Sudah menjadi lumrah dalam perjalanan bahtera kehidupan manusia saat mengarungi luasnya lautan kehidupan mendapatkan berbagai macam gelombang yang seringkali tidak sesuai harapan para pelayar, namun inilah realitas kehidupan yang harus diterima dengan lapang oleh setiap insan, ada senang, susah, benci, cinta, permusuhan, maaf, dendam, ikhlas, dll.
Hidup bersama masyarakat umum, berinteraksi, bersosialisasi dan bergaul dengan manusia tentu lebih baik daripada menyendiri, menyepi dan menghindari mereka dalam pergaulan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam,
عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّابٍ عَنْ شَيْخٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا كَانَ مُخَالِطًا النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الْمُسْلِمِ الَّذِى لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ ».
“Yahya bin Watsab meriwayatkan dari seorang alim dari shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim, jika ia bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.” HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 939.
Hadits ini secara gamblang memberikan gambarang kepada kita bahwasanya bergaul dengan masyarakat dan sabar terhadap gangguan yang barangkali akan ditemui saat berinteraksi dengan mereka jauh lebih baik daripada menyendiri, tidak bergaul dengan dengan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam hidup dalam lingkungan masyarakat yang majemuk, dari sisi agama, bangsa, sosial dan budaya, namun dengan cantik beliau telah memperlihatkan akhlaq yang baik lagi mulia serta menjadi contoh bagi manusia hingga akhir masa, hingga Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dicintai oleh Bilal bin Rabah asal Ethiopia, Hudzaifah dari Yaman, Suhaib dari Romawi, Salman dari Persia, dll.
Sudah menjadi rahasia internal manusia, bahwasanya manusia tidak dalam satu akhlaq, budi pekerti, sopan santun, tabiat, adat istiadat serta pemahaman agama, namun di sinilah barangkali ujian manusia dalam pergaulan bermula, akibat sikap dan tingkah laku orang lain yang tidak sesuai dengan yang ia harapkan terjadi pada dirinya maka terjadilah pertengkaran, keributan, dll.
Namun Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam telah pun memberikan arahan bila terjadi hal – hal seperti itu dalam kehidupan manusia dalam sabdanya:
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya maka ia akan ridha dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain” (HR Muslim).
Meskipun hadits ini berbicara tentang akhlaq dalam rumah tangga, namun cakupan dan hikmahnya tentu multi dimensi, tidak hanya dalam masalah keluarga namun berlaku dalam hubungan sesama manusia, hadits ini seperti rumus dalam bergaul, bila kita tidak menyukai seseorang karena satu sikap dan tingkah lakunya pasti kita akan menyukai sifat dan akhlaqnya yang lain.
Menjauhi, membelakangi, tidak bertegur sapa bukanlah pilihan sikap yang baik, tentu sangat jauh dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam, barangkali sikap demikian terjadi akibat salah faham, buruk sangka, dan lainnya, namun bermusuhan tentu dilarang Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ.
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. (HR Muslim).
Bersikap lapang dada, memberi maaf, membersihkan hati adalah tuntunan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dalam pergaulan, karena sikap seperti ini memiliki keagungan yang tinggi, Radulullah saw bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ:صلى الله عليه وسلم أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: ” كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ “، قَالُوا: صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ، فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ، قَالَ: ” هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ، لَا إِثْمَ فِيهِ، وَلَا بَغْيَ، وَلَا غِلَّ، وَلَا حَسَدَ.
Dari sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhu ia berkata, suatu ketika ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Siapakah manusia yang paling mulia?” beliau menjawab, “Setiap Makhmumul Qalbi dan orang yang lisannya jujur,” para sahabat berkata, “Orang yang jujur lisannya kami telah mengerti, namun siapakah Makhmumul Qalbi itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Dia adalah seorang yang yang memiliki hati yang bertakwa yang suci hatinya dari dendam, permusuhan, dan kedengkian. (HR Ibnu Majah).
Dan ternyata bagi manusia yang memiliki sifat lapang dada, pemaaf, tidak dendam serta menyimpan amarah adalah sifat para penghuni surga, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
Diriwayatkan dari Anas bin Malik dia berkata, “Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau bersabda, ‘Sebentar lagi akan datang seorang laki-laki penghuni Surga.’ Kemudian seorang laki-laki dari Anshar lewat di hadapan mereka sementara bekas air wudhu masih membasahi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal.
Esok harinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, ‘Akan lewat di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni Surga.’ Kemudian muncul lelaki kemarin dengan kondisi persis seperti hari sebelumnya.
Besok harinya lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni Surga!!’ Tidak berapa lama kemudian orang itu masuk sebagaimana kondisi sebelumnya; bekas air wudhu masih memenuhi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal .
Setelah itu Rasulullah bangkit dari tempat duduknya. Sementara Abdullah bin Amr bin Ash mengikuti lelaki tersebut, lalu ia berkata kepada lelaki tersebut, ‘Aku sedang punya masalah dengan orang tuaku, aku berjanji tidak akan pulang ke rumah selama tiga hari. Jika engkau mengijinkan, maka aku akan menginap di rumahmu untuk memenuhi sumpahku itu.’
Dia menjawab, ‘Silahkan!’
Anas berkata bahwa Amr bin Ash setelah menginap tiga hari tiga malam di rumah lelaki tersebut tidak pernah mendapatinya sedang qiyamul lail, hanya saja tiap kali terjaga dari tidurnya ia membaca dzikir dan takbir hingga menjelang subuh. Kemudian mengambil air wudhu.
Abdullah juga mengatakan, ‘Saya tidak mendengar ia berbicara, kecuali yang baik.’
Setelah menginap tiga malam, saat hampir saja Abdullah menganggap remeh amalnya, ia berkata, ‘Wahai hamba Allah, sesungguhnya aku tidak sedang bermasalah dengan orang tuaku, hanya saja aku mendengar Rasulullah selama tiga hari berturut-turut di dalam satu majelis beliau bersabda, ‘Akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni Surga.’ Selesai beliau bersabda, ternyata yang muncul tiga kali berturut-turut adalah engkau.
Terang saja saya ingin menginap di rumahmu ini, untuk mengetahui amalan apa yang engkau lakukan, sehingga aku dapat mengikuti amalanmu. Sejujurnya aku tidak melihatmu mengerjakan amalan yang berpahala besar. Sebenarnya amalan apakah yang engkau kerjakan sehingga Rasulullah berkata demikian?’
Kemudian lelaki Anshar itu menjawab, ‘Sebagaimana yang kamu lihat, aku tidak mengerjakan amalan apa-apa, hanya saja aku tidak pernah mempunyai rasa iri kepada sesama muslim atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya.’
Abdullah bin Amr berkata, ‘Rupanya itulah yang menyebabkan kamu mencapai derajat itu, sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya’.” (Az-Zuhdu, Ibnul Mubarak, hal. 220).
Mari bersihkan hati dari penyakit dan kotorannya, lapangkan dada, maafkan dan berbaik sangka terhadap sesama saudara seiman kita, mudah – mudahan Allah memberikan kasih sayangNya dan memasukkan kita dalam surgaNya.