Jalanan poros trans Sulawesi sepanjang Majene – Mamuju masih banyak dijumpai para penyintas gempa saat informasi ini disusun, 28 Februari 2021. Sepanjang belasan kilometer, Malunda – Tapalang – Mamuju, banyak didapati pemandangan ratusan tenda pengungsi bertebaran.
Ratusan tenda pengungsi dan posko logistik relawan bersusun berjajar sepanjang jalan itu, memenuhi sepanjang sisi kanan maupun kiri jalan. Baik Posko Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Lembaga Kemanusiaan, maupun berbagai ormas dan komunitas relawan dari berbagai mitra perusahaan pun ada sebagai bagian hadirnya solidaritas sosial dan kemanusiaan.
Lahan lapang maupun tempat kosong yang dirasa menjadi jarak aman menjadi tempat tinggal sementara para penyintas gempa yang sebagian besar rumahnya sudah tidak bisa ditempati kembali.
Rata-rata tenda dipadati dengan keluarga. Warga pun masih belum bisa sepenuhnya beraktivitas sediakala akibat masih dibayangi trauma sejak kejadian gempa sebulan lalu.
Sebut saja, Hasri, akrab dipanggilnya sudah sebulan ini berada di tenda-tenda yang didirikan relawan. Mata pencaharianya sebagai pedagang ikan keliling harus ia tinggalkan sementara harus mengungsi di daerah aman sepanjang jalur perjalanan Majene – Mamuju beberapa kilometer dari pasar Malunda berada.
“Rumah saya pas di pinggir pesisir perbukitan. Tembok rumah berjatuhan dan atap pun bergeser sejak gempa saat itu”, kata Hasri meluapkan cerita sedihnya dengan mata ingin berkaca-kaca.
Menjelang gempa memang tidak ada tanda apapun karena gempa terjadi pagi hari disaat malam buta. Menurut sumber resmi BMKG, gempa Majene diawali dengan gempa pembuka pada 14 Januari 2021 berkekuatan M5,2 yang menimbulkan kerusakan, disusul rentetan gempa pembuka sebanyak delapan kali. Selanjutnya terjadi gempa utama berkekuatan M6,2 pada 15 Januari 2021 dengan guncangan lebih kuat dan merusak, kejadian sekitar pukul 02.30 WITA disaat pulasnya sebagian warga lelap tertidur beristirahat.
“Alhamdulillah, Allah masih sayang sehingga selamatkan keluarga kami dan saat itu tidak terfikir apapun kecuali berdzikir memohon ampun agar diberi keselamatan dan berkumpul bersama sanak keluarga yang lain ke tempat yang aman”, jelas dia mengenang saat itu.
Kini sebulan telah lewat berlalu, menggantungkan kehidupan disuasana pengungsian bukan pilihan yang ideal sekalipun menguji rasa sadar dan sabar akan realitas yang ada akan ada masanya. Ia sadar harus bersabar mengungsi dalam jangka waktu tertentu bersama suami dan anak-anaknya. “Alhamdulillah, apapun keadaannya ketika masih bersyukur akan ada saja jalan keluar”, pinta ungkapnya.
Berbagai persoalan psikologis rentan terjadi dan menjadi sangat sensitif dan labil karena sangat mempengaruhi kondisi stres mental para penyintas gempa. Tiada hal yang seyogyanya patut dilakukan selain menghapus duka lara mereka dengan menggugah semangat untuk menata hidup mereka kembali.
Setidaknya mengunjungi mereka dalam suasana seperti sekarang ini perlahan akan menguatkan mental dan jiwanya. Inilah perhatian dari wujud persaudaraan sesama saudara apalagi seorang muslim yang persaudaraanya terjalin karena ikatan keimanan semata-mata karena Allah saja maka pasti menumbuhkan rasa saling mencintai demi membantu saudara-saudaranya yang tertimpa musibah.
Ali Azmi
Relawan Tanmia
Sulawesi Barat