Da’i-da’i lintas pedalaman Oeue dan Senben Mauleum Amanuban Timur harus sudah teruji untuk sanggup berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya untuk membelah perbukitan demi mencapai perkampungan dakwah yang dituju. Geografis di Pedalaman Soe Timor Tengah Selatan memang memiliki kontur pemukiman di lereng-lereng perbukitan. Cuacanya pun terkenal dengan dinginya karena berada diatas ketinggian. Sehingga keberanian dan nyali mentalnya pun ganda selain mental juga fisik yang mendukung begitu pun warga setempat yang juga sudah terbiasa jalan kaki ke perkampungan lainya yg berada di seberang bukit. Masih banyak jalanan yang hanya setapak saja sehingga sulit untuk dilalui dengan kendaraan bermotor apalagi mobil.
Ketika berada di dusun OeUe dan Senben Mauleum Tim Tanmia Foundation mendapat banyak menggali pengalaman menarik. Salah satunya ialah awal mula keislaman Arifin Nobisa sebagai Ketua Adat dan warisan mata air OeUe yang dimanfaatkan untuk empat kecamatan.
Tahun 1966 adalah awal mula keislaman Arifin Nobisa bersama empat orang lainya. Hanya Arifin Nobisa ( 75 tahun ) yang kini masih hidup sedangkan empat lainya sudah wafat beberapa tahun terakhir. Sebagai Ketua Suku Timor OeUe sampai sekarang tentu sangat penting peranannya. Suku Timor OeUe sangat menjaga sistem kekerabatan yang kuat dan sangat menghargai siapapun yang hendak bertamu untuk datang. Wilayah kecamatan Amanuban Timur merupakan daerah titik-titik dusun mayoritas muslim di daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Hingga saat ini ada sebanyak 176 KK muslim yang kini bermukim di OeUe dan 74 KK muslim lainya berada di Senben. Sehingga beberapa tahun terakhir ini dinamai dg Kampung Qur’an OeUe. Seiring itu juga berdiri sekolah Raudhatul Athfal dan Madrasah Ibtidaiyah yang menampung anak-anak dari dusun-dusun lainya yang masih berdekatan dengan OeUe.
Keislaman “Arifin Nobisa”, Ketua Adat Suku Timor OeUe
“Setelah saya masuk Islam pada tahun 1966 lalu diikuti selanjutnya di tahun-tahun berikutnya setelah tahun 1967 ribuan penduduk di Amanuban Timur masuk Islam berduyun-duyun dengan keinginan sendiri dirinya, kendati jaman itu penyuluh agama / da’i seperti sekarang adalah hal yang paling sulit dicari jaman itu”, jelas Arifin Nobisa dengan dialek bahasa khas Dawan Suku Timor kepada Ustadz Masrin ( da’i setempat yang menemani perjalanan kami.
“Setelah tahun 1967 bagi siapapun yang hendak masuk Islam dari Amanuban Timur pasti datang ke OeUe”, lanjut Arifin Nobisa melanjutkan kisahnya. Untuk bepergian ke pasar Niki-Niki ( pasar terdekat ) jaman itu harus berjalan kaki 2 hari semalam melewati rimba pegunungan sehingga harus membawa bekal perjalanan. Baru tahun sejak tahun 1980-an akses jalanan dibuka sehingga suasana OeUe pun mulai terbangun akses pembangunan kendati jalanan sampai saat ini masih jalanan tanah dan berbatu. Tidak bisa dibayangkan ketika masa itu bagaimana penduduk untuk dapat menjangkau perkotaan sekedar ke kota kecamatan pun begitu sulit. Hal demikian pula yang menjadi keberadaan khas rumah bulat “Ume Kbubu” sangat bermanfaat bagi Suku Timor untuk menyimpan hasil panen, ladang dan bahan-bahan pokok pangan lainnya hingga kurun waktu yang lama.
Mata Air OeUe, Sumber Kehidupan Yang Tak Pernah Kering
Menurut arti asal asli bahasa Timor OeUe yakni Oe berarti air / sumber air sedangkan Ue berarti pohon rotan, sehingga memiliki arti makna mata air yang menumbuhkan rotan disekitarnya. Rotan-rotan yang tumbuh liar pun bisa dimanfaatkan warga untuk membuat perlengkapan rumah tapi sekedarnya saja karena termasuk dijaga kelestariannya. Sumber mata air OeUe adalah warisan yang telah turun-temurun dari generasi nenek moyang Suku Timor OeUe yang sangatlah berharga bagi kelangsungan hidup warga sampai saat ini.
Celah air muncul dari batu-batuan semak rimba yang terus mengalirkan tetesan-tetesan air sehingga menjadi semacam telaga kecil sekalipun dangkal mirip berlumpur tapi mata air ini mampu mencukupi kebutuhan bagi 4 kecamatan di sekitar Amanuban Timur. Mata air ini biasanya untuk keperluan air rumah tangga sehari-hari dan suatu ketika keperluan hajatan ketika ada acara besar lainnya begitu juga setiap musim kemarau tiba banyak warga tetangga dari perkampungan seberang bukit dengan baik-baik meminta ijin untuk mengambil air secara cuma-cuma kepada ketua adat dengan syarat tidak untuk diperjual-belikan. Kawasan rimba yang masih terjaga menjadi sumber mata air alami ini terus memancarkan air jernihnya. Hal seperti inilah yang juga membuat keberlangsungan mata air OeUe ini lestari sampai sekarang.
Seperti saat sekarang ini bak-bak penampungan sudah dibuat untuk menampung air yang siap dialirkan ke rumah-rumah penduduk dengan bantuan tarikan pompa diesel solar. Untuk operasional iuran bulanan warga biasanya membayar Rp.10.000/KK sebagai pengganti bahan bakar. Selain itu juga disiapkan beberapa kolam untuk pembudidayaan ikan yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat bersama.
Disisi lain rimba raya kawasan mata air OeUe ini juga terdapat pohon-pohon lebat yang menjulang tinggi dimana koloni lebah hutan liar bersarang diranting-ranting membuat sarang. Ketinggian pohon pun cukup tinggi mencapai 70-an meter. Biasanya musim madu liar itu akan berlangsung pada bulan September hingga awal tahun. Untuk mengambilnya pun masih tradisional dan hanya pawang lebah saja yang biasa memanenya.
Kami memang sudah dibuat penasaran dengan keberadaan mata air OeUe dan rimba hutan yang masih hijau alami keberadaanya. Memang benar-benar masih alami, kejernihan airnya pun sangat bening, bila sehelai dedaunan jatuh pun masih nampak jelas di dasar kolam.
Suasana sekitar mata air OeUe pun menjadi suasana riuh penuh keceriaan dengan suara riang layaknya waterpark ala pedalaman dimana kolam keruh pun menjadi arena kolam renang yang mampu menghibur dan menghidupkan suasana anak-anak Suku Timor yang terbiasanya mengangkat jerigen-jerigen air.
Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT