Da’i sering kali disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dan penghargaan. Jasa mereka untuk mengemban misi dakwah demi membawa dan mencerdaskan ummat untuk segenap elemen bangsa layak diacungi jempol. Berkat wasilah para da’i banyak ilmu dan cahaya hidayah tersebar hingga pelosok-pelosok negeri. Misi ilahi untuk membangun ummat rabbani yang bertaqwa pada Rabbnya adalah tugas suci abadi. Itu semua demi mencari keridhaan Allah semata sebagai tugas mulia yang jariyahnya tak akan pernah ada putus-putusnya. Namun apakah perjuangan para da’i tidak luput dari badai ujian yang lantas mengernyitkan nyali untuk tetap bertahan diatas kebenaran ? bahkan keberadaan mereka pun sering terpaut jarak yang sangat berjauhan dan hanya ruh keikhlasan dari sanubari hatilah yang masih menyala sehingga mendarah daging untuk setia berkhidmat berdakwah di segala sikon pedalaman.
Salah satu kisah da’i yakni Ustadz Abim Habibi dan Ustadz Zubaidi keduanya alumnus Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang sudah bertahun-tahun mengajar di pesantren Istiqomah di pedalaman distrik Welesi Wamena Papua.
Berikut sekelumit kisah ketika perjumpaan kami dengan Ustadz Abim Habibi di Jogjakarta beberapa waktu lalu. Pondok Pesantren Al-Istiqomah Walesi Wamena Papua salah satu-satunya pesantren tua yang didirikan pada tahun 1983 oleh YAPIS ( Yayasan Pendidikan Islam ) yang berpusat di Jayapura.
Lokasi pesantren berada di Distrik Welesi yang berjarak 8 KM dari pusat kota Wamena dan 15 KM dari pusat bandara Wamena satu-satunya akses yang mudah bisa ditempuh untuk menuju ke Pesantren hingga saat ini. Adapun perjalanan darat dari ibukota Jayapura ke Wamena bisa memakan waktu seminggu bahkan puluhan hari tergantung kondisi medan jalanan rimba. Karena medan rimba liar belantara yang terjal seringkali labil untuk ditembus dan meleset dari prediksi waktu perjalanan yang direncanakan.
Kini pesantren Istiqomah yang sudah berjalan dengan jenjang pendidikan yang sudah ada dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah masih menginduk ke wilayah Jayawijaya dengan jumlah sekitar 70-an santri dengan pengasuh 5 orang asatidz.
Uniknya asal santri-santri cukup beragam sekalipun masih asli Papua. Yakni Suku Assolipelema, Welesi ,Okilik , Tulima, Apenas , Yagara , Hitigima.
Menjadi da’i di pedalaman Papua setidaknya menjadi refleksi perjuangan yang tidak mudah apalagi dengan segala kompleks kesulitan maupun keamanannya di pedalaman. Inilah refleksi perjuangan yang luar biasa yang mungkin tidak dijumpai di sebagian wilayah khalayak umum perkotaan.
Sejak 2012 lalu menjadi pembuktiannya Abim Habibi sebagai da’i muda sekaligus bak pahlawan muda yang turun gunung menuju pedalaman Wamena untuk mencerdaskan anak-anak Suku Dani yang sebagian besar adalah santri di Distrik Walesi.
Walesi adalah sebuah wilayah yang terletak di Wamena yang terletak di Lembah Baliem. Lembah Baliem lebih terkenal di dunia luar sehingga banyak orang menyebutnya Lembah Baliem karena identik khasnya dengan Jayawijaya atau Wamena.
“Berangkat dari keprihatinan mengenai kondisi pendidikan dan dakwah di Indonesia timur terutama Papua pada khususnya, kami yang masih seumur jagung dan belum masih terpikirkan pada waktu itu saya ditempatkan untuk menjadi guru, di daerah pedalaman. Kami mengabdi sebagai khidmat alumni pesantren untuk mengajar di pedalaman Wamena sejak 2012,” ujar Abim bersemangat menceritakan kisahnya sejenak pada kesempatan pertemuan malam itu di dekat kampusnya di Jogjakarta.
Bersama juga rekannya yakni Ust Zubaidi yang sampai saat ini masih mengabdi di Walesi juga banyak pengalaman lika-likunya menemukan hal-hal inspiratif maupun yang memilukan hati.
“Saya bisa melihat semangat yang besar dari anak-anak untuk belajar dan bermimpi tentang cita-cita mereka kelak. Anak-anak disana jauh dari orang tuanya, kondisi fisiknya kuat, perjalanan jauh pun tanpa alas kaki menyusuri jalanan rimba dan hebatnya berani berpendapat bahkan kerap kali berebut bacaan ketika datang buku bacaan baru bahkan untuk maju ke depan kelas,” ceritanya Zubaidi dengan senang hati.
“Tanggapan masyarakat terhadap pesantren al hamdulillah sangat positif dan masyarakat sangat setuju dan mendukung adanya pendidikan di pelosok”, jelas Zubaidi dalam tutur lengkap harapanya sebagai pengasuh pesantren.
Sehingga jangan salah, letupan api semangat justru datang dari anak-anak pedalaman yang sudah rela datang jauh-jauh melewati rimba liar pegunungan Papua meski dalam kondisi yang amat terbatas, nyatanya semangat anak-anak ini bisa melampaui batas perkiraan.
Ia pun mengisahkan sebuah kisah inspiratif dalam perjuangan santri-santrinya baik ketika sebelum dan setelah masuk pesantren. Tentang perjuanganya anak kecil dari suku Dani asal Kabupaten Nduga yang mulanya masih non muslim berbeda keyakinan namun akhirnya dengan ijin kehendak Allah Alhamdulillah hatinya terbuka saat melihat anak-anak santri memakai pakaian rapi dan busana muslim, akhirnya pun anak tersebut yang masih berusia 7 tahun itu memberanikan diri pergi ke tempat kami ke Distrik Walesi dengan menempuh jalan kaki dengan jarak 130 KM selama 4 hari 4 malam. Allahu Akbar Hasbunallah wanikmalwakiil.
“Ini merefleksikan betapa pentingnya sebuah komitmen hingga mampu mengantarkan ketakutan menjadi sebuah kekuatan besar. Anak yang ingusan masih kecil itu akhirnya masuk Islam dan saat ini sudah menjadi Muadzin di tempat kami, dialah si kisah Muhammad Musthofa Asal Nduga”, pungkas cerita Ust Zubaidi.
Begitu juga kisah santri bernama Alfandra yang berasal dari Suku Yelipele dari pedalaman Apenas Wamena yang merupakan keturunan Suku Dani pribumi dan pendatang sejak tahun 2000 harus sudah menjadi anak yatim dengan sepeninggal orang tuanya pasca konflik etnis terjadi.
Hidup pun terus berputar dan kisahnya terus berjalan dengan kesemangatan keluarganya ia mampu dibesarkan dengan rasa cinta dan akhlaq yang luar biasa. Anak satu ini mampu menghafal Al Qur’an dengan cepat dan mempunyai suara yang khas ketika melantunkan Al Qur’an.
Kisah da’i maupun santri di ujung pedalaman dan perbatasan memang sangat bermakna dan jiwa pengorbananya. Ada kebahagiaan bercampur keprihatinan yang mengharukan itu muncul mengetuk pintu empati keimanan dan jiwa naluri kemanusiaan. Dengan kondisi seadanya mereka tetap berjuang untuk mencerdaskan generasi santri anak bangsa demi masa depan ummat pedalaman yang lebih baik. Selamat berjuang para da’i, sang pendidik santri harapan ummat untuk kemajuan bangsa.
Banyak orang hebat sederhana di sekitar kita. Kisah mereka layak dibagikan agar jadi inspirasi bagi semua. Hiduplah pesantren agar menjadi pendidikan pilihan Utama. [ Barakallahufiekum ]
Ali Azmi
Relawan Tanmia