Puluhan pelajar SD di dusun Air Bomban dan Sadan Suku Talang Mamak pedalaman Indragiri Hulu, Riau harus penuh resiko tiap harinya dengan menyeberangi aliran sungai Gansal, Sabtu ( 3/04/2021).
Mereka tidak punya pilihan lain, lantaran satu-satunya akses yang bisa mereka lalui, hanya melewati sungai tersebut menuju lokasi sekolah yang berada di dusun Sadan.
Kebiasaan berangkat sekolah dengan jalan kaki membelah rimba hutan juga bukan hal baru lagi. Ditambah lagi tiap kali menyeberang baju pun yang dikenakan sudah pasti basah. Itu semua demi menyelamatkan buku dan alat sekolah yang mereka bawa. Dan tak jarang alat sekolah dan buku mereka miliki harus menjadi korban seketika jatuh hanyut saat menyeberang. Inilah dilematis prihatinnya gambaran perjuanganya mereka ketika berangkat dan pulang sekolah, bak pepatah sudah jatuh pun tertimpa tangga pula.
Kendati hal serupa seringkali berulang tapi tak menyurutkan langkah kaki mereka untuk berangkat belajar menuntut ilmu, apalagi seketika kabar bahwa esok harinya bahwa guru mereka sudah tiba datang di sekolah maka perjalanan selama satu jam ke sekolah pun dilibas tanpa ada rasa beban merasa lelah maupun malas.
Hanya saja dalam waktu sebulan mereka hanya bisa menikmati bangku sekolah selama sepekan hingga sepuluh hari saja selebihnya mereka harus belajar di rumah.
Itu tidak lain sebut saja Pak Guru Mulyadi, yang sudah 14 tahun mengajar hanya bisa bertahan dalam hitungan hari dalam sepekan saja tinggal di pedalaman bergantung dengan persediaan perbekalannya.
Statusnya yang masih menjadi guru honorer belasan tahun ditunaikannya dengan segenap panggilan jiwa ketulusan pengabdianya padahal tak sedikit pengorbananya harus dikeluarkan setiap keberangkatanya untuk masuk mengajar ke pedalaman. Dari mulai biaya perjalanan perahu antar jemput sebesar 900 ribu sampai satu juta rupiah untuk setiap bulannya harus dihabiskan belum juga uji mentalnya untuk melewati jeram derasnya sungai selama 4-5 jam adalah tantangan tersendiri yang terkadang menciutkan nyali.
Apalagi akses komunikasi sampai saat ini jaringan sinyal seluler dan jaringan listrik pun tak ada sama sekali. Pelita minyak lentera pun menemani tiap malam-malamnya ketika berdiam dirumah kayu dinasnya. Sarana prasarana dan penunjang fasilitas sekolah pun masih sangat sederhana, hal itu semua adalah situasi dan kondisi yang sudah berlangsung hingga saat ini.
Hal itu semua bukanlah hal perjuangan sia-sia karena tidak sedikit beberapa anak alumni muridnya yang sudah bisa berhasil melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah yang lebih tinggi hingga menjadi guru pengajar di kota.
Sekolah Sanggar Belajar Sadan menjadi sangat familiar dikenal dunia luar seketika kedatanganya Ustadz KH. Abdul Shomad, Lc. MA dalam sebuah dokumenter perjalanan dakwahnya ke pedalaman Suku Talangmamak. Perjalanan dakwah yang memotret kisah perjuangan pendidikan yang luar biasa keras bagi anak-anak di suku pedalaman.
Berprasangka baik bahwa mungkin inilah bagian skenarioNya untuk mengenalkan Suku Talangmamak dari berbagai belenggu kategori daerah 3T ( Terjauh, Terluar, Terisolir).
Perjalanan terjun langsung ke sekolah bersama anak-anak Talangmamak menjadi bagian potongan cerita tentang potret pendidikan di negeri ini yang tak akan pernah habis serial episodenya untuk diceritakan hikmahnya seiring keberadaanya anak-anak yang masih terus berjuang tanpa lelah berjalan kaki menyusuri rimba ke sekolah tercintanya.
Tulisan slogan masih lekat dengan kuatnya pada dinding-dinding kayu sekolah “Malas Tertindas, Lambat Tertinggal, Berhenti Mati”. Ini serasa pesan pengingat bahwa motor penggerak semangat itu untuk selalu tangguh pantang menyerah. Pesan yang menampar berkali-kali bagi siapapun yang datang dengan segenap jiwa dan lahirnya untuk peduli berbagi.
Hingga setiap sudut apapun di sekolah baik diluar dan didalamnya akan menjadi inspirasi bermakna secara tersurat dan tersirat yang tak akan pernah habis untuk dilukiskan dan selalu ada ruang rindu untuk diceritakan kembali.
Dunia pendidikan negeri ini pun sebenarnya harus malu dengan segala kegigihan mereka demi menginginkan pendidikan yang layak. Rasa terimakasih dan maaf pun sepatutnya diberikan dengan segala hormatnya bahwa inilah pekerjaan rumah besar dunia pendidikan dan semua pihak yang tergerak nuraninya demi mengulurkan tanganya bantu berbenah demi haknya mereka mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas di negeri ini. Mungkin sulit tapi bukanlah mustahil untuk mewujudkannya.
Sejauh ini, pihak Tanmia Foundation berbagi banyak hal berikut pakaian, buku kisah dan tak kalah pentingnya tengah mengupayakan sementara adanya tali bantu penyeberangan anak-anak ke sekolah sebelum adanya pembangunan jembatan yang kaya manfaat dengan fungsinya untuk segala kemudahanya.
Sepanjang jalan pulang pun tak pernah putus merintih berdo’a sembari berharap bahwa denyut jantung generasi dari pendidikan anak-anak Pedalaman Suku Talangmamak harus diteruskan dengan alasan apapun layaknya cahaya matahari saat siang terangnya menerangi dan kilau rembulan pelita malam yang menerangi saat malam dengan gelapnya.
Ayo hidupkan kembali generasi cahaya dengan pendidikan. Bismillah.
Ali azmi
Relawan Tanmia