.
Sesungguhnya kamu diampuni pada saat awal tetesan darah itu dari dosa-dosa yang kamu lakukan. Dan bacalah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah swt, Rabb alam semesta.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
e. Sebagai bukti pengakuan umatnya Rasulullah shallahu alaihi wasallam, karena orang yang tidak mau berqurban padahal mampu maka ia dianggap bukan bagian umat beliau shallahu alaihi wasallam.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. قَالَ: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصّلاَّنَا ـ (رواه احمد و ابن ماجة)
“Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban maka janganlah ia mendekati tempat sholat Id kami.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
f. Berbagi kebahagiaan dan kepedulian kepada sesama muslim, terutama kepada para fakir miskin yang jarang makan daging, sebagaimana hadits Nabi shallahu alaihi wasallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّه
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari (waktunya) makan dan minum dan berzikir kepada Allah”. (HR. Muslim).
g. Mendapatkan banyak pahala dan kebaikan.
Sabda Nabi shallahu alaihi wasallam,
(..قال: بكل شعرة حسنة..)
“Pada setiap helai bulu itu terdapat satu kebaikan” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Mudah-mudahan kita senantiasa diberikan kemudahan dan keluasan rizki untuk dapat berqurban pada hari Id dan tasyriq yang sebentar lagi akan kita hadapi, dan harapan kita adalah segala amalan ibadah kita termasuk berqurban diterima Allah shallahu alaihi wasallam. Amiin ya Rabbal ‘alamin.