Ratusan Tenda masih memenuhi padang tenda di pengungsian Gunung Balai Banawa Donggala. Mereka adalah para pengungsi korban gempa dan tsunami yang semula tinggal di pesisir Donggala mulai dari Kabonga hingga Labuan Bajo Tanjung Karang Donggala. Diperkirakan sekitar ratusan KK dengan jumlah ribuan jiwa masih bertahan untuk menunggu hunian sementara. Di sekitaran area perkantoran kabupaten Donggala mereka bertahan seadanya sampai sekarang.
“Sudah empat kali kami berpindah-pindah lokasi pengungsian sejak bencana terjadi”,tutur Jamil salah satu korban tsunami asal kampung muara yang kehilangan kedua anaknya Nizam (7 th) dan Altaf (3 th).
Sore jelang maghrib itu (28/9/2018) bersama ketiga anaknya ( Chika (9th), Nizam (7th), Althaf (3th) ) sedang berada di dalam rumah. Dalam waktu bersamaan juga Anggeriana istri Jamil sedang mengantar makanan di rumah bapaknya yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya. Allahu Akbar…sontak tiba-tiba gempa dahsyat menggoyang rumahnya hingga berhamburan semua orang tetangga-tetangganya yang menghuni pesisir Kampung Muara. Tanpa fikir panjang Jamil bersama ketiga anaknya langsung segera keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Apa dikata sebelum keluar jauh dari rumah tanah di terbelah lebar-lebar sepanjang jalan, hingga menangis histeris semua anak-anaknya ketakutan. Tak berselang lama perlahan air laut keluar dari belahan-belahan bongkahan tanah bersamaan dengan terjangan gelombang tsunami yang diperkirakan beberapa meter melebihi atap rumah ketika itu.
“Saya menggendong ketiga anak saya ( Chika,Nizam dan Althaf) keluar rumah, tapi semua terlepas ketika air menghantam hingga kami terkapar hanyut masing-masing, selang berapa jam saya terdampar di TPI Labuan Bajo yang berjarak 2 KM dari pesisir saya tinggal dan anak-anak belum tahu kabarnya ketika itu”, ungkap Jamil dengan haru berat menceritakan pada relawan di tendanya.
Alhamdulillaah dengan ijin Allah putri sulung saya Chika ( 9 th ) selamat dan bertemu waktu itu hampir tengah malam”, tutur Anggeraeni istri Jamil.
Chika ( 9 th ) sempat hanyut dibawa air laut berjam-jam tapi kehendak Allah lain masih menyelamatkanya, ia bisa berpegangan dengan sebuah ranting kayu yang entah darimana asal muasal datangnya.
“Adik Chika terdampar di pesisir pantai jelang tengah malam dan dibawa tetangga bertemu Ibu mengungsi di gunung”, cerita Chika yang sedang bermain mainan di sekitar tendanya.
Gempa dan tsunami yang terjadi 28/9/2018 lalu juga menyisakan kesedihan yang sangat bagi Ibu Aini ( 75 th ) dan bersama kakaknya Hayati ( 78 th ) yang juga masih kerabat dengan Jamil. Di umur yang sudah senja keduanya harus mengungsi seadanya di atas gunung berhari-hari sejak gempa disusul tsunami terjadi.
“Bencana yang terjadi kali ini lebih dahsyat dibanding dengan tsunami yang terjadi di Mapaga Labean Donggala beberapa puluh tahun silam”, jelas Aini yang ditemui di rumah putranya dekat Masjid Raya Donggala. “Ketika itu belum ada nama tsunami orang tua dulu menamainya gelombang susun tiga” tutur Hayati yang waktu itu masih usia 25 tahun.
Dua kali menjadi saksi hidup ketika tsunami yang terjadi di Donggala menjadikan lebih bersyukur dan menguatkan iman bahwa seisi alam hanya Allah lah satu-satunya yang berkuasa. Alhamdulillah dipenghujung akhir membesuk para korban dan sekaligus silaturahim Tanmia Foundation menyampaikan amanah para donatur dan mendistribusikan logistik bahan pangan hingga hari menjelang senja di Donggala.
Kedatangan para relawan kemanusiaan belumlah mampu menghapus semua kedukaaan yang ada. Hanya imanlah yang menguatkan hati dan menentramkan semua keadaan yang ada. Semua kebaikan dan amal shalih para muhsinin dan donatur adalah cara Allah menggerakan setiap jiwa untuk meringankan duka yang menimpa hambanya. Duka Donggala masih teringat di doa-doa kita. Aamiin.
Ali Azmi
Relawan Tanmia
Palu Sulteng