Lopo Ruangan Serba Guna Khas Suku Timor

Satu lagi bangunan khas timor yang pasti ditemui di setiap sudut pemukiman Suku Timor ialah Lopo. Rumah ini mirip rumah bulat namun tidak memiliki dinding. Rumah ini didirikan di depan halaman rumah induk atau rumah kotak atau disamping kanan kirinya, yang pasti terletak di depan.

Lopo merupakan buah hasil kebudayaan tangan masyarakat Timor yang sudah sudah turun -temurun sejak masa silam. Lopo juga memiliki fungsi utama sebagai ruangan khusus pertemuan, pernikahan atau penyambutan tamu. Seringnya juga dimaknai sebagai salah satu sarana tempat yang dimanfaatkan untuk berkumpulnya masyarakat karena hampir semua proses pengambilan keputusan atau mengadakan musyawarah tentang berbagai aspek permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Semua hasil musyawarah disepakati sampai kata mufakat dan diputuskan dalam bangunan Lopo ini.

Lopo selain juga menjadi tempat bagi warga membahas setiap persoalan yang dihadapi juga sebagai berkumpulnya warga ketika gotong-royong di desa, biasanya segala persiapan dibahas bersama di Lopo.

Biasanya dalam sebuah dusun ada beberapa kepala keluarga memiliki Lopo, atau masih dalam satu Suku keluarga terdapat satu Lopo. Di beberapa daerah Timor yang lainya, masing-masing rumah malah memiliki Lopo sendiri-sendiri.

Bentuk arsitektur Lopo terbilang sederhana, ia merupakan rumah beratap bulat tak berdinding dengan 4 tiang utama yang berfungsi sebagai sarana tempat pertemuan. Beberapa warga, atau pemuda biasanya memanfaatkan lopo untuk bercengkrama santai sambil menikmati semilir udara sejuk. Lopo juga terkadang digunakan para kaum perempuan Suku Timor untuk menenun kain ketika ada acara khusus. Kain tenun songket ikat yang biasanya akan diberikan pada tamu yang datang dan dihadiahkan pada setiap acara penyambutan tamu.

Seiring perkembangan zaman pada prakteknya Lopo adalah bangunan serbaguna yang biasa digunakan siapa saja. berbeda dengan Ume Kbubu ( rumah bulat ) dan rumah kotak sebagai rumah privat setiap keluarga, adapun Lopo menjadi ruang publik untuk umumnya. Kehidupan masyarakat Timor dengan segala kebudayaan kearifan lokalnya membuat mereka tetap ada hingga saat ini.

“Lopo sudah menjadi bagian warisan nenek moyang kami. Gunanya sebagai tempat berkumpul musyawarah dan juga menyimpan hasil panen”, ujar Arifin Nobisa Ketua Suku Timor di Dusun OeUe Mauleum Kecamatan Amanuban Timur.

Jejak perjalanan di Timor masih membekas dengan mengunjungi Lopo di Kecamatan OeEkam dan Lopo milik Arifin Nobisa ketua Suku Timor dusun OeUe Mauleum Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sebagai orang Timor, Ume Kbubu, Lopo, sirih pinang dan kain tenun khas Timor sudah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Bersahabat dengan alam menjadi bagian yang terus dipertahankan sebagai upaya
mempertahankan budaya kearifan lokal dari gempuran lingkungan modern yang kadang tak bersahabat.

Walhasil, Cahaya Islam yang telah masuk dalam sanubari hidayah masyarakat suku Timor OeUe juga menjadi bagian yang terus mengokohkan pilar keimanan mereka sekalipun berada dipelosok jauh pedalaman.

Ali Azmi
Relawan Tanmia

Warga Antusias Dengan Kiprah TPQ At-Ta’awun Kampung Sawah

Menaruh perhatian untuk terciptanya lingkungan yang Qur’ani adalah bagian pembangunan karakter yang paling tepat sepanjang masa.

Usia kanak-kanak masa yang tak pernah lagi terulang masa emasnya dan inilah cara yang paling tepat untuk mendidik mereka dengan Qur’an sebagai bibit tanaman iman bersama tilawah maupun tadabbur atau segala sesuatunya bersama Al-Qur’an.

Perangkat dusun Pabuaran, Kelurahan Jatirangon, Kampung Sawah, Kecamatan Jatisampurna Kota Bekasi, bersama warga setempat adalah bagian elemen yang menaruh perhatian untuk pendidikan anak-anak TPQ. Hal ini dengan diselenggarakanya TPQ At-Ta’awun di tempat tersebut.

“Gedung dua lantai yang baru ditempati belum lama ini adalah wujud perhatian dan kepedulian dukungan terhadap proses pembelajaran anak-anak disini”, jelas Umrawi salah satu pengasuh TPQ At-Ta’awun .

” Berawal mulai tahun 2014 dari sepetak kontrakan yang disulap menjadi tempat mengaji dan berlangsung bertahun-tahun untuk kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak didik TPQ dari TK-SD-SMP-SMA, jelas Widodo selaku penanggung jawab TPQ At-Ta’awun.

“Awalnya, hanya ada segelintir belasan anak yang bergabung. Sekarang sudah mencapai 60 anak. Dari jenjang TPQ ala kampung ini kemudian tak jarang anak-anak mereka bisa meraih prestasi masuk ke berbagai tingkat sekolah yang cukup favorit di Kota Bekasi bahkan Jabodetabek ” ujar Widodo yang akrab bersama warga menjamu kehadiran para asatidz pengajar dari Ma’had Al Itqan Bekasi.

Kegiatan TPQ At-Ta’awun bukanlah kegiatan sederhana biasa-biasa saja tapi ada visi dan misi yang bertujuan untuk terciptanya lingkungan pendidikan masyarakat yang berbasis karakter, sosial, dan berkualitas yang bermula dari lingkup kecil lingkungan dan keluarga.

Bukan menafikan pesatnya kemajuan teknologi yang mampu mempengaruhi pada anak-anak hari ini namun ada masa dimana anak-anak dimasanya mendapatkan porsi bersahabat karib dengan Al-Qur’an dan iman sebagai basic landasan kokoh dasarnya.

Masalah pengaruh kenakalan anak dan remaja diharapkan bisa diminimalisasi dengan sinergi kerja sama dan koordinasi semua pihak. Di antaranya dengan kiprah langsung Lembaga Dakwah Yayasan Tanmia inilah bertahun-tahun berjibaku langsung dengan menerjunkan pada da’i pengajarnya untuk terlibat aktif kegiatan TPQ dan pendidikan bagi warga di kelurahan setempat.

Program positif tersebut pun mendapatkan antusiasme dari warga sekitar. Salahsatunya kegiatan taklim warga Majelis At-Ta’awun pun, mengatakan, bahwa program tersebut membawa banyak dampak positif, khususnya langsung untuk anak-anak dan para warga di lingkungan tersebut serta adanya nilai sosial kebersamaan antar warga terjalin.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
Kampung Sawah

Tanmia Distribusikan Al Quran, Iqro & Senter Wakaf di pedalaman Jawa Tengah

Relawan Tanmia kembali beraksi dengan sowan ke pejuang dakwah sekaligus mendistribusikan Al-Qur’an Buku Iqro’ dan Senter titipan dari donatur kesejumlah daerah yang sangat membutuhkan perhatian kaum muslimin. Bagaimana tidak, di saat kita bisa ibadah dengan tenang, masjid ber-AC, mengaji al Qur’an dibimbing dengan guru yang mumpuni dan berbagai fasilitas yang tersedia, ternyata masih ada saudara kita yang “buta” huruf Al Qur’an, dikarenakan minimnya guru ngaji dan al Qur’an. Selain itu perjuangan mereka untuk pergi ke masjid dan mengaji sangat berat, mereka harus berjalan menembus hutan belantara tanpa penerangan jalan sama sekali. Oleh sebab itu kami dari Yayasan At-Tanmia Bekasi berusaha ikut andil sekecil apapun dalam dakwah dan menyampaikan amanat kaum muslimin.

Yayasan At-Tanmia mengutus kami dua orang relawan untuk misi kali ini dan ada 4 lokasi utama yang kami tuju, yaitu Klaten, lereng gunung Sumbing, lereng gunung merapi dan lembah Bukit manoreh Kulonprogo.
Pada hari Kamis, 13 Agustus adalah hari pertama perjalanan ini, kami menuju Kota Muntilan bertemu salah seorang Ustadz yang sudah berdakwah sejak tahun 1998. Darinya kami dikenalkan dengan seorang Da’i lereng gunung Merapi, beliau berjuang di lereng Merapi sejak tahun 2010 hingga saat ini. Kemudian pada sore hari
Kami ke lereng gunung sumbing di desa Prampelan Kaliangkrik Magelang, berkunjung di sebuah pesantren yang telah berdiri sejak tahun 1997. Kami pun disambut dengan sambutan yang hangat khas penduduk pegunungan. Di saat itu juga kami berbincang-bincang tentang pesantren dan problematika dakwah di masyarakat sekitar pesantren. Kemudian selepas sholat isya kami bertemu dengan seorang ustad di lereng gunung merapi yang sudah memulai kiprah dakwahnya sejak tahun 2010 pasca meletusnya gunung Merapi. Kemudian Pada malam harinya kami menginap di sebuah Pesantren Masyarakat Klaten, meski setibanya kami disana sangat larut malam kami tetap mendapat sambutan yang sangat meriah, dengan harapan di pagi hari nanti bisa jumpa direktur Pesantren Masyarakat Klaten.

Jum’at 14 Agustus pagi, Allah pertemukan kami dengan direktur Pesantren Masyarakat Klaten dan berbincang banyak hingga tak sadar siang pun menghampiri, itu artinya kami harus segera melanjutkan perjalanan kembali menuju Lembah menoreh Kulonprogo Yogyakarta, mengirimkan seorang Da’i, buku Iqro’ dan sejumlah Senter titipan kaum muslimin, sebelumnya pun telah dikirim Al-Qur’an beberapa tahap sejumlah kebutuhan saudara muslim disana.

Sabtu 15 Agustus kamipun pulang kembali ke kampung halaman.
Alhamdulillah dari perjalanan ini kami banyak belajar bahwa semua ujian yang kami rasakan pada hari ini belum ada apa-apanya daripada Da’i di pedalaman sana. Mudah-mudahan Allah mudahkan seluruh urusan kaum Muslimin dimanapun mereka berada. Aamiin Ya Robbal ‘Aalamiin.

Relawan Tanmia
Fadhil kamil, Abu khanif
Jawa Tengah

Zulkifli Banfatin Bersama Kaki – Kaki Perkasa Mendaki Terjalnya Medan Pedalaman OeUe

Zulkifli Banfatin, orang lebih mengenalnya Ust Zul adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara
dari pernikahan Bahrein ( Ayah) dan Suriah ( Ibu). Sejak menjadi yatim karena ditinggal oleh ibunya ketika usia masih balita ( 2 tahun ) akhirnya Zulkifli diasuh oleh Arifin Nobisa dan hak sepenuhnya diserahkan layaknya orangtua dalam masa balita pengasuhannya. Arifin Nobisa ( Muallaf ) Ketua Suku Timor OeUe memang masih memiliki hubungan kerabat dengan mendiang ibunya.

Dimasa usia sekolah dasar ia habiskan waktu belajarnya di pedalaman OeUe hingga sampai akhirnya sampai jenjang selanjutnya ia diasuh di rumah kader Masjid Nurussa’adah Fontein semasa tingkat Tsanawiyah ( SMP ).

Atas jasa pendidik dan pengasuhan Ust Ramli, senior da’i Dewan Dakwah Islamiyah NTT dalam kaderisasi generasi akhirnya Zulkifli dikirim untuk melanjutkan ke jenjang Aliyah di Ma’had Al-Ittihad Al-Islami Camplong – Sampang Madura selama 4 tahun. Ghirahnya tak kunjung padam untuk menuntut ilmu hingga usai lulus pun ia tak bergeming untuk pulang hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk jenjang perkuliahan di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammad Natsir di Jakarta. Usai lulus tahun 2019 akhirnya ia menerima amanah pengabdian untuk kembali ke pedalaman OeUe dimana kampung halamannya sewaktu masih kecilnya dibesarkan.

“Ada bahagia yang tak bisa diluapkan kecuali syukur yang sebesar-besarnya dan rasa rindu untuk pulang kembali mengabdi dan berbakti kepada orang tua sekaligus bapak asuh Arifin Nobisa. Adapun ( Bahrein ) Ayah kandung sepeninggal mendiang Ibu ketika itu memutuskan untuk menikah lagi dan menganut Katolik”, ungkap Zulkifli dalam perjalanannya dari Masjid Al-Ansor Senben tempat dimana ia mengajar hari-harinya dengan mendaki turun bukit di Desa Maleum Amanuban Timur.
Perjalanan hidayah pun akhirnya ikut membawa saudara-saudaranya sekandung pun masuk islam kendati beberapa tahun lama berpisah.

Tempat pengabdian di pedalaman bukanlah hal yang asing lagi baginya, tapi ketulusan dan tantangan yang dihadapi lagi-lagi menuntut dirinya untuk bertahan dan kokoh menghadapi apapun yang terjadi. Tidak patah menyerah dengan keadaan sekalipun kerikil-kerikil ujian kesabaran mengikuti setiap jejak langkah kaki-kakinya melewati terjalnya medan dakwah pedalaman OeUe hingga sekitar wilayah Amanuban Timur Soe Timor Tengah Selatan.

Walhasil, sekalipun sekejap mata saja kedatangan Tim Tanmia Foundation di ladang pengabdian para da’i-da’i setidaknya menjadi jalinan ukhuwah yang menguatkan jahitan tali silaturahim. Saling mengisi ruhiyah me-recharge kembali untuk menguatkan langkah kaki-kaki perkasa untuk mengarungi pendakian dakwah pedalaman yang masih terjal dan panjang. Berdoa penuh harap lentera kejayaan ummat bersinar terang dari pedalaman. Semoga istiqomah dalam dakwah kita. Aamiin.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

Syiar Aqiqah di Pedalaman OeUe NTT

Kebahagiaan Idul Qurban tahun ini memang telah lewat tapi kabar bahagia pun masih terdengar menyelimuti keluarga Saiful Halim yang tahun ini menyembelih kambing tasyakuran aqiqah untuk putranya ananda Muhammad Insan Kamil bin Saiful Halim di Pedalaman OeUe Soe Timor Tengah Selatan.

Tidak hanya hewan kurban yang diamanahkan untuk dikirim ke pelosok negeri, kawasan yang masih kering dengan suasana dakwah dan penuh keterbatasan juga menjadi salah satu pilihan yang tepat. Tanmia Foundation tidak hanya menerima amanah menyembelih hewan kurban, akan tetapi kegiatan Aqiqah juga bisa dilaksanakan di pelosok pedalaman. Hal ini dapat membantu meningkatkan syiar Islam yang benar-benar dapat dirasakan oleh ummat.

Seperti yang ditunaikan Keluarga Saiful Halim. Kegiatan aqiqah dengan menyembelih dua ekor kambing di OeUe Soe begitu menggairahkan semangat kebersamaan bagi para penduduk Suku Timor yang mayoritas muslim.

“Alhamdulillah, hajat aqiqahnya telah disampaikan semoga Allah menerima segala amal kebaikan kepada keluarga Saiful Halim yang mengamanahkan Aqiqah putranya melalui Tanmia Foundation,” ungkap Syarif, Tokoh Muda Masyarakat OeUe usai menyembelih disamping Lopo balai pertemuan adat Suku Timor OeUe.

Pemotongan dua ekor kambing itu di Dusun OeUe Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemotongan dilaksanakan pada Sabtu (8/08/2020).

Acara aqiqah adalah bentuk ungkapan kebahagiaan dengan memanjatkan syukur kepada Allah SWT dengan prosesi penyembelihan kambing, yang lalu dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangga.

Bagi anak laki-laki, untuk melaksanakan aqiqah wajib memotong dua ekor kambing sementara anak perempuan satu ekor kambing saja yang biasanya dilakukan pada hari ke-7 yang terbaik setelah kelahirannya. Namun demikian jika ada halangan maka bisa dilakukan pada hari ke-14 atau ke-21 bahkan bila tidak ada kemampuan karena seseorang tersebut berada dalam kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, maka kewajiban melaksanakan aqiqah pun gugur. Karena memang benar-benar tidak mampu tapi bagaimanapun bisa diupayakan sesuai kemampuannya.

Hewan yang disembelih tentu telah memenuhi kriteria dan sesuai syariat Aqiqah dalam Islam dan dimasak semuanya untuk dihidangkan sesudahnya.

Suasana pagi di perkampungan pun mulai ramai dengan gotong-royong warga untuk acara memasak daging aqiqah. Tim dapur pun yang terdiri dari ibu-ibu tampak sudah dibentuk panitia tempat,” ungkap Ridwan yang membantu menyediakan kayu bakar untuk menyalakan tungku.

Kegiatan pun dilanjutkan usai berjamaah shalat dzuhur dengan do’a tasyakuran bersama masyarakat di Lopo ( semacam balai pertemuan yang bertiang empat pilar dengan atap bulat khas suku Timor ) . Alhamdulillah, sajian hidangan aqiqah dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan jalinan ukhuwah dengan warga dusun OeUe dengan menyediakan aneka hidangan yang sudah disiapkan seketika itu.

Warga Dusun OeUe pun mengucapkan terima kasih kepada Keluarga Saiful Halim yang telah berbagi kebahagiaan bersama warga OeUe.

“Semoga Allah membalas semua kebaikannya dan memberikan keberkahan rezeki kepada semua pihak yang telah peduli sepenuhnya kepada masyarakat kami”, ungkap Syarifuddin mewakili Ketua Adat Suku Timor OeUe sembari lahapnya menyantap gulai kambing.

Tanmia Foundation juga berterima kasih kepada Keluarga Saiful Halim yang telah mempercayakan kepada kami sebagai pelaksanaan ibadah aqiqah yang dilakukan dipelosok pedalaman. Syiar aqiqah di pedalaman, wujudkan kemuliaan dakwah dan kepedulian.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

Tanmia Foundation : Ekspedisi “Wakaf Kebaikan” Tak Berhenti Di Perbatasan Negeri

Jemputan travel lintas Timor akhirnya menghampiri Tim Tanmia Foundation untuk berangkat dari Kupang ke Atambua ibukota Kabupaten Belu. Perjalanan darat akan menempuh waktu 8-9 jam perjalanan dimana perjalanan akan dilanjutkan ke Atapupu Motaain pos lintas batas negara yang langsung menjadi pintu gerbang perbatasan Indonesia – Timor Leste.

Kelok tikungan curam dan tajam di daerah lintas Soe Timor Tengah Selatan harus dilewati karena jalur darat hanya inilah yang paling mempersingkat jarak antara Kupang – Atambua.

Setiap kali melewati perbatasan wilayah dan masuk wilayah kabupaten lainnya laju kendaraan kami harus berhenti beberapa saat untuk setiap penumpang harus turun untuk mengikuti protokol pemeriksaan kesehatan, maklum dimasa pandemi begitulah proses prosedur yang mau tidak mau harus diikuti.

Walhasil, tiba senja di Atambua menjadi bagian irama penghibur bahwa tujuan kami sudah dekat. Meskipun perjalanan akan dilanjutkan ke Atapupu Motaain perbatasan Timor Leste keesokan harinya.

Masjid Al-Huda Dusun Jenilu Atapupu adalah salah satu masjid satu-satunya di perbatasan Motaain yang masih kokoh berdiri dikawasan Pelabuhan Atapupu. aktivitas kegiatannya pun cukup beragam dan berkembang. Menjadi bagian pelayanan ummat yang cukup mewadai para jama’ah dari anak-anak hingga dewasa.

“Jumlah Muslim di Kabupaten Belu diperkirakan 5-7 persen dengan jumlah bangunan Masjid/Mushola sebanyak 7-10 buah yang tersebar di di wilayah kabupaten Belu”, tegas Fahmi tokoh setempat yang hari-harinya menjadi penyuluh agama kecamatan.

Kedatangan Tim Tanmia Foundation juga dalam rangka program distribusi Wakaf Qur’an – Iqra dan Pakaian Layak ke berbagai lapisan masyarakat pedalaman di daratan Timor, baik untuk anak-anak TPQ, penyuluh agama dan da’i lokal dan berikut kegiatan majelis taklim yang ada.

Beberapa paket-paket ekspedisi wakaf sudah sampai dengan berat keseluruhan diperkirakan sebesar 1 ton untuk didistribusikan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Paket berisi mushaf Al-Qur’an, Iqra’, Alat Shalat, Pakaian Muslimah layak pakai yang akan dibagikan antara lain di Pedalaman OeUe, Senben Mauleum Soe TTS, Rote Ndao, Umarese, Dualaus, Atapupu, Aitaman Tasifeto Timur hingga daerah-daerah perbatasan.

Pungkasnya kami pun mengunjungi PLBN ( Pos Lintas Batas Negara ) Motaain setidaknya mengobati penat jenuhnya perjalanan, sekaligus menjadi ghirah yang menggerakkan asa terus melangkah untuk terus mengetuk pintu langit agar kebaikan tak pernah tersekat oleh batasan wilayah perbatasan. Terjalnya bebatuan tak membuat kaki ini berhenti melangkah bahkan jalan kebaikan dakwah pun akan terus mengisi setiap ruang misi dakwah yang senantiasa bergerak melintasi segala penjuru perbatasan. Hal itu semua tidak lain untuk harapan kejayaan ummat dipelosok negeri demi mengagungkan syi’ar syar’iatnya dan menggapai ridho-Nya semata. Berdoa semoga kemuliaan Islam itu terus bercahaya demi izzul Islam walmuslimin. Kepalkan tangan dan salam dari perbatasan. Barakalallahufiekum

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

Cahaya Perjalanan Islam Ketua Suku Timor dan Mata Air Pedalaman OeUe

Da’i-da’i lintas pedalaman Oeue dan Senben Mauleum Amanuban Timur harus sudah teruji untuk sanggup berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya untuk membelah perbukitan demi mencapai perkampungan dakwah yang dituju. Geografis di Pedalaman Soe Timor Tengah Selatan memang memiliki kontur pemukiman di lereng-lereng perbukitan. Cuacanya pun terkenal dengan dinginya karena berada diatas ketinggian. Sehingga keberanian dan nyali mentalnya pun ganda selain mental juga fisik yang mendukung begitu pun warga setempat yang juga sudah terbiasa jalan kaki ke perkampungan lainya yg berada di seberang bukit. Masih banyak jalanan yang hanya setapak saja sehingga sulit untuk dilalui dengan kendaraan bermotor apalagi mobil.

Ketika berada di dusun OeUe dan Senben Mauleum Tim Tanmia Foundation mendapat banyak menggali pengalaman menarik. Salah satunya ialah awal mula keislaman Arifin Nobisa sebagai Ketua Adat dan warisan mata air OeUe yang dimanfaatkan untuk empat kecamatan.

Tahun 1966 adalah awal mula keislaman Arifin Nobisa bersama empat orang lainya. Hanya Arifin Nobisa ( 75 tahun ) yang kini masih hidup sedangkan empat lainya sudah wafat beberapa tahun terakhir. Sebagai Ketua Suku Timor OeUe sampai sekarang tentu sangat penting peranannya. Suku Timor OeUe sangat menjaga sistem kekerabatan yang kuat dan sangat menghargai siapapun yang hendak bertamu untuk datang. Wilayah kecamatan Amanuban Timur merupakan daerah titik-titik dusun mayoritas muslim di daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Hingga saat ini ada sebanyak 176 KK muslim yang kini bermukim di OeUe dan 74 KK muslim lainya berada di Senben. Sehingga beberapa tahun terakhir ini dinamai dg Kampung Qur’an OeUe. Seiring itu juga berdiri sekolah Raudhatul Athfal dan Madrasah Ibtidaiyah yang menampung anak-anak dari dusun-dusun lainya yang masih berdekatan dengan OeUe.

Keislaman “Arifin Nobisa”, Ketua Adat Suku Timor OeUe

“Setelah saya masuk Islam pada tahun 1966 lalu diikuti selanjutnya di tahun-tahun berikutnya setelah tahun 1967 ribuan penduduk di Amanuban Timur masuk Islam berduyun-duyun dengan keinginan sendiri dirinya, kendati jaman itu penyuluh agama / da’i seperti sekarang adalah hal yang paling sulit dicari jaman itu”, jelas Arifin Nobisa dengan dialek bahasa khas Dawan Suku Timor kepada Ustadz Masrin ( da’i setempat yang menemani perjalanan kami.

“Setelah tahun 1967 bagi siapapun yang hendak masuk Islam dari Amanuban Timur pasti datang ke OeUe”, lanjut Arifin Nobisa melanjutkan kisahnya. Untuk bepergian ke pasar Niki-Niki ( pasar terdekat ) jaman itu harus berjalan kaki 2 hari semalam melewati rimba pegunungan sehingga harus membawa bekal perjalanan. Baru tahun sejak tahun 1980-an akses jalanan dibuka sehingga suasana OeUe pun mulai terbangun akses pembangunan kendati jalanan sampai saat ini masih jalanan tanah dan berbatu. Tidak bisa dibayangkan ketika masa itu bagaimana penduduk untuk dapat menjangkau perkotaan sekedar ke kota kecamatan pun begitu sulit. Hal demikian pula yang menjadi keberadaan khas rumah bulat “Ume Kbubu” sangat bermanfaat bagi Suku Timor untuk menyimpan hasil panen, ladang dan bahan-bahan pokok pangan lainnya hingga kurun waktu yang lama.

Mata Air OeUe, Sumber Kehidupan Yang Tak Pernah Kering

Menurut arti asal asli bahasa Timor OeUe yakni Oe berarti air / sumber air sedangkan Ue berarti pohon rotan, sehingga memiliki arti makna mata air yang menumbuhkan rotan disekitarnya. Rotan-rotan yang tumbuh liar pun bisa dimanfaatkan warga untuk membuat perlengkapan rumah tapi sekedarnya saja karena termasuk dijaga kelestariannya. Sumber mata air OeUe adalah warisan yang telah turun-temurun dari generasi nenek moyang Suku Timor OeUe yang sangatlah berharga bagi kelangsungan hidup warga sampai saat ini.

Celah air muncul dari batu-batuan semak rimba yang terus mengalirkan tetesan-tetesan air sehingga menjadi semacam telaga kecil sekalipun dangkal mirip berlumpur tapi mata air ini mampu mencukupi kebutuhan bagi 4 kecamatan di sekitar Amanuban Timur. Mata air ini biasanya untuk keperluan air rumah tangga sehari-hari dan suatu ketika keperluan hajatan ketika ada acara besar lainnya begitu juga setiap musim kemarau tiba banyak warga tetangga dari perkampungan seberang bukit dengan baik-baik meminta ijin untuk mengambil air secara cuma-cuma kepada ketua adat dengan syarat tidak untuk diperjual-belikan. Kawasan rimba yang masih terjaga menjadi sumber mata air alami ini terus memancarkan air jernihnya. Hal seperti inilah yang juga membuat keberlangsungan mata air OeUe ini lestari sampai sekarang.

Seperti saat sekarang ini bak-bak penampungan sudah dibuat untuk menampung air yang siap dialirkan ke rumah-rumah penduduk dengan bantuan tarikan pompa diesel solar. Untuk operasional iuran bulanan warga biasanya membayar Rp.10.000/KK sebagai pengganti bahan bakar. Selain itu juga disiapkan beberapa kolam untuk pembudidayaan ikan yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat bersama.

Disisi lain rimba raya kawasan mata air OeUe ini juga terdapat pohon-pohon lebat yang menjulang tinggi dimana koloni lebah hutan liar bersarang diranting-ranting membuat sarang. Ketinggian pohon pun cukup tinggi mencapai 70-an meter. Biasanya musim madu liar itu akan berlangsung pada bulan September hingga awal tahun. Untuk mengambilnya pun masih tradisional dan hanya pawang lebah saja yang biasa memanenya.

Kami memang sudah dibuat penasaran dengan keberadaan mata air OeUe dan rimba hutan yang masih hijau alami keberadaanya. Memang benar-benar masih alami, kejernihan airnya pun sangat bening, bila sehelai dedaunan jatuh pun masih nampak jelas di dasar kolam.

Suasana sekitar mata air OeUe pun menjadi suasana riuh penuh keceriaan dengan suara riang layaknya waterpark ala pedalaman dimana kolam keruh pun menjadi arena kolam renang yang mampu menghibur dan menghidupkan suasana anak-anak Suku Timor yang terbiasanya mengangkat jerigen-jerigen air.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

“Muhammad Bukhari” Muallaf Asli Suku Lisan Timor Leste, Rela Hijrah Menjadi Da’i Demi Tunaikan Kebaikan

Usianya tidak lagi muda. Walaupun kini sudah menginjak 60-an tahun, ia masih tetap mengabdi sebagai pendidik dan aktivis dakwah di pesantren Putra Hidayatullah Batakte Kabupaten Kupang. Untuk silaturahim ke kediamannya bisa dijangkau dengan perjalanan sejauh 15 KM dari pusat kota Kupang. Dan itulah yang akrab dipanggil Ustadz Muhammad atau lengkapnya Muhammad Bukhari. Muallaf eks Tim-Tim yang kini menjadi pengasuh para santri-santri di daratan Timor.

Menyimak kisah perjalanan kisah muallafnya sudah sejak tahun 1994, dimana terjadi sebelum proses pernikahannya di Laklubar Manatutu Timor Leste. Felix Martin adalah nama asli pemberian kedua orang tuanya ( masih Katolik ) yakni Malileki dan Kolosaka yang keduanya adalah kepala Suku Lisan di Timor Leste tepatnya di Batara Laklubar Manatutu. Tepat keberadaanya di wilayah kawasan pesisir selatan yang menghabiskan setengah hari perjalanan dari ibukota Dili.

Banyak kecaman, ancaman dan perseteruan yang menghadangnya diawal keislamanya sampai seketika itu ia harus hijrah meninggalkan kampung halamannya padahal keislamannya bukan sebuah paksaan namun terbesit dari hati nurani sanubarinya lah yang akhirnya menunjukkan perjalananya menemukan kenikmatan hidayah.

Hal yang istimewa adalah ghirah kesungguhanya untuk mendalami islam dan siap dengan segala resiko yang menimpanya, suatu ketika ia pernah diperlakukan ancaman fisik oleh sanak keluarga dekatnya apalagi ia adalah anak sulung dari tetua kepala Suku Lisan yang disegani saat itu. Namun persaksian keislamannya justru makin meneguhkan keputusanya memeluk Islam.

“Awal keinginanya memeluk Islam ketika melihat keislaman calon ibu mertua dan disuatu ketika saya bermimpi yang luar biasa mengucapkan kalimat takbir “Allahu Akbar” berkali-kali dalam mimpi itu” jelas Muhammad di serambi Masjid pesantren putra Hidayatullah Batakte.

Sejak dimasa mudanya Felix Martin ( Muhammad Bukhari ) adalah sosok pekerja keras, bagaimana tidak sejak awal keislamanya maka sejak itu pula semua harta benda hak miliknya, ladang dan ternak dan apa yang ia telah usahakan diboikot dan bukan miliknya lagi itu semata-mata karena berpangkuan dirinya memeluk Islam. Tapi resiko ini pun telah siap ia hadapi bahwa inilah ujian diawal keislamanya.

Jauh sebelumnya Referendum kemerdekaan Republik Timor Leste tahun 1999, ia sudah memutuskan meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke ibukota Dili dimana waktu itu ia bisa belajar islam sebelum akhirnya ia melintasi perbatasan dan akhirnya memutuskan untuk menetap di Kupang. Keputusan keislamannya pun tak berhenti pada dirinya saja, adik kandungnya pun yakni Thereshina ( Liatul Jannah ) tertarik memeluk Islam dan memutuskan untuk siap berhijrah ikut bersamanya.

Sampai saat ini, beliau tetap semangat siang dan malam, mengabdi dalam pesantren dan buah jasanya dengan tanpa pamrih sebagai pengasuh untuk ratusan santri di pesantren Putra Hidayatullah Batakte Kabupaten Kupang.

Sudah 25 tahun berlalu ia tinggalkan kampung halamannya di Batara Laklubar Manatutu namun sesekali kerinduanya untuk menjenguk kedua orangtuanya masih terpendamlah sudah dengan tak putus-putusnya do’a berharap suatu ketika diakhir usia kedua orangtuanya masuk islam.

Tahun 2017 lalu adalah tahun penuh kenangan dimana seketika perjalanan membesuk kedua orangtuanya dan seketika itu tetua kampung halamannya memintanya dirinya untuk pulang kendati awal keislamanya dan alasan kepergiannya ia dihadapkan berbagai ujian dan ancaman hingga beberapa puluh tahun silam ia memutuskan untuk tinggalkan kampung halamannya.

Muhammad atau Bukhari akrab dipanggilya, ialah seorang muallaf ( sudah berjalan puluhan tahun ) dan pengasuh pesantren. Memang bukan hal yang menjanjikan secara materi duniawi tapi suka dan duka ia jalani dengan segala kerelaan dirinya untuk korbankan kemampuannya. Dari buah jerih payahnya sekarang ia mampu menghantarkan masa depan putra-putrinya di pesantren hingga ke jenjang perguruan tinggi. Kemudian, ia berharap dimasa tuanya ingin dihabiskan untuk bisa beramal sebanyak-banyaknya untuk islam dan terus berada di jalan dakwah mengajak pada kebenaran pungkasnya.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

Bertamu ke “Ume Kbubu” Ketua Adat Suku Timor di Pedalaman OeUe Soe Nusa Tenggara Timur

Perjalanan di pedalaman Pulau Timor belumlah cukup bila belum singgah di “Ume Kbubu” rumah bulat khas suku Timor yang banyak di jumpai di sepanjang wilayah pedalaman Soe Timor Tengah Selatan dan Kefa Timor Tengah Utara.

Semua orang asing ( bukan warga setempat ) yang akan bertamu dan berkunjung ke wilayah pedalaman ini sudah menjadi bagian kebiasaan Suku Timor ini untuk melakukan proses acara penyambutan tamu dan menghadiahkan kain tenun yang dibuat khusus sebagai tanda penerimaan dan penghormatan memuliakan tamu sekaligus tanda dibolehkanya melakukan aktivitas di wilayah mereka. Sebagaimana kedatangan Tim Tanmia Foundation ke wilayah pedalaman OeUe Soe ini.

Hal yang unik yang bisa ditelusuri ialah keberadaan Ume Kbubu. Selain bentuknya yang tergolong unik Ume Khubu juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari adat kehidupan sehari-hari dan ciri khas pemukiman Suku Timor Nusa Tenggara Timur. Mari menelusuri keunikannya saat Tim Tanmia Foundation menapaki perkampungan di perbukitan dusun OeUe dan dusun Senben di Desa Maleum Kec. Amanuban Timur Kab. Timor Tengah Selatan.

Struktur rumah bulat ini tergolong sederhana dan termasuk rumah tradisional yang bisa banyak dijumpai di bagian Soe dan Kefa. Ume Kbubu berasal dari kata Ume yang artinya rumah dan Kbubu yang artinya bulat, sehingga Ume Kbubu artinya rumah yang berbentuk bulat.

Adapun atap Ume kbubu terbuat dari anyaman yang tersusun dari material alang-alang yang sudah dikeringkan lalu dibentuk berlapis-lapis hingga menjulur bagianya hampir menyentuh tanah. Dimana sebelumnya telah dibuat pilar rangka-rangka bambu dan kayu yang akan menyangganya didalamnya.

Mayoritas penduduk yang tinggal di pedesaan Pulau Timor memiliki Ume Kbubu sejak puluhan tahun silam yang telah silih berganti turun menurun. Ume Kbubu pun bukan rumah sembarangan yang bisa dimasuki siapapun sebelum ijin kepada tuan rumahnya. Bagian atas atau loteng merupakan lumbung dan bagian yang hanya bisa dimasuki oleh istri/wanita yang dituakan dalam keluarga itu saja sebagai tanda menjaga kehormatannya.

Ume Kbubu juga berfungsi untuk menyimpan hasil panen dan hasil cocok tanam ladang seperti padi, jagung, kacang dan umbi-umbian juga ikan kering dan Sei ( daging asap yang dikeringkan ). Selebihnya juga untuk menyimpan barang-barang yang dianggap bernilai menurut kebiasaan Suku Timor ini.

Sampai saat ini hampir semua aktivitas di dalam rumah, seperti tidur, makan bahkan memasak, masih dilakukan dalam satu ruangan Ume Kbubu. Makanya, selain sebagai tempat tinggal, rumah bulat ini juga digunakan sebagai tempat berkumpulnya anggota keluarga sembari juga mengawetkan bahan pangan.

Memang sekilas kalau dari kejauhan, rumah ini tidak terlihat seperti rumah, hanya terlihat seperti susunan tumpukan jerami ilalang. Pintunya pun juga sangat rendah, sekitar 1 meter sehingga kalau kita mau masuk, kita terkadang harus berjongkok. Rumah bulat ini pun hanya ada satu ruangan utama saja dan tidak memiliki jendela dan sekat, lantainya pun tidak berubin semen melainkan berlantaikan tanah saja.

Dalam pembuatanya, ukuran Ume Kbubu biasanya tidak terlalu besar, diameternya
sekitar 3 atau 4 meter dengan tinggi 2,5-3 meter.

“Pembuatan “Ume Kbubu” rumah bulat bisa diselesaikan dalam waktu 3 sampai 5 hari saja dengan gotong-royong asalkan bahan-bahan sudah dipersiapkan semuanya”, jelas Arifin Nobisa seorang pemuka adat Suku Timor di OeUe Mauleum.

Semua bahan dapat diperoleh bebas dari semak-semak pegunungan dan rimba-rimba hutan. Jenis alang-alang untuk atap rumah bulat
pun tergolong jenis tumbuhan liar yang bisa bertahan hingga belasan tahun sebelum lapuk mengalami kerusakan.

Walhasil, realitas perkembangan hari ini pun tak bisa dipungkiri lagi, walaupun masih ada yang tinggal di rumah bulat ini tapi sebagian besar warga juga berpindah dengan membuat rumah lebih modern yang disebut rumah kotak beratap seng. Tapi Ume Kbubu pun masih dipertahankan keberadaannya.

Kendati demikian bukanlah berarti mereka sudah tidak memiliki rumah bulat lagi tapi mereka pergunakan Ume Kbubu untuk lumbung pangan untuk menyimpan hasil panen juga berkumpul membuat perapian untuk menghangatkan badan dan kegiatan masak-memasak. Inilah sekilas profil rangkaian cerita dari bertamu di Rumah Kbubu Kediaman Arifin Nobisa, Muallaf sekaligus Ketua Suku Timor di Dusun OeUe Maleum Amanuban Timur Pedalaman Timor Tengah Selatan.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

“Nurussa’adah” Masjid Raya Dan Pusat Dakwah Islam di Nusa Tenggara Timur

Fajar pagi pun menyingsing jalanan menuju pelabuhan Tenau Kota Kupang, tidak jauh dari persimpangan taman Fontein pun menggema adzan shubuh pagi tadi. Inilah pilar kokoh Masjid Raya Nurussa’adah yang kembali menggerakkan ruh kerinduan kembali untuk khusyu’ bersimpuh beribadah menunaikan panggilan shalat berjama’ah setelah sekian waktu terhenti karena pandemi.

Syiar mengagungkan kalimat Allah pun bersuara dari samping pojok-pojok tiang masjid disanalah anak-anak asuh Nurussa’adah berhalaqah qur’an. Ada sekitar 60-an anak-anak yang dididik yang tinggal di asrama yang termasuk dalam pembinaan kader anak-anak qur’ani dari tingkat SMP dan SMA.

“Sudah tiga tahun belajar disini, dan sekarang sudah tingkat kelas satu Aliyah. Ada belasan teman-teman kami yang belajar disini, namun ada saja yang tidak kerasan dan akhirnya putus sekolah balik ke kampungnya di seberang”, jelas Hasan, santri asrama asal Lembata yang sedang mengikuti rutin kerja bhakti pagi di sekitar komplek asrama.

Di Area Masjid pun banyak kantor lembaga ummat yang beraktivitas selama ini, antara lain : MUI Provinsi NTT, LPOM MUI, BAZNAS Provinsi NTT,Sekolah Persatuan Islam Timor ( Persitim ) dan rumah kader asrama panti asuhan Nurussa’adah itu sendiri.

Di Area komplek pun juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan Akademi Dakwah yang diselenggarakan oleh Dewan Dakwah Islamiyah yang merupakan salah satu bagian program yang mendukung eksistensi keberlanjutan estafet dakwah di Nusa Tenggara Timur selama ini.

Sosok Ustadz Ramli, adalah bagian yang tak terpisahkan dengan keberadaan eksistensi estafet dakwah di daratan Timor maupun wilayah-wilayah pedalaman Nusa Tenggara Timur sejak tahun 2000-an sebagai penerus para senior pendahulunya.

Masjid Nurussa’adah terbilang menjadi salah satu gerbang pintu masuk dakwah di daratan Pulau Timor khususnya di Kota Kupang Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Oleh karena itu pusat kegiatan dakwah sangat tidak akan pernah terlepas dari keberadaan Masjid Raya Nurussa’adah Fontein yang sekarang menjulang tinggi menaranya.
Semalam tiba di Kupang inilah tempat yang pertama kali kami singgah sebelum melakukan perjalanan ke perbatasan Atambua.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

Warga Pesisir Komodo NTT Menikmati Qurban

Hari tasyrik kian mendekati garis akhirnya, tanda Iduladha akan lewat sebagai penutupan pamungkas bagi siapapun yang akan memotong hewan-hewan kurban terbaiknya. Distribusi pembagian hewan kurban Tanmia Foundation ke pelosok negeri salah satunya mencapai dermaga kampung Komodo dipenutupan akhir tasyrik idul Adha tahun ini 1441 H.

Menurut rekapitulasi pendistribusian Tanmia Foundation telah menyebarkan hewan qurban sebanyak 4 ekor sapi dan 26 ekor yang menyasar daerah-daerah pedalaman Nusa Tenggara Timur. Antara lain : Pedalaman Manggarai Barat, Komodo, Sikka, Oelaba Rote, Atapupu Atambua perbatasan Jenilu Timor Leste. Ini adalah bagian dari titik-titik prioritas yang dapat menjangkau ummat hingga ke pelosok dan masyarakat terpencil.

“Alhamdulillah distribusi kurban tahun ini berjalan dengan baik kendati ditengah suasana pandemi yang mengkhawatirkan bagi sebagian warga pedalaman yang juga ikut terdampak baik materi maupun psikisnya. Kami segenap tim dan relawan mengucapkan terimakasih kepada para sohibul kurban yang sudah mengamanahkan hewan kurbannya kepada Tanmia Foundation untuk dibagikan sekerat daging kurbanya kepada masyarakat pedalaman, muallaf dan kaum dhuafa yang bermukim di ujung-ujung pelosok,” ujar Umrawi, relawan Tanmia usai kembali Pulau Komodo, Senin (03/08/2020).

Program tebar kurban  hingga pelosok negeri untuk mendistribusikan daging hewan kurban ke daerah-daerah pedalaman setidaknya membantu pemberdayaan peternak lokal terus eksis bertahan dan bertujuan agar masyarakat yang lebih membutuhkan dapat merasakan lezatnya daging kurban di hari raya ldul Adha.

Walhasil, salah satu pengiriman hewan kurban ke Pulau Komodo berupa sapi harus diangkut menggunakan taxy ( kapal motor ) terbiasa warga di pesisir Komodo menyebutnya. Perjalanan pengangkutan Sapi ke Komodo memakan waktu sekitar empat jam untuk dapat sampai di dermaga kampung. Pulau Komodo adalah kawasan yang dihuni oleh Suku Atamodo yang sudah ratusan tahun silam hidup berdampingan dengan Ora ( Komodo : Istilah orang lokal ) sebagai reptil raksasa dan hanya ditemukan habitatnya di pulau ini saja.

Program kurban Tanmia Foundation setidaknya mewujudkan pemerataan kurban dengan mendistribusikan daging ke wilayah-wilayah perkampungan pesisir dan pelosok-pelosok pulau sehingga kurban tidak hanya menumpuk di wilayah kota saja yang relatif mudah dijangkau.

Jejak perjalanan kurban dari tahun ke tahun ke pelosok negeri khususnya Nusa Tenggara Timur menjawab sebuah panggilan nurani untuk terus membangun kejayaan ummat dari zaman ke zaman dan melahirkan generasi untuk mencoba terus peduli, berempati dengan kaum dhuafa dan memajukan generasi bangsa dengan syiar qurban. Berharap cahaya naungan ajaran islam akan memberi kebahagiaan dan keberkahan bagi siapapun yang telah andil berserikat dan berkhidmat untuk kejayaan ummat mulai dari pusat metropolitan hingga menyinari pelosok pedalaman. Walhakhir, kurbanmu adalah tanda cinta dan taqwa yang sesungguhnya bukan hanya sekedar janji lisan tanpa pengorbanan.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

Qurban Tanmia Foundation : Penguat Dakwah di Pesisir Lintas Perbatasan Belu – Timor Leste

Distribusi hewan qurban Tanmia Foundation 1441 H walhasil memasuki daerah-daerah perbatasan di Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste di hari akhir tasyrik ( 3/08/2020).

Warga desa pesisir di lintas perbatasan Kabupaten Belu tepatnya di Dusun Fatuluka Jenilu dengan Dusun Aidila Dualaus sudah berharap kegiatan syiar ibadah qurban menghampiri mereka. Menuju Jenilu akan menghabiskan waktu setengah jam dari Atambua yang merupakan ibukota kabupaten Belu.

Perkampungan pesisir nelayan yang terdiri dari pendatang Suku Buton, Suku Bajo dan lokal pribumi ikut merasakan kenikmatan perayaan qurban yang diserahkan oleh Tanmia Foundation NTT Berqurban.

Lemahnya situasi ekonomi penduduk pesisir di perbatasan menjadi salah satu alasan distribusi hewan qurban ke daerah ini. Disisi lainya, kegiatan syiar dakwah mulai menggeliat dengan aktivitas di Masjid Al Huda Atapupu yang menyelenggarakan pembinaan 4 TPQ dan majelis taklim rutin yang menghimpun para jamaah guna memakmurkan masjid selama ini.

“Tujuan kegiatan Qurban Tanmia Foundation hingga pelosok negeri adalah bagian dari kepedulian untuk menyongsong kejayaan ummat yang menjangkau daerah-daerah pedalaman dan perbatasan yang masih lemah dalam berbagai sisi.

“Terima kasih telah memberi daging qurban kepada kami, hingga kami sangat terharu mendapat perhatian dari saudara kami seiman di Jakarta”, ungkap Ahmad Bofe salah satu tetua dan anak ketua Suku kampung dusun Dualaus Aidila.

Ia melanjutkan, apalagi seperti saat pandemi seperti sekarang ini jarang rasa kepedulian itu hadir, semoga saudara pequrban di jakarta diberi kesehatan, amal ibadah diterima Allah, mendapat keberkahan dalam usaha dan pekerjaan.

Distribusi qurban berupa 3 ekor Kambing dan Satu ekor Sapi setidaknya bisa membuat sebuah kebahagiaan untuk warga Dusun Fatuluka Desa
Jenilu yang memiliki 176 KK. Daerah ini hanya berjarak 10 KM saja menuju perbatasan Timor Leste sehingga sangat beragam penduduk yang berdiam tinggal disini. Perkampungan muslim terdekat di sekitar area perbatasan ini adalah Atapupu, Kolam Susuk, Umarese, dan Trans pengungsi eks Timor- Timur dan perkampungan muallaf.

Adapun keadaan masyarakat masih tergolong ekonomi lemah, profesi nelayan, petani, buruh serabutan yang mayoritas dari pendatang dari Buton, Bajo, Lokal NTT.

“Masyarakat pesisir ini masih lemah dan jauh dari program kesejahteraan sehingga menjadi prioritas distribusi kegiatan qurban tahun ini” jelas Fahmi tokoh setempat yang membantu panitia penyelenggaraan pemotongan hewan kurban Tanmia Foundation dilokasi.

Syiar qurban ini sekaligus sebagai penguat dakwah ke daerah lintas perbatasan dan menjadi nilai tambah kepada masyarakat secara langsung agar tetap bertahan di tengah keterbatasan seperti situasi saat ini.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
NTT

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?”       (Q.S. Fushilat : 33)

Mailing form

    Kontak Kami

    Jl. Kranggan Wetan No.11, RT.1/RW.5, Jatirangga, Jatisampurna, Kota Bks, Jawa Barat 17434

    0852-1510-0250

    info@tanmia.or.id

    × Ahlan, Selamat Datang!