Potret Salafus Shalih Ketika Berpisah Dengan Ramadhan

Oleh: Kholid Mirbah, Lc

Tinggal menunggu hitungan jam, kita akan berpisah dengan Ramadhan, bulan suci itu akan pergi meninggalkan kita, kita tidak tahu apakah tahun depan kita bisa kembali bertemu lagi bulan Ramadhan. Setiap detik hari-harinya begitu berharga, setiap hembusan nafas kita bernilai kebaikan di sisi Allah swt, menjaga amalan yang sunnah meningkat status pahalanya seperti menjaga amalan yang wajib, dan banyak sekali manfaat yang kita raup, serta pahala Allah yang dapat kita raih jikalau kita maksimal beribadah di dalamnya. Telah berakhir Bulan Shiyam dan Qiyam, berakhir pula bulan penuh rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka, berakhir pula nikmat yang sangat agung dalam hidup ini, yang belum tentu bulan suci tersebut kembali ke pangkuan kita. Sungguh datangnya bulan tersebut merupakan kabar gembira bagi para pendosa untuk meraih ampunan, pengabulan doa, pembebasan api neraka serta curahan kasih sayang Allah begitu terasa pada bulan tersebut.

Sungguh, berpisah dengan Ramadhan meninggalkan kesedihan dalam hati, duka serta nestapa yang mendalam, Bagaimana tidak sedih? Seseorang berpisah dengan kekasihnya untuk selama-lama nya, dan ia tidak tahu apakah nanti akan berjumpa lagi dengannya. Seolah-olah kepergiannya menjadi musibah besar sehingga tak jarang ia merasa sedih, pilu dan kehilangan.
Apakah kita sambut perpisahan itu dengan sikap futur dan malas atau kita sambut perpisahan tersebut dengan sikap yang dicontohkan oleh manusia-manusia terbaik, mereka adalah para salafus shalih kita, generasi terdepan di dalam kebaikan, mereka adalah generasi yang menyelaraskan antara kesungguhan amal dengan ilmu dan perhatian agar diterimanya amal setelah itu serta khawatir jikalau amalan mereka tertolak.

Maka, para salafus shalih telah menunjukkan sebuah kepribadian yang istimewa serta semangat yang membara tatkala mereka memasuki bulan Ramadhan, diantara buktinya sebagaimana yang di jelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali ra,

كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان، ثم يدعون الله ستة أشهر أن يتقبله منهم

Enam bulan sebelum Ramadhan menjelang, mereka berdoa dengan giat agar disampaikan kepada bulan agung ini. Sedangkan enam bulan sesudahnya, mereka sangat gigih berdoa agar segenap amalan mereka diterima Allah Subhanahu Wata’ala (Lathâ`ifu al-Ma’arif, 209).

Sungguh mereka menunjukkan kesedihan dan duka yang mendalam ketika ramadhan berada di penghujung bulan, mereka berusaha saling menasehati agar tidak kendor dalam ibadah dan senantiasa istiqomah diatas ketaatan pada bulan-bulan setelahnya, karena semua bulan di sepanjang tahun bagi setiap mukmin adalah musim-musim ibadah, bahkan seluruh umur kita adalah musim-musim untuk melaksanakan ketaatan.

Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali ra, ketika berkisah tentang kesedihan para salafus shalih yang akan berpisah dengan Ramadhan,

خرج عمر بن عبد العزيز -رحمه الله- في يوم عيد فطر، فقال في خطبته: “أيها الناس، إنكم صمتم لله ثلاثين يومًا، وقمتم ثلاثين ليلة، وخرجتم اليوم تطلبون من الله أن يتقبل منكم”. وكان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر، فيقال له: إنه يوم فرح وسرور. فيقول: صدقتم، ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملاً، فلا أدري أيقبله مني أم لا؟

Suatu saat, Umar bin Abdul Aziz RA keluar rumah di hari Idul Fitri. Dalam khutbahnya beliau menandaskan, “Wahai rakyatku sekalian! Kalian telah berpuasa karena Allah Subhanahu Wata’ala selama tiga puluh hari. Demikian juga telah menunaikan shalat malam tiga puluh hari. Hari ini kalian keluar untuk memohon kepada Allah agar semua amalan diterima.” Pada momen demikian, ada seorang salaf yang menampakkan kesedihan. Kemudian ia ditanya, “Bukankah ini hari kegembiraan dan kesenangan?” Ia menjawab, “Benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba yang Allah perintahkan melakukan amalan. Sedangkan aku tidak tahu apakah amalan itu diterima atau tidak? Itulah yang membuatku sedih.”

ورأى وهب بن الورد قومًا يضحكون في يوم عيد، فقال: إن كان هؤلاء تقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الشاكرين، وإن كان لم يتقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الخائفين. وعن الحسن قال: إن الله جعل شهر رمضان مضمارًا لخلقه يستبقون فيه بطاعته إلى مرضاته، فسبق قوم ففازوا، وتخلف آخرون فخابوا، فالعجب من اللاعب الضاحك في اليوم الذي يفوز فيه المحسنون، ويخسر فيه المبطلون.

Fenomena lain yang tak kalah menarik, ketika Wahab bin al-Warad melihat suatu kaum yang tertawa di hari Idul Fitri, ia berkomentar, “Jika puasa mereka diterima, bukan seperti ini kondisi orang yang bersyukur. Jika tidak diterima, maka bukan demikian perbuatan orang yang takut.”
Diriwayatkan dari Al-Hasan ia berkata :”Sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai Arena Pacuan, siapa saja yang finish duluan dia yang menang, sedangkan yang tertinggal mereka pasti kalah, maka sangat mengherankan peserta lomba yang hanya tertawa dihari kemenangan bagi orang-orang yang baik dan kekalahan bagi orang-orang jahat.”

Bayangkan! Tertawa di bulan kemenangan saja, menjadi aib tersendiri bagi ulama salaf. Bagi mereka, Idul Fitri bukanlah momentum untuk meluapkan kegembiraan, justru untuk evaluasi diri apakah amalan sepanjang Ramadhan diterima Allah Subhanahu Wata’ala.

Beliau melanjutkan,

وروي عن علي رضي الله عنه أنه كان ينادي في آخر ليلة من شهر رمضان: يا ليت شعري من هذا المقبول فنهنِّيه، ومن هذا المحروم فنعزِّيه! وعن ابن مسعود أنه كان يقول: من هذا المقبول منا فنهنِّيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه، أيها المقبول، هنيئًا لك! أيها المردود، جبر الله مصيبتك”

Khalifah Keempat Ali RA memiliki kebiasaan unik. Pada akhir malam bulan Ramadhan beliau berseru, “Duhai, siapakah yang diterima amalnya lalu kita beri ucapan selamat kepadanya. Siapa pula yang tidak diterima amalnya, lalu kita berkabung untuknya.”
Begitupula Ibnu Mas’ud berkomentar “siapakah orang yang diterima amalnya lalu kita ucapkan selamat kepadanya? Dan siapa yang tidak diterima amalnya lalu kita berkabung untuknya. Wahai orang yang diterima, selamat dan sukses untuk kalian. Wahai orang yan tertolak? Allah telah memperbaiki musibah kalian.” (Lathaiful Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hanbali, 209, 210).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saat Ramadhan berakhir, mereka merasa sangat kehilangan. Mereka berada dalam kondisi harap-harap cemas apakah amalan-amalan selama Ramadhan diterima Allah. Di samping itu, akhir Ramadhan dijadikan momentum introspeksi diri dan wahana untuk saling menasehati agar tetap beramal kebaikan walau di bulan-bulan lain. Wallâhu a’lam

Potret Kampung Muallaf di Kutuh Kintamani Bangli Bali

Kutuh Kintamani Bangli adalah salah Sudut perkampungan penduduk asli Bali yang sudah turun temurun sejak nenek moyang pendahulunya. Geografisnya yang terjal di lereng pegunungan gunung Batur menjadikan akses ke wilayah tersebut lumayan menyulitkan. Beberapa tahun terakhir ini seiring berjalannya waktu daerah ini bisa mudah untuk menjangkaunya. Secara administratif wilayah ini berada di kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli Provinsi Bali wilayah utara.

Namun beriringan waktu bukan mustahil bagi Allah untuk menurunkan RahmatNya menaunginya dalam pangkuan Islam. Tahun 1982 adalah tahun bersejarah bagi keluarga besar Mustaqim ( nama seorang tokoh muallaf ) yang beserta segenap keluarganya masuk Islam. Berawal dari Irasun ( kakek Mustaqim ) yang sakit menahun tak kunjung sembuh mulanya sampai segala macam cara dilakukan untuk berusaha melepaskan sakit yang dideritanya. Walhasil Qadarullah atas kebesaran Allah, suatu waktu kesembuhan menghampiri kakeknya atas jasa seorang tabib yang notabene masih bergaris keturunan islam dari perkampungan sasak KarangAsem. Singkatnya keluarga besar Irasun bersama Wayan Warsa ( Ayah Mustaqim ) memutuskan untuk masuk Islam.

Prosesi masuk Islamnya pun tergolong luarbiasa, mendiang KH. Habib Adnan Tokoh MUI Bali langsung turun gunung ketika itu. Tahun 1982 masih jalan setapak dilereng pegunungan Batur untuk menuju kampung AnganSari Kutuh sehingga beliau harus ditandu sejauh 15 KM dari jalan utama menuju perkampungan dibalik bukit Gunung Batur Kintamani. Yang juga tak kalah luarbiasa ialah prosesi sunatan massal yang dilakukan setelah mereka masuk islam yakni dengan bersamaan dg putra mereka yang tergolong masih anak-anak ketika itu.

“Alhamdulillah sampai saat ini ada 26 KK yang sudah masuk Islam dengan jumlah lebih dari 80 jiwa”, jelas Mustaqim di Masjid Nurul Iman satu-satunya masjid yang dibangun diatas tanah keluarga besarnya.

Dalam perjalanan ke lokasi kali ini MUI Provinsi Bali, KH Mustafid Amna, LC MA bersama para remaja masjid selain rihlah silaturahim juga mengadakan kajian serta santunan sosial dalam rangka menguatkan ukhuwah tali keimanan.

Melihat wajah keislaman di Kutuh Kintamani Bangli adalah bagian potret kampung muallaf yang masih banyak membutuhkan perhatian dan pembinaan terlebih jauh dari akses lingkungan perkampungan islam sekitarnya.

Bukan mustahil juga seiring dengan gigihnya para da’i dan pemerhati keislaman yang concern untuk menebarkan dakwah islam di pulau Bali akan ada kampung-kampung muallaf baru yang tersinari dengan cahaya kebenaran islam sebagai Rahmatallil’alamiin.

Nurhamida, Merasa Terharu dan Meneteskan Air Mata Menerima Santunan Dari Donatur Tanmia Foundation

Arti kebahagiaan memang tak bisa disamakan satu sama lain. Bagi masyarakat metropolitan akan berbeda menilai kebahagiaan itu sendiri dibanding dengan kalangan masyarakat yang masih tinggal di pedalaman. Bukan saja secara geografis tapi juga tingkat pendidikan yang mempengaruhi tingkat sumber daya manusia itu sendiri baik langsung maupun tidak. Bagi masyarakat pedalaman tentu menikmati arti kebahagiaan biasanya ketika merayakan Idul Fitri atau pun Idul Adha tiba. Sedangkan di hari lain bisa jadi mereka harus berjuang sekuat tenaga demi mempertahankan hidup dan keluar dari himpitan ujian masalah sosial dan ekonomi. Program Tebar Wakaf Qur’an ke Pelosok Negeri Tanmia Foundation yakni di pedalaman kepulauan Nias beberapa waktu lalu berhasil menyisir ke berbagai lapisan kalangan-kalangan muslim pedalaman.

Mereka memang telah berpuluh-puluh tahun berjuang ekstra keras namun atas kebesaran Allah tetap tegar dengan keislamannya, salah satunya Nurhamida (56) adalah janda sebatang kara pengajar ngaji di Kampung Koto Pulau Tanah Masa.

Pada Ahad (15/12), Tanmia Foundation melalui utusan da’i lokal setempat menyerahkan santunan bagi Ibu Nurhamida, satu-satunya guru ngaji di kampung Koto.

Kedatanganya ke kediaman Ibu Nurhamida memang tidak ada pemberitahuan sebelumnya karena memang akses komunikasi ke Koto Tanah Masa tergolong sulit, sehingga Ustadz Mizani bersama rombongan lainya nekad tak berpikir panjang lagi langsung menerabas laut pulau-pulau batu dengan menyeberang menggunakan kapal kayu dari dermaga pulau Tello.

Mizani yang datang berlima bersama rombongan dengan tiba-tiba membuat Ibu Nurhamida merasa terheran, ada apa gerangan kedatanganya kali ini, ungkap Nurhamida dalam hatinya.

“Semenjak menjadi guru ngaji sudah lebih 20 tahun lamanya baru kali ini saya merasa sangat bahagia bercampur rasa terharu dengan kedatangan ustadz yang menyampaikan amanah dari donatur Tanmia Foundation kepada saya”, tutur Nurhamida sembari meneteskan air mata didepan kediamannya.

Pemberian santunan yang diberikan kepada Ibu Nurhamida adalah amanah dari donatur Tanmia Foundation yang secara langsung ditujukan khusus untuk Ibu Nurhamida. Entah angin apa yang menggerakkan seorang donatur untuk berbagi pada sikon ibu Nurhamida yang memprihatinkan ala kadarnya dan sama sekali tidak saling mengenal sebelumnya. Perempuan yang hari itu mengenakan kerudung berwarna hitam ini juga menyampaikan, syukur alhamdulilah dan rasa terimakasih kepada Tanmia Foundation atas perhatian donaturnya kepada kami yang sudah rela membesuk berlelah-lelah mengunjungi kami yang tinggal di pelosok kampung pedalaman.

Meski kedatanganya yang direncanakan terbilang sangat singkat, pada dasarnya Tanmia Foundation ingin membantu meringankan beban sesama muslim semampunya. “Melihat mereka tersenyum bahagia adalah suatu kebahagiaan kami yang saat ini masih bertugas menjadi da’i di wilayah pulau-pulau Batu ,” ujar Mizani. Ia juga mengatakan, kegiatan ini menjadi salah satu tujuan sasaran dakwah yang diharapkan agar dapat menguatkan dakwah dan persaudaraan ummat.

Selain mengunjungi Ibu Nurhamida, kegiatan juga berlanjut dengan menyerahkan bingkisan kepada para muallaf dan dhu’afa di perkampungan Koto amanah dari para warga muslim di Tello.

“Alhamdulillah Senang sekali. Biasanya nggak pernah ada kegiatan santunan seperti sekarang ini masuk di kampung kami” ujarnya.

Salah seorang penerima bingkisan sebut saja adalah Ibu Aminah. Ibu tua yang tergolong dhu’afa ini tinggal tidak jauh dari masjid Nurul Huda Koto berpuluh-puluh tahun. Ia mengaku senang akan ada acara ini setelah mengetahui dari pengurus Masjid bahwa akan ada acara santunan dari jama’ah Masjid Tello.

Ali Azmi
Relawan Tanmia

Adzan menggema dari lembah bukit Manoreh Kulon Progo

Kamis 21 November 2019 terdengar seruan adzan zhuhur di masjid Baiturrahman desa Sonyo, kami dari tim Distribusi Al Quran wakaf pun bersiap dan bergegas mendatangi seruan adzan tersebut. Pada shalat zhuhur yang istimewa ini Alhamdulillah sholat jama’ah kami ditemani oleh seorang kakek tua dan ustadz Farosyid, total jamaah kami pada dhuhur itu hanya berempat saja.
“Kalau hari lain apakah seperti ini ust?”tanya kami. “Iya, kakek ini yang adzan 5 waktu setiap hari, dan hanya dia satu-satunya makmum di sholat subuh, dhuhur, asar dan maghrib, dan mulai ramai di sholat Isya’ ” jawab ust Farosyid, beginilah kondisi masyarakat sekitar masjid Baiturrahman di desa Sonyo Kulon Progo Yogyakarta.

Ustadz Farosyid dan kawan-kawan sudah menginjak di tahun keempatnya berdakwah di desa ini, dengan penuh semangat dan kesabaran sehingga hasil dakwahnya pun semakin meluas ke desa-desa dan masjid-masjid sekitar. Mulai berdatangan satu demi satu bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak dan bahkan kakek nenek yang ingin belajar mengaji, di buatlah halaqah-halaqah Al Qur’an di masjid tersebut.
Yang semula para ustadz melihat masjid Baiturrahman dalam keadaan sangat kumuh, kotor, tidak di tegakkan sholat, Alhamdulillah dengan izin Allah hari ini sudah ditegakkan sholat Jum’at (meski khotib jum’at hanya dia-dia saja), adzan 5 waktu meski hanya ada 1 makmum di 4 sholat fardhu, mulai ramai di sholat Isya’, di adakannya kajian-kajian keislaman rutin dan dibuatnya halaqah -halaqah Al Qur’an bagi para pemula dan muallaf yang jumlah mereka dari hari ke hari Alhamdulillah semakin bertambah, karena ada perhatian dan kepedulian dari segenap kaum muslimin dan muslimah yang telah ikut andil dalam membantu mereka dan memberikan bimbingan keislaman untuk mereka.

Ustadz Farosyid mengucapkan, “Jazakumullah khoiron kepada segenap muhsinin yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada kami melalui tim Tanmia Foundation berupa Al-Qur’an dan buku bacaan, insya Allah kami akan terus berjuang demi kebangkitan islam.”

Fadhil Kamil
Relawan Tanmia
Kulon Progo, Yogyakarta

Al Quran menggema di Duson Sonyo, Kulon Progo

Tanggal 21 November 2019 setelah beberpa jam mengendarai bis umum akhirnya tim Tanmia tiba di desa Bujidan, RT 33/ RW 17, Tawangsari, Pengasih, Kulonprogo, Yogyakarta.

Pak Haryono menjemput tim pada pukul 03.00 dini hari diterminal Wates, rumah beliau menjadi tempat singgah tim Tanmia. Dan jarak rumah pak Haryono dengan lokasi yang dituju oleh tim kurang lebih sekitar 20 Km jalan pegunungan dengan waktu tempuh 1 jam .

Desa sonyo adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, dengan kondisi masyarakat yang mayoritas adalah non muslim, dengan kondisi masyarakat desa sonyo, ustadz Farosyid, ustadz Abdur Rasyid, ustadz Hammami dan ustadz Nurwanto saling berkolaborasi bahu membahu menggerakkan roda perjuangan dakwah di pedalaman gunung Manorek tepatnya di desa sonyo tanpa imbalan dunia apa pun apalagi gaji, walau tanpa memgharap imbalan, mereka rela mengorbankan segalanya demi berdakwah di desa sonyo.

Tim Tanmia Insya Allah akan mendistribusikan sejumlah Al-Qur’an berukuran besar dan buku bacaan guna mendukung perjuangan dakwah para ustadz di desa Sonyo yang makin hari makin terus bertambah jamaah binaan mereka.

Hari ini desa sonyo masih sangat membutuhkan dukungan dan bantuan kita semua, berupa fasilitas operasional dakwah yang dapat membuat jamaah nyaman seghingga bisa menarik simpati masyarakat.
Mudahan- mudahan Allah mudahkan segala urusan kita semua. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.

Fadhil Kamil
Relawan Tanmia
Kulon Progo, Yogyakarta

Menembus Belantara Dakwah Pedalaman, Dengan Kemuliaan Wakaf Qur’an

Lampu menara navigasi barulah menyala berkedip-kedip dari kejauhan senja yang mulai berangsur gelap. Sang kapten pun segera menatap tajam kemana arah kompas agar tidak salah mengarahkan titik haluan kapal ke dermaga tujuan bersandar. Sebaris doa perjalanan terus berulang diucapkan berharap Allah mudahkan setiap langkah agar segera sampai di tujuan tanpa halangan dan rintangan. Inilah kilas sepotong perjalanan ke belantara lautan Pulau Simuk yang masih sunyi untuk sebagian orang mengunjunginya.

Ucapan syukur Alhamdulillah setitik nyala perkampungan Lorong Pasar Biduk pun terlihat dibalik buta gelapnya malam Simuk. Memang bukan untuk pertama kalinya menjumpai daerah pedalaman seperti ini di Kepulauan Nias. Misi pendistribusian wakaf Qur’an di kepulauan Nias memakan rentetan waktu yang cukup panjang. Bermula dari daratan Nias sampai Simuk pungkasnya menyudahi agenda “Tebar Qur’an Hingga Pelosok Negeri” Tanmia Foundation di penghujung tahun 2019.

Jangkar kapal pun telah ditancapkan dan tali kendali pun telah ditambatkan pertanda kami sampai di dermaga tujuan. Tujuan jauh untuk ke sekian kalinya bukan tanpa arah melainkan lewat wakaf qur’an inilah perjalanan dibimbing diarahkan.

Wakaf Qur’an bukan sekedar seberapa banyak eksemplar kemana akan di bawa ? Jauh dari itu melainkan menguatkan misi luasnya cakrawala dakwah dalam Al Quran. Sehingga Al-Qur’an memberi arah, dan sasaranya pun tepat agar tak salah karena menerka-nerka dari jarak yang berjauhan. Wakaf Qur’an penuh dengan lika-liku makna dan cerita. Selain pahala jariyah yang mulai mengalir ke para muhsinin yang telah mendermakan harta terbaiknya atas dasar keyakinan imanya saja semata. Bahkan tak saling mengenal satu sama lainnya sebelumnya dan kepada tangan siapakah akan ditujukan sebagai pertanggung jawaban yang dapat dirasakan langsung oleh ummat yang membutuhkan di keterasinganya pedalaman.

Tanpa menyisakan sesal dan kecewa bagi siapapun yang telah ikut bahu-membahu membersamai amal kebaikan ini dari awal hingga akhirnya, hanya berharap kepada Allah sajalah keridhoan itu ditujukan.

Niat dan kesungguhan beramal lewat wakaf Qur’an itu bisa jadi bukan hal sepele yang bisa diremehkan, karena betapa banyak amalan besar menjadi kecil biasa saja karena masalah niat dan tidak sedikit pula amalan kecil biasa saja menjadi besar nilainya karena perihal niatnya, jadi nilai wakaf qur’an yang bisa jadi hanya sepotong kecil saja yang diberikan namun seketika manfaatnya berhasil menyalakan suasana keislaman yang mulanya padam menyala kembali. Bila dirasakan hingga detik ini maka disetiap bacaanya, baris demi barisnya dan lembar demi lembarnya sesungguhnya menjadi tabungan pahala yang terus mengalir kepada seluruh muhsinin dimanapun berada.

Menjaring pahala kebaikan memang tak selamanya harus berhimpun dalam satu pertemuan dan satu golongan tapi ketika bersatu padu dalam panggilan iman maka amal kebaikan pun menyatu dalam kekuatan sekalipun berlainan tempat dan terpaut jarak yang jauh memisahkan.

Disisi lainya wakaf Al Qur’an juga menambah pundi-pundi amal ibadah kita yang jauh dari kata sempurna. Inilah bagian andil dalam menguatkan syi’ar dakwah semampu kita dengan mengambil peran atas pilihan niatan ibadah yang ikhlas tanpa pamrih. Keridhoan ilahi menjadi tujuan prioritas utama yang hendak diraih dengan segenap fasilitas dan materi dunia yang begitu luas murahnya Allah berikan. Setidaknya inilah salah satu kemudahan wasilah yang menjadi sarana penyambung amal kebaikan yang menguatkan kebersamaan amal jama’i dalam kerja dakwah yang terus lebih baik melintas batas.

Sebagian ibadah apapun memang dirasa berat jika dipikul sendirian apalagi amal dakwah yang pasti memerlukan kebersamaan bahu membahu, bersinergi dan berkolaborasi bergandengan dengan berbagai pihak. Disinilah ghirah dakwah terbangun dari kesadaran jiwa yang tergugah tersemai perlahan sejak dari pribadi, keluarga hingga khalayak tetangga sehingga keberkahanya dirasakan sampai mengangkasa di ujung langit pedalaman.

Seiring waktu disudut-sudut masjid pun riuh menggema dengan jamaah dan anak-anak untuk tilawah dan menghafalkannya sehingga Al-Qur’an mencetak para penghafal alquran yang mampu menghayati setiap kenikmatan ayat ayat yang terlantun saat shalat, maka sebaris kalimat harapan dan keberkahan pun terus mengalirkan pahala dari sang Khaliq.

Semakin banyak hafalan, semakin lama ia menghayatinya. Semakin indah perangai tingkah lakunya. Sejenak bersedih, ketika membaca potongan ayat tentang adzab dan seketika bergembira, saat terlantun ayat ayat yang menggambarkan kenikmatan. Sungguh inilah ruh Qur’an yang telah memberikan pengaruh pada setiap jiwa yang bahagia mewarnai jiwanya dengan hiburan kalimat-kalimat indah-Nya yang tak pernah membosankan. Qur’an terwujud dalam suasana kehidupan nyata bukan hanya sekedar mushaf yang dibaca saja tapi akhirnya semua sisi bernaung dalam bimbingan Qur’an yang begitu bermakna dan berguna.

Perlahan qur’an akan menguatkan kerja dakwah berjamaah agar tidak hanya sebatas mengarahkan pada rutinitas memakmurkan masjid saja akan tetapi Qur’an menjadi “the way of life” pilihan istimewa sebelum memulai hal apapun yang menembus segala ruang dan waktu dalam dinamika kehidupan.

Akhirnya qur’an mengantarkan pada kebersamaan tujuan ke dermaga kebahagiaan yang hakiki dan berbagi manfaat kepada sesama. Bermula dari Qur’an yang sederhana hingga kerja dakwah yang tidak hanya sebatas tugas da’i atau sebagian kalangan berilmu atau lainya atau dakwah bisa ditinggal kapan saja ketika kita sibuk, tapi akhirnya dakwah selalu hadir setia menemani keseharian waktu hari-hari kita sebagai ikatan kesatuan hamba yang bersyukur dengan ketaatan kepada-Nya tanpa memandang profesi dan potensi seseorang. Sehingga dibalik gelap gulitanya tabir pedalaman sebenarnya ada kemuliaan Qur’an yang telah mampu menjadi penerang menyalakan dakwah menerangi suasana kegelapaan. Kemuliaan Qur’an itu Menggerakkan Kebaikan.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
Pulau Nias

Wakaf Qur’an Kuatkan Goresan Dakwah di Simuk, Pulau Terpencil di Tengah Lautan

Dermaga kayu pulau Simuk yang kini telah ambruk menjadi saksi finish penghujungnya kegiatan tebar Qur’an hingga pelosok negeri di kepulauan Nias.

Bukan hanya sekedar asa untuk berjumpa membangun bersilaturahmi dengan saudara seiman di pelosok perbatasan yang tak saling mengenal sebelumnya. Juga bukan sekedar menyeberangi gelapnya lautan untuk menemukan perkampungan di pulau terpencil ditengah pedalaman samudera yang sunyi terasing dari keramaian. Samudera yang tak bertepi dan belantara rimba yang tak pernah mengering digulung riuh ombak sepanjang musim. Inilah Simuk salah satu titik pulau terluar dan terjauh di kepulauan Nias Sumatera Utara.

Simuk menjadi kawasan terluar di Indonesia karena letak geografisnya berada di tengah lautan samudera Hindia. Dalam peta pun Simuk pun tidak tergores hanya setitik kecil ditengah lautan samudera Hindia. Perjalanan normal ke Simuk bisa ditempuh dari Dermaga Teluk Dalam dengan jarak tempuh 5-6 jam dengan kapal kayu atau bisa lewat dermaga pulau Tello Pulau-Pulau Batu dengan jarak tempuh 4-5 jam perjalanan. Perjalanan ke Simuk sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Apalagi bila bertepatan dengan badai angin selatan seperti sekarang ini perjalanan bisa tertunda terkatung-katung berhari-hari tak ada jadwal waktu yang pasti.

Setelah menunggu hampir sepekan akhirnya Tim Tanmia Foundation bertolak ke Simuk dari dermaga pelabuhan Tello Pulau-Pulau Batu menggunakan kapal muatan kopra milik warga Simuk. Menerjang cuaca badai bagi warga pribumi kepulauan memang sudah terbiasa namun kali ini angin selatan dan tenggara sudah berlangsung hingga enam bulan sehingga sangat berpengaruh bagi penduduk pesisir untuk bepergian.

Simuk dalam arti bahasa penduduk setempat adalah diperumpamakan seperti semut, karena hanya tampak sebagai pulau terpencil ditengah lautan. Hanya ada dua kapal kayu asal milik warga yang menjadi alat transportasi dari dan ke Simuk dari Tello Pulau-Pulau Batu. Jaringan komunikasi pun hanya sebatas untuk telepon saja dan seringnya terkendala karena padamnya aliran listrik yang sampai saat ini belum juga stabil.

Akses jaringan internet pun tidak bisa diakses di pulau ini. Listrik pun hanya menyala di waktu malam saja dengan genset pribadi maupun panel surya di sebagian rumah saja. PLTS yang sudah dibangun hanya berjalan beberapa tahun saja dan hingga tiga tahun terakhir ini rusak tak bisa digunakan warga.

Kendati sejak tahun 2012 simuk resmi mekar menjadi kecamatan sendiri namun tidak kunjung menjadi daerah yang pesat perkembangannya. Simuk memiliki luas sebesar 28 kilometer persegi yang terdiri dari enam desa yakni Gondia, Maufa, Gobo Induk, Gobo Baru, Silina dan Silina Baru.

“Jumlah penduduk dan kepadatanya pun terbilang masih minim, diperkirakan penduduk se-kecamatan hanya 1400-an jiwa. Dengan warga Muslim hanya berada di desa Gobo Baru Lorong Pasar Biduk dengan jumlah sekitar 40 KK saja dengan jumlah sekitar 120-an Jiwa”, jelas Ismail sekretaris desa Gobo Baru yang juga pengurus kenadziran Masjid At-Taqwa satu-satunya masjid di Simuk.

Maksud dan tujuan kegiatan tebar Al Quran hingga pelosok negeri oleh Tanmia Foundation di antaranya adalah wujud kepedulian menjalin ukhuwah dan penguatan dakwah khususnya di wilayah-wilayah muslim minoritas dan pedalaman terasing dengan berbagai tingkat kendala dan tantangan.

Perjumpaan dengan segenap pengurus masjid dan segenap warga jama`ah Masjid serasa menghilangkan rasa penatnya perjalanan setelah terombang-ambing gelombang sepanjang perjalanan dan rasa penasaran itu pun sekejap terobati. Dalam hal ini Tanmia Foundation memang mendistribusikan 100 Al-Qur`an berikut Iqra’ yang bisa dibagikan ke anak-anak TPQ dan juga setiap rumah warga muslim di Pulau Simuk.

Jauh dari seberang mengarungi lautan menjenguk saudara yang masih bertaut seiman di pulau terpencil perbatasan memang sebuah momen kebahagiaan yang tak ternilai sehingga semakin menumbuhkan rasa ukhuwah itu saling menguatkan.

Muslim di Simuk adalah warga minoritas dibanding ummat Katolik dan Protestan yang mendominasi wilayah pulau Simuk.

Tepat 17 November 2019, genap sebulan pendistribusian mushaf Alquran untuk kepulauan Nias. Sebanyak 1000 Al-Qur’an telah didistribusikan untuk beberapa wilayah kepulauan Nias terutama di kepulauan Pulau-Pulau Batu.

Daerah distribusi kepulauan Nias Pulau-Pulau Batu ada 40 titik meliputi Masjid, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, Raudhatul Athfal, TPQ, Majelis Ta’lim yang tersebar di berbagai wilayah Pulau Tello, Pulau Marit, Pulau Tanah Masa, Pulau Bais, Pulau Pini, Pulau Hibala dan Pulau Simuk sebagai daerah tujuan terjauh.

Kepulauan Nias mengagumkan dengan gugusan ratusan pulaunya, sayangnya di daerah-daerah itu masih terpencil dan kondisi wilayah pedalaman itu masih banyak yang terpinggirkan.

Ketua Bimas Islam Kemenag Nias Selatan Ustadz Ferry mengatakan, secara umum ummat Islam di Simuk membutuhkan perhatian lebih selain memang daerah terpencil juga belum adanya da`i yang menetap di sana, kalau pun ada hanya sebentar beberapa saat saja, padahal sangat bermanfaat ketika kehadiran da`i yang bisa menetap di sana jika dipandang dari sisi dakwah untuk bisa membimbing kaum muslimin disana yang haus akan nilai-nilai ilmu islam selama ini.

Perjalanan dakwah Islam di Simuk pernah mengalami masa perkembangan sejak 2007 dengan pengiriman da’i yang khusus bertugas di pedalaman. Namun hanya berselang beberapa tahun kemudian, sejak 2011 terjadi masa surut perkembangan dakwah di Simuk dengan berpindahnya da’i yang semula menetap disana.

Walaupun demikian, lentera dakwah masih mengalir pahala jariyahnya, generasi penerus tumbuh meski hanya segelintir saja bak buah yang mulai ranum terus berkembang inilah bibit yang disemai masa itu dan terus bertumbuh seiring berjalannya masa yang terus meninggalkan bekas kebaikan.

Goresan dakwah telah banyak merubah tampilan potret kehidupan keislaman yang sebelumnya jauh dari nilai-nilai islam sama sekali. Keberkahan dakwah tidak serta merta instan dipanen hasilnya sekejap tapi membutuhkan proses waktu yang panjang bahkan sepanjang usia pun tak bisa menjamin menemui hasilnya, karena keberlangsungan dakwah menuntut keberanian dan kedermawanan.

Pelosok yang jauh tak menjadi ukuran jaminan untuk mustahil ditempuh, alasan tingkat status sosial pun tidak menjadi ukuran nilai kebaikan, mewahnya kota pun bukan jaminan dakwah menyentuh hati baiknya, hanya kuasa kehendak Allah dan kesungguhanlah yang mampu melewati sejengkal demi sejengkal tanah dimana bumi ini dipijak, maka di atasnya ada tanggung jawab dakwah dan islam harus diperjuangkan dipastinya. Jangan pernah menyerah dan tetaplah bersama kafilah dakwah.
Barakallahufiekum.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
Pulau Nias

Al-Qur’an Sangat Dibutuhkan di Madrasah Pulau Bais, Kecamatan Pulau Pulau Batu Timur

“ Minat baca dan belajar agama masyarakat pesisir pulau Bais ini cukup tinggi tapi bahan bacaan jarang kami dapatkan apalagi Al-Qur’an terjemahan yang seperti ini…“ Itulah ungkapan dari Eddy Kepala Desa Bais yang juga pengurus yayasan pendidikan agama islam di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Tarbiyatul Hasanah, Pulau Bais Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur Nias Selatan.

Eddy juga sebagai inisiator dan pelopor yang berusaha berjuang memajukan desanya dengan mendirikan madrasah dan dinniyah setelah berpuluh-puluh tahun tidak ada kepedulian terhadap berdirinya sekolah berbasis agama padahal mayoritas penduduk pulau Bais adalah muslim.

Tanmia Foundation menyalurkan sebanyak 100 Al-Qur’an dan Iqra’ yang didistribusikan ke jama’ah masjid, guru dan siswa madrasah serta santri dinniyah. Letak geografis pulau Bais yang cukup jauh dan seringnya gelombang tinggi menjadi kesulitan tersendiri untuk bisa menjangkaunya.

Perjalanan ke Pulau Bais bisa ditempuh 3 jam dari Pulau Tello menggunakan kapal kayu karena ini satu-satunya kendaraan ke pulau yang berada di Pulau – Pulau Batu Timur. Sering kali akses komunikasi terkendala karena masalah jaringan tapi inilah suasana alami kepulauan yang kami temui hampir diberbagai pemukiman kampung pesisir di kepulauan di Nias. Al-Qur’an sangat dibutuhkan di Pulau Bais mengingat kegiatan belajar mengajar setiap hari Senin sampai hari Jum’at diawali dengan kegiatan program tadarus Al-Qur’an yang diikuti seluruh siswa.
Saat ini ada 90 murid yang belajar di madrasah dipagi hari dan sekaligus juga mengikuti program dinniyah disore hari.

Jumlah Qur’an yang disalurkan Tanmia Foundation memang jauh dari cukup tapi setidaknya dapat memupuk semangat anak-anak kami belajar agama lebih baik lagi”, ucap Arsan salah satu walimurid yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan.

Penyerahan wakaf Qur’an diserahkan ke pihak madrasah dengan didampingi kepala desa langsung beserta segenap murid dan dewan guru. Tampak raut antusias dan gembira saat serah terima wakaf Alquran yang diberikan oleh Tanmia Foundation ini.

“Kendati masih berada di wilayah Kepulauan Nias Selatan tapi letak pulau Bais ini dominan dihuni suku Minang dan Melayu karena memang kondisi geografis pulau ini lebih dekat dengan wilayah Air Bangis Pasaman Sumatera Barat dengan jarak tempuh perjalanan sekitar 5-6 jam dibanding ke Nias yang memakan waktu 10-12 jam,” ungkap Eddy selaku kepala desa Bais yang memfasilitasi kedatangan Tim Tanmia Foundation.

“Semalam dalam keheningan dan kegelapan inilah potret kehidupan di pulau Bais. Yang selama ini warga hanya mengandalkan penerangan dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) milik Masjid. Selain kapasitas terbatas, operasional bahan bakarnya pun melambung harganya”, terang Husnul Ikhlas pada Tim Tanmia (12/11/2018).

Lebih jauh lagi Ikhlas mengungkapkan, durasi penerangan dari PLTD Masjid juga sangat terbatas. Rumah-rumah penduduk mulai diterangi lampu pada pukul 18.00 WIB hingga 21.30 WIB. “Jadi nyalanya selama 3,5 jam saja. Sungguh prihatin namun kesabaran yang membuat senantiasa bertahan. Usai diesel padam maka warga tak sedikit yang beralih menggunakan lampu kecil bersumbu. Ada juga yang menggunakan lampu tenaga surya namun juga sebagian itu pun tidak berfungsi bertahan lama.

“Ada 200 KK penduduk muslim di Pulau Bais, baik di Desa Bais maupun Desa Bais Baru yang sebagian besar menjadi jama’ah Masjid Al Azhar satu-satunya masjid di pulau Bais yang berdiri sejak tahun 1960-an”, ujar Husnul salah satu warga setempat yang sehari-hari menjadi penyuluh kesehatan di Pustu Pulau Bais.

Tingkat kesadaran pendidikan pun juga masih rendah, tak jarang hanya sampai tingkat dasar saja. Jadi anak – anak usai tamat sekolah dasar langsung terjun berlabuh melaut menjadi nelayan. Faktor ekonomi dan kesejahteraanlah yang menjadi kendala selama ini untuk mereka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, kedatangan Tim Tanmia Foundation juga dalam rangka sosialisasi adanya pendidikan pesantren yang masih dibawah naungan yayasan Tanmia ataupun jejaring pesantren lainya yang diharapkan dapat menjaring kader-kader anak-anak potensial asal daerah pedalaman agar kelak bisa melanjutkan pendidikan di pesantren nantinya.

Dahulu sumber daya alam laut di Pulau Bais cukup besar namun masih jauh panggang dari api untuk membuat kesejahteraan dan perekonomian masyarakat meningkat selain itu kerusakan alam pun makin bertambah akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab sehingga semakin menyulitkan keadaan kondisi masyarakat. Hanya berharap pada generasi penerus sajalah mampu memberikan pembaharuan untuk masa depan di Pulau Bais bisa semakin lebih baik apalagi dengan memprioritaskan aspek nilai-nilai dakwah dan pendidikan berbasis agama yang perlahan-lahan harus mulai diperhatikan.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
Pulau Nias

Masjid Tua Sirombu ‘Saksi Bisu’ Gempa dan Tsunami Nias 2005

Masyarakat nelayan pesisir Tanjung Sirombu di Kabupaten Nias Barat, Provinsi Sumatera Utara, tentu saja masih ingat suasana mencekam bagaimana bencana alam gempa disertai dengan gelombang tsunami di Pulau Nias itu telah merenggut ratusan jiwa bahkan sampai data terakhir menyebutkan mencapai lebih dari seribu jiwa yang tewas.

Dalam perjalanan ke Nias setidaknya Tim Tanmia Foundation merekam jejak-jejak dahsyat bencana yang telah terjadi 15 tahun silam ini diberbagai sudut lokasi, salah satunya di Tanjung Sirombu, Kepulauan Hinako, Lahewa Nias Utara dan Gunung Sitoli (6/11).

Tokoh masyarakat Ama Putri di Sirombu, menuturkan, satu hal yang masih tersisa puing-puing masih ditinggalkan adalah bangunan masjid tua sisa tsunami 2004 silam. Masjid Baiturrahman tersebut masih berdiri kokoh meski sudah pernah dihempas tsunami dan tidak hancur porak-poranda pada saat itu.

“Kendati tidak hancur sejak usai tsunami dan gempa 2004 namun Masjid Baiturrahman sudah tidak digunakan lagi. Karena hampir semua penduduk yang tinggal dipesisir memilih berpindah menjauh dan menetap di area pemukiman baru yang dibangun oleh beberapa NGO bersama pemerintah disini ,” kata Ama Putri.

”Akhirnya warga pun membangun baru lagi masjid An-Nur untuk memenuhi fasilitas kebutuhan warga di Sirombu”, jelas Ama Putri yang juga pengurus BKM Masjid An-Nur.

Korban jiwa tercatat lebih dari 1.000 orang meninggal, lebih dari 2000-an orang luka-luka di Pulau Nias, dan belasan orang meninggal di Pulau Simeulue. Terjadi retakan tanah,longsor dan likuifaksi. Diperkirakan tahun itu sekitar 70% bangunan roboh di Gunung Sitoli. Disusul terjadi tsunami di pantai Lagundri, Sirombu dan Lahewa dengan ketinggian tsunami sekitar 2 meter.

“Mayoritas semua korban di Pulau Nias terbanyak di Gunung Sitoli diakibatkan karena tertimpa oleh runtuhan bangunan dari bangunan lantai satu hingga lantai empat”, jelas H. Umar salah satu pengurus Masjid Agung Gunung Sitoli yang juga menjadi saksi hidup hancurnya Masjid Agung 15 tahun silam.

Akibat gempa 2005 ini, juga terjadi kenaikan tanah di pantai barat dan pesisir Tureloto bagian Utara Pulau Nias sekitar 3 hingga 4 m, penurunan tanah di Nias selatan, dan gerakan tanah atau longsoran di beberapa tempat.

Tanjung Sirombu Nias Barat adalah daerah pemukiman pesisir yang pada waktu itu jaraknya hanya belasan meter saja dari bibir pantai termasuk daerah yang parah terkena tsunami. Jumlah korban penduduk desa yang dinyatakan hilang dan meninggal, terdata berjumlah 8 jiwa dan ratusan lainya diungsikan permanen.

Kendati tidak digunakan lagi Masjid Baiturrahman Sirombu memiliki nilai kenangan yang mampu mengingatkan akan kejadian bencana memilukan pada waktu itu agar bisa diingat oleh generasi masa berikutnya. Selain itu juga ada Masjid Jami Sinene Eto yang berada di Hinako yang saat ini ditinggal begitu saja menjadi semak belukar dan melapuk dimakan usia. Pasca bencana tersebut itulah awal ribuan penduduk pulau Hinako berangsur berpindah ke daratan Sirombu karena khawatir akan terulang bencana dahsyat kembali. Tapi tidak sedikit yang masih memilih menetap di Pulau karena disanalah tanah kelahirannya dan keseharian aktivitas mereka puluhan tahun.

Menginjakkan kaki di Nias juga tidak akan luput dengan keberadaan Masjid Raya Al-Furqon yang berhadapan dengan Tugu Peringatan Gempa Kota Gunung Sitoli, dimana keduanya menjadi monumen yang baru saja selesai pembangunanya pada 2018. Tugu yang berada di jantung kota ini senantiasa menjadi saksi terpahatnya tulisan nama-nama korban yang meninggal saat itu.

Gempa Nias 2005 telah memberikan pelajaran kepada kita untuk selalu meningkatan upaya mitigasi terhadap bencana. Hingga kini belum ada teknologi dan tak ada seorangpun yang mampu untuk meramalkan kejadian gempa dengan tepat, baik waktu, lokasi, maupun besaranya.

Oleh karena itu, upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah selalu melakukan mitigasi, baik secara fisik, maupun nonfisik. Kedua upaya mitigasi ini harus dilakukan secara bersamaan. Hanya dengan upaya mitigasi dampak dari suatu bencana akan dapat diminimalkan. Pada akhir intinya semua kejadian apapun dimuka bumi ini karena kehendak Allah Sang Raja Penguasa Seluruh Alam. Wallahumusta’an

Ali Azmi
Relawan Tanmia
Pulau Nias

Serah Terima Wakaf Qur’an dengan Para Penyuluh Agama di Sirombu Nias Barat

Tanmia Foundation dalam kegiatan distribusi wakaf Qur’an “Tebar Qur’an Hingga Pelosok Negeri di Pulau Nias 2019 tibalah di Nias Barat dengan berupaya bertemu dengan para penyuluh agama di Kecamatan Sirombu.

Selain kegiatan pertemuan dengan pembahasan berbagai permasalahan pendidikan dan dakwah khususnya kegiatan rutinitas para penyuluh agama juga sosialisasi pendidikan pesantren Al-Itqan yang di bawah naungan Yayasan Tanmia yang sudah berdiri dan menerima para santri dari berbagai daerah beberapa waktu lalu.

Kecamatan Sirombu adalah salah satu daerah dimana pusat penduduk muslim di Nias Barat tinggal. Dengan daerah muslim terbesar di desa Sirombu. Pasca tsunami dan gempa besar melanda Sirombu beberapa waktu silam akhirnya banyak warga kepulauan Hinako tinggal di daratan Sirombu sekalipun asal desa mereka berada di seberang pulau.

“Kendala yang sering kami hadapi ialah ketika mengajar anak-anak mengaji namun materi-materi dan buku referensi bahan mengajar terbatas sehingga antusias semangat anak-anak menjadi sedikit berkurang”, ungkap Nilam salah satu penyuluh yang berasal dari Hinako.

Ada 200 eksemplar Qur’an dan Iqro’ yang akan didistribusikan ke para penyuluh agama yang tersebar di Nias Barat terutama Sirombu sebagai pusat pemukiman muslim.

“Kegiatan wakaf Qur’an dan sosialisasi pendidikan pesantren yang diadakan oleh Tanmia Foundation adalah peluang yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada santri dari daerah pelosok yang memang belum banyak mengenal tentang pendidikan Islam di pesantren”, tutur Ama Putri salah satu BKM Masjid An-Nur Sirombu tempat dimana kegiatan serah terima wakaf Qur’an berlangsung.

“Dengan kegiatan pembagian wakaf Qur’an dan Iqra’ setidaknya kegiatan penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat dan generasi-generasi islam baik anak-anak maupun remaja dapat memupuk semangat belajar ngaji dan menumbuh kembangkan ukhuwah lebih baik lagi”, Jelas Ajrun Laseh Kadus Sirombu yang juga hadir menyambut kedatangan Tim Tanmia Foundation.

“Generasi penerus kami harus lebih baik dalam hal beragama, sehingga bila ada yang perhatian dengan pendidikan agama maka banyak masyarakat yang bisa belajar mengambil ilmu dan bermanfaat bagi kita semua,” jelasnya.

Sirombu merupakan salah pusat kecamatan yang merupakan pintu akses utama ke kepulauan Hinako yang letaknya tidak jauh dari pesisir Tanjung Sirombu di Nias Barat.

Perjalanan ke Sirombu bisa ditempuh dari Kota Gunung Sitoli sejauh 75 KM dengan memakan waktu tempuh sekitar 2,5 Jam karena kondisi jalanan banyak yang rusak dan perbaikan. Bila ditempuh dari Teluk Dalam Nias Selatan berjarak 100 KM atau sekitar perjalanan 3-4 Jam.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
Pulau Nias

Menyepi Sejenak di Hinako, Seorang Ibu Muallaf dan Empat Anaknya yang Yatim di Pulau Terpencil

Sejak 2008 resmi Ina Ifan resmi memeluk agama islam sejak pernikahannya dengan Ama Nilam itulah awal keislamannya. Sejak itu kehidupannya memilih menetap bersama suaminya yang berada di Pulau Hinako yang semula di Onolimbu asal Yurima Hia atau lebih dikenal Ina Ifan tinggal.

Namun pada perjalanan rumah tangganya Ama Nilam akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada tahun 2018 dengan sakit yang dideritanya. Otomatis dengan kondisi itulah sehingga Yurima Hia ( 35 ) bersama berjuang bersama empat anaknya masing-masing Mauliddan Nur Waruwu (10) Imansyah Waruwu (9) Asrul Amin Waruwu (6) Arjun Thalib Waruwu (5).

Jarak yang ditempuh dari Onolimbu ke Pulau Hinako sekitar 40 KM dengan harus menyeberangi laut sekitar 1-2 jam perjalanan dari dermaga rakyat Sirombu. Perjalanan ke Hinako sangat bergantung dengan kondisi cuaca. Apalagi badai angin selatan yang tak tentu seringkali perjalanan ke Hinako harus ditunda beberapa waktu. Pasca tsunami dan gempa yang pernah melanda Sirombu 2004 dan gempa Nias pada 2005 beberapa waktu silam telah meluluh lantakkan pemukiman warga sehingga banyak penduduk Hinako yang memilih menetap di daratan Sirombu dimana ibukota kota kecamatan berada sekarang.

Bisa dibayangkan saat malam tiba, mereka bertahan hidup dalam gelap gulita selama beberapa tahun dan baru mendapatkan sedikit aliran listrik tenaga surya yang juga lagi-lagi belum lama ini sudah padam. Hanya beberapa mesin genset di segelintir rumah saja bisa mengalirkan listrik untuk penerangan di waktu malam yang gelap.

Nyalanya pun hanya berkisar 2-3 jam saja bahkan seringnya kurang karena tergantung dengan bahan bakar yang juga dipasok dari kecamatan sehingga aktivitas pun sangat terbatas. Apa lagi jangkauan jaringan seluler dan internet yang minim sehingga sulit untuk berkomunikasi, hanya ada di pesisir itupun hanya di daerah titik-titik tertentu bahkan untuk di beberapa pelosok tidak ada akses komunikasi sama sekali.

Sekilas sudah terbayang bagaimana potret kehidupan sehari-hari di Hinako ? Terpencil, gelap, sulit komunikasi dan cuaca yang tidak menentu.

Berlanjut kisah satu keluarga janda muallaf di Lahawa Pulau Hinako, Ina Ifan seorang ibu bersama empat anaknya yang sudah yatim seakan menyentak lubuk hati yang terlelap sejenak untuk tergugah kembali. Kedatangan kami menyapanya seolah senyum bahagia diraut mukanya, sekalipun tak seberapa nilai duniawi yang bisa kami berikan. Namun setidaknya berbagi Al Qur’an yang bisa kami berikan setidaknya mempertebal keimananya untuk mengarungi perjuanganya.

Sepeninggal suaminya, Ina Ifan bekerja sebagai pengajar honorer di sekolah dan juga serabutan berkebun lainya selagi ada yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan sesuap nasi agar ia tetap bertahan bersama anak-anaknya. Itu juga semata-mata demi menyambung masa depan anak-anaknya sekalipun perjuangannya terjal dan sulit sebagaimana ketika di awal perjuangan keislamannya. Itulah pilihan dan konsekuensi dari ikrar syahadatnya yang begitu suci dan bermakna yang telah dia pegang dalam jalinan rumah tangganya.

“Ibu dan empat anak-anaknya yang yatim itu, selama ini menetap di Lahawa Hinako, di sepetak rumah tua beratap rumbia peninggalan suaminya yang berada di pesisir pulau Hinako”, jelas Ama Arya yang mengantar kami berkunjung ke rumahnya.

“Alhamdulillah satu keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan empat anak yatim itu, kokoh memeluk agama Islam sepeninggal suaminya yang juga kawan baik saya ,” kata Ama Fahmi penduduk setempat dimana kami singgah hingga waktu malam.

Malam pun tiba dengan gelapnya hingga waktu isya’ pun harus menyelinap shalat di tengah pekat gelapnya Pulau Hinako. Masjid Nurul Huda Hinako adalah satu-satunya masjid yang ada masih tersisa usai tsunami pasang dan gempa yang melanda Hinako beberapa waktu silam.

Jaraknya yang jauh terpencil di lautan, Hinako sebenarnya bukanlah tempat yang jauh, bila tekad keinginan kuat silaturahmi saudara seiman itu ada. Karena rasa kedekatan itu hanyalah bisa diraih dengan keimanan dan merawat kemanusiaan yang tak ternilai harganya.

Semalam di Hinako terasa singkat rasanya, namun ada sejuta cerita dan rasa yang hanya bisa diungkapkan bagi siapa pernah singgah bermalam menginjakkan kaki di wilayah pulau terpencil terluar itu. Hinako suatu ketika kami akan kembali dengan sepenuh tangan yang membuatmu tersenyum InshaAllah !!!

Ali Azmi
Relawan Tanmia
Pulau Nias

Kekuatan Ikhlas Mengajar Ngaji di Pedalaman Kepulauan

Sudah tiga pekan berjalan, distribusi wakaf Qur’an Tanmia Foundation “Tebar Qur’an Hingga Pelosok Negeri” di Kepulauan Nias hingga sampailah di Pulau Tello dan menyasar menuju perkampungan terpencil di kepulauan Pulau-Pulau Batu. Sasaran distribusi akan menyasar ke beberapa Masjid kepulauan, TPQ, Majelis Taklim Sekolah dan Madrasah.

Pulau Tello merupakan gugusan kepulauan di Nias Selatan. Pulau Tello juga merupakan ibu kota kecamatan dari Pulau-Pulau Batu, Nias Selatan. Mulanya Pulau Tello adalah pusat kecamatan Pulau – Pulau Batu yang meliputi ratusan pulau ( 102 pulau ), namun seiring dengan program pemekaran sekarang terbagi menjadi 7 wilayah kecamatan kepulauan yaitu kecamatan Hibala, Tanah Masa, Pulau-Pulau Batu, Pulau-Pulau Batu Timur, Pulau-Pulau Batu Utara, Pulau – Pulau Batu Barat dan Pulau Simuk sebagai daerah perbatasan terluar dengan jarak 45 KM dari pelabuhan Tello.

Kondisi keadaan Pulau-pulau sangat beragam, pemukiman perkampungan muslim boleh dibilang hanya mendiami beberapa wilayah saja dengan berbagai tingkat keprihatinan. Di Pulau Tello sendiri ada 20 desa, dengan 4 desa yang berpenghuni mayoritas muslim. Kelurahan Pasar Tello, Simaluaya, Sinauru dan Sirapa-Rapa Melayu.Diperkirakan hanya 150 KK saja.

Sebutlah Ama Ali ( 65 tahun ) dan Badran Tanjung ( 64 tahun ) diluar biasa diluar kegiatanya sebagai nelayan masih menyempatkan untuk mengajar ngaji anak-anak di Sianuru dan Simaluaya Pulau Tello. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, antusiasme anak-anak bertambah namun apa daya sarana pendukung mengajar semisal buku panduan keislaman dan buku-buku fiqih tentang panduan tata cara shalat dan tuntutan do’a belum tersedia sehingga menjadi kendala tersendiri yang harus dihadapi.

Pasang surut pendapatan sebagai nelayan dan pekerja serabutan lepas, tidak menyurutkan semangat Badran Tanjung seorang diri untuk terus mengajar ngaji dirumahnya sejauh ini.

“Agar tidak mengecewakan anak-anak menunggu lama karena antri mengaji, para santri yang jauh setelah mengaji langsung pulang ke rumah”, ungkap Badran Tanjung usai sejenak menyapa Tim Tanmia Foundation berkunjung ke rumahnya.

Kecintaanya mengajar ngaji kepada anak-anak menjadi pelecut semangat anak-anak untuk datang rajin mengaji sekalipun ada yang datang dari tetangga kampungnya yang jauh ini.

“Kadang saya merasa sedih jika melihat anak-anak putus sekolah, apalagi jika mereka harus menghabiskan waktunya bekerja sehingga tidak sempat merasakan belajar ngaji karena membantu nafkah keluarganya. Namun sebagai sebagai pengajar ngaji yang ala kadarnya saya sendiri juga tidak bisa banyak berbuat apa-apa.Hanya berharap kepada Allah saja semoga ada jalan kemudahan”, keluh Badran Tanjung.

Menjadi guru ngaji dipesisir kampung bukannya tidak memiliki tantangan yang berat, selain harus mengikhlaskan waktu sejenak sebelum melaut juga terbatasnya ilmu dan kemampuan materi untuk mengajar sehingga seringkali Tanjung mengaku harus selalu siap mengabaikan kepentinganya demi pendidikan para murid ngajinya.

“Yang paling berat kalau ada urusan pribadi ke pulau seberang selama berhari-hari dan tidak ada teman yang bisa menggantikan jam mengajar, jadi sebisa mungkin tetap disiasati, asalkan anak-anak tidak kecewa,” tutur Badran Tanjung.

Keikhlasan sepertinya menjadi motor penggerak dirinya untuk tetap terpanggil mengajar meskipun tanpa upah yang seharusnya ia terima. Mengabdi menjadi guru ngaji di pesisir kepulauan yang jauh bukan keinginanya tapi pilihan prinsip hidup yang kelak semoga bisa membawa kebahagiaan hakikinya menjadi da’i membawa syi’ar keislaman di kepulauan.

Ali Azmi
Relawan Tanmia
Pulau Nias

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?”       (Q.S. Fushilat : 33)

Mailing form

    Kontak Kami

    Jl. Kranggan Wetan No.11, RT.1/RW.5, Jatirangga, Jatisampurna, Kota Bks, Jawa Barat 17434

    0852-1510-0250

    info@tanmia.or.id

    × Ahlan, Selamat Datang!