Tiga Macam Kelompok Manusia Di Bulan Ramadhan

Allah swt memberikan kemuliaan yang begitu besar kepada bulan Ramadhan, makanya didalam bulan tersebut disyariatkan berbagai macam ibadah dan ketaatan, termasuk puasa dengan harapan manusia mencapai derajat takwa. Namun, tetap saja di bulan ini ada beberapa golongan manusia yang tidak sesuai dengan tujuan puasa, setidaknya ada tiga kelompok manusia di bulan Ramadhan.

Ahli tafsir Imam Qatada, seperti yang dinukil oleh Imam At-Thabari, menjelaskan bahwa manusia itu terbagi ke dalam tiga kelompok, baik di dunia, ketika meninggal dunia, dan nanti diakhirat. Di dunia manusia terbagi ke dalam kelompok mukmin, munafik dan musyrik. Sedangkan ketika meninggal dunia maka sesuai dengan firman Allah SWT:

فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ فَسَلامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ فَنزلٌ مِنْ حَمِيمٍ وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ

“Adapun jika Dia (orang yang mati) Termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta jannah kenikmatan, dan Adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan, dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam Jahannam”. (QS. Al-Waqiah: 88-94)

Adapun diakhirat, maka manusia juga terbagi kedalam tiga kelompok sesuai dengan firman Allah SWT:

فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ

“Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu, dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu, dan orang-orang yang beriman paling dahulu”. (QS. Al-Waqiah:8-10)

Menurut Imam At-Thabari, penjelasan Imam Qatadah ini lebih mengarah kepada sebuah kesimpulan bahwa orang-orang yang termasuk dalam katagori zholim pada ayat QS. Fathir: 32 itu tempatnya di neraka. Namun kita juga tidak menutup mata bahwa ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang zholim tetap berada di syurga selagi mereka tidak mensyirikkan Allah SWT, ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan selainnya walau keberadaannya di surga bisa jadi setelah sebelumnya diadzab dulu di neraka, demikian kesimpulan dari Imam At-Thabari pada akhirnya.

Sehingga sikap seorang muslim yang moderat seharusnya terdepan dalam kebaikan, dia harus menjadi pribadi yang terbaik dan menjadi qudwah hasanah dalam melaksanakan perintah Allah, jangan sampai menganggap ibadah adalah beban hidup yang hanya dikerjakan sebatas agar gugur dari tanggungannya, dan lebih menyedihkan lagi apabila dia tidak peduli lagi dengan perintah dan larangan Allah, maka ia termasuk pribadi yang zalim, maka Allah membagi jenis manusia dalam kaitannya menyambut seruan Allah swt di dalam Al Quran menjadi tiga kelompok.
Allah berfirman dalam Surat Fatir ayat 32:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Artinya:

”Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS. Fatir: 32)

Maka dalam kaitannya dengan ibadah Ramadhan, jika kita analogikan dengan ayat diatas, Ada tiga golongan manusia dalam menyikapi bulan Ramadhan sebagaimana dijelaskan Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir dalam bukunya “Bekal Ramadhan dan Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan”, diantara mereka:

1. Kelompok Zhalim.

Mereka ini adalah orang-orang yang kurang sekali perhatiannya terhadap bulan Ramadhan. Bagi mereka kedatangan Ramadhan dianggap biasa-biasa saja dan dianggap sebagai beban. Kelompok ini menyamakan bulan Ramadhan dengan bulan-bulan yang lainnya.

Mereka berpuasa, tapi hanya sebagian saja, lalu sebagian lainnya mereka tinggalkan bukan karena alasan yang diperbolehkan.

Sehingga kewajiban berpuasa tidak dijalankan dengan sempurna. Bisa jadi mereka berpuasa penuh selama satu bulan, namun hari-hari mereka meninggalkan salat fardhu, banyak tidur. Inilah kezhaliman mereka untuk diri masing-masing.

Di akhirat kelak nasibnya akan menyedihkan, walaupun kita tetap berharap ampunan dan kasih sayang Allah. Orang-orang seperti ini harus diingatkan dan diajak dengan baik agar menyadari pentingnya beramal saleh di bulan Ramadhan.

2. Muqtashid (Pertengahan).

Mereka adalah orang-orang yang bergembira menyambut hadirnya bulan Ramadhan. Rasa gembira itu semakin menjadi-jadi karena setelah itu bakal ada libur panjang. Ada kesadaran bergama bahwa di Ramadhan waktunya untuk menghapus dosa dan mengambil banyak pahala untuk bekal di akhirat kelak. Namun, padatnya aktivitas dan kurang mantapnya iman, membuat mereka lalai mengerjakan ibadah-ibadah sunnah.

Kelompok pertengahan ini terkadang meninggalkan ibadah salat tarawih dan witir ataupun salat rawatib qabliyah dan badiyah. Dalam satu hari itu ada rasa malas untuk membaca Al-Qur’an, sehingga target bacaan Al-Qur’an tidak tercapai. Mereka juga full berpuasa, namun ada di antara mereka yang kesehariannya terlalu banyak tidur. Amalan-amalan sunnah Ramadhan tidak begitu diperhatikan.

3. Sabiqun Bil Khairat (Berpestasi).

Kelompok ketiga ini disebut dengan istilah orang-orang berprestasi karena memang mereka adalah orang-orang yang berusaha meninggalkan perkara haram dan makruh. Mereka juga meninggalkan sebagian perkara mubah demi kesempurnaan ibadah puasa yang mereka jalankan.

Mereka ini sebenarnya bukan hanya berprestasi di bulan Ramadhan, namun di luar Ramadhan mereka adalah orang-orang berprestasi. Kerinduan mereka kepada Ramadhan membuat mereka selalu berdoa sepanjang bulan kepada Allah.

Golongan manusia ini disifati oleh Allah sebagi orang yang bertakwa dalam satu ayat:

(كَانُوا۟ قَلِیلࣰا مِّنَ ٱلَّیۡلِ مَا یَهۡجَعُونَ ۝ وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ یَسۡتَغۡفِرُونَ)

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum Fajar.” (QS. Adz-Dzariyat: 17-18). Kualitas ibadah mereka jangan ditanya.

Salat malam tidak pernah ketinggalan. Ibadah sosial mereka juga sangat kuat. Mereka sangat dermawan di bulan Ramadhan. Seluruh anggota badan mereka berpuasa, mata berpuasa dari melihat hal-hal yang dilarang oleh Allah. Begitu juga dengan telinga, lidah, bibir, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh lainnya tidak bermaksiat kepada Allah.

(Diringkas dari buku “Bekal Ramadhan dan Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan”, karya Muhammad Saiyid Mahadhir hal 38-47)

Hakikat Ucapan Jazakallah Khairan

Islam tak hanya mengajarkan bersyukur kepada Allah, tetapi juga menuntun untuk mengucapkan terima kasih kepada sesama manusia. Terutama yang berbuat baik. Apalagi jika itu adalah orang tua.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan terima kasih kepada sesama manusia sebagai indikator syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah, siapa yang tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud; shahih)

Lalu bagaimana ucapan terima kasih terbaik ketika ada seseorang yang berbuat baik kepada kita? Apakah ucapan syukran seperti yang kita dengar? Ternyata bukan. Meskipun kata syukran juga boleh dan baik. Namun ada yang lebih baik,
Apa itu? Yaitu kata Jazakallah Khairan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

“Barangsiapa diperlakukan baik oleh orang lain kemudian ia berkata kepadanya jazakallah khairan, maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya.” (HR. Tirmidzi, Al Albani berkata: “shahih”)

Nah, apa saja keutamaan ucapan Jazakallah Khairan, diantaranya adalah:

1. Ucapan terimakasih terbaik.

Dibandingkan dengan ucapan “terima kasih”, “syukran”, “thank you”, “matursuwun”, dan lainnya, ucapan jazakallah khairan adalah yang terbaik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

“Barangsiapa diperlakukan baik oleh orang lain kemudian ia berkata kepadanya jazaakallah khairan, maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya.” (HR. Tirmidzi, Al Albani berkata: “shahih”)

2. Sunnah Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam.

Ucapan terima kasih dengan jazakallah khairan adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengajarkan ucapan ini dan para sahabat juga mengamalkannya.

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Jika seseorang berkata kepada saudaranya “jazaakallah khairan” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya. (HR. Thabrani, Al Albani berkata: “shahih li ghairihi”)

3. Ucapan doa

Rasulullah mengajarkan, ketika mendapat kebaikan atau hadiah dari orang lain, hendaklah kita membalasnya dengan kebaikan dan hadiah pula. Namun jika belum bisa, minimal dengan ucapan terima kasih dan mendoakannya.
Ucapan jazakallah khairan, jazakillah khairan dan jazakumullah khairan merupakan ucapan terima kasih sekaligus doa untuk orang yang telah memberi hadiah dan kebaikan untuk kita.

وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

“Dan barangsiapa yang berbuat kepada kalian maka balaslah. Jika ia tidak mendapati sesuatu untuk membalasnya, maka doakanlah ia, sampai kalian melihat bahwa kalian sudah membalasnya.” (HR. Abu Daud)

4. Mendapat doa

Ketika kita berterima kasih dengan cara mengucapkan doa ini, maka kita pun akan mendapatkan jawaban dengan didoakan kembali. Kalaupun tidak dijawab oleh orang tersebut, malaikat yang akan menjawabnya dengan mendoakan kita.

Jawaban Jazakallah Khairan.

Bagaimana jawaban atau balasan jika kita mendapat ucapan jazakallah khairan dan sejenisnya?
Karena ini doa, kita bisa menjawab dengan mengaminkan doa tersebut. Misalnya “aamiin” atau “aamiin ya Rabb.” Kadang pula dijawab dengan “afwan” yang merupakan jawaban dari “syukran”.
Namun yang lebih utama adalah membalas dengan mendoakannya pula. Tidak hanya mengaminkan doanya. Sering kali, jawaban dalam bentuk mendoakan ini dengan ucapan “waiyakum” yang artinya “dan demikian pula bagimu.” Namun ini umum dan ada yang lebih baik lagi, yakni yang kita dapatkan dari hadits.
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam An Nasa’i dan Ibnu Hibban, ketika Usaid bin Hudhair mewakili kaum Anshar berterima kasih kepada Rasulullah dengan jazakallah khairan, Rasulullah menjawabnya dengan ucapan:

وَأَنْتُمْ مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ فَجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

“Dan kamu sekalian wahai kaum Anshar, semoga Allah juga membalasmu dengan kebaikan.”
Jadi, balasan jazakallah khairan yang dicontohkan Rasulullah adalah:

فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا

Artinya: Semoga Allah juga membalasmu dengan kebaikan
Ucapan di atas sebagai jawaban jika yang mengucapkan jazakallah khairan adalah laki-laki.
Sedangkan untuk perempuan, jawaban untuknya adalah:

فَجَزَاكِ اللهُ خَيْرًا

Artinya: Semoga Allah juga membalasmu dengan kebaikan
Adapun jika yang menyampaikan ucapan terima kasih itu orang banyak atau mewakili orang banyak, jawaban untuk mereka adalah:

فَجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Artinya: Semoga Allah juga membalas kalian dengan kebaikan

I’tikaf di Bulan Ramadhan di Rumah Ditengah Pandemi Virus Corona

Oleh : Kholid Mirbah, Lc

Di tengah pandemi wabah Covid-19 ini kita dituntut untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing, dan begitu pula mayoritas negara-negara di dunia, termasuk indonesia, melarang para warganya untuk mengadakan kegiatan yang mengundang perkumpulan masa dalam rangka untuk memutus rantai penyebaran covid-19, terlebih lagi mereka yang tinggal di zona merah seperti kami yang tinggal di Cibubur, Bekasi dan sekitarnya pun tak lepas dari himbauan ini, termasuk dalamnya dilarang menyelenggarakan ibadah shalat berjamaah bagi kaum muslimin di masjid-masjid, maka kita saksikan pemandangan bulan Ramadhan pada tahun ini dimana banyak masjid-masjid yang kosong dari aktivitas ibadah didalamnya termasuk berjamaah lima waktu, shalat tarawih dan juga kegiatan beritikaf di dalam masjid.

Maka sebagian dari kami berinisiatif untuk melakukan berbagai kegiatan Ramadhan di rumah masing-masing, dengan mengkhususkan satu ruangan tertentu untuk dijadikan sebagai masjid atau dikenal masjid al-bait/mushalla rumah, sehingga dapat digunakan untuk shalat berjamaah, membaca Al-Quran, berzikir termasuk I’tikaf sebagai upaya menghidupkan sunnah-sunnah di bulan Ramadhan. Nah apakah I’tikaf semacam ini diperbolehkan, tentunya dengan mengesampingkan masjid sebagai salah satu syarat sah I’tikaf yang termaktub dalam firman Allah swt

وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِی ٱلۡمَسَـٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ

Te-tapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
[Surat Al-Baqarah 187]

Nah sebelum kita membahas permasalahan tersebut lebih lanjut, maka alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengupas tentang hakikat I’tikaf.

a. Pengertian I’tikaf

I’tikaf secara bahasa adalah al-muktsu wal ihtibas yaitu menahan dan mengekang diri, maksudnya adalah menahan diri untuk mengerjakan aktivitas yang biasa ia lakukan.
Adapun secara istilah fuqaha’, diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Sulaiman Al-Bajirimi dalam Hasyiatihi ala Syarhi Minhajut Thullab, (2/91)

الإعتكاف هو أن يمكث المسلم في المسجد بنية العبادة

I’tikaf adalah seorang muslim berdiam diri dan menetap di dalam Masjid dengan niat ibadah.

Al-Imam Ibnu Qudamah didalam kitab Al-Mughni (3/186) mendefinisikan I’tikaf secara bahasa adalah,

الإعتكاف في اللغة لزوم الشيئ وحبس النفس عليه برا كان أو غيره

I’tikaf secara bahasa adalah diamnya sesuatu dan menahan diri dari perbuatan baik maupun yang buruk, diantara makna I’tikaf tersebut disebutkan di dalam firman Allah swt,

a. Ketika Nabi Ibrahim as menasehati ayahnya dan kaumnya agar menjauhi berhala,
Allah berfirman,

(إِذۡ قَالَ لِأَبِیهِ وَقَوۡمِهِۦ مَا هَـٰذِهِ ٱلتَّمَاثِیلُ ٱلَّتِیۤ أَنتُمۡ لَهَا عَـٰكِفُونَ)

(Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beri’tikaf disamping nya (menyembahnya)?”
[Surat Al-Anbiya’ 52]

b. Kisah Bani Israil yang berniat kembali musyrik setelah diselamatkan oleh Allah swt dari kejaran Firaun dan pengikut nya.

(وَجَـٰوَزۡنَا بِبَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡا۟ عَلَىٰ قَوۡمࣲ یَعۡكُفُونَ عَلَىٰۤ أَصۡنَامࣲ لَّهُمۡۚ قَالُوا۟ یَـٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُونَ)

Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”
[Surat Al-A’raf 138]

Sedangkan secara istilah syariat beliau kemukakan tentang I’tikaf,

الإعتكاف هو الإقامة في المسجد على صفة نذكرها وهو قربة وطاعة

I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam tujuan yang bersifat mendekatkan diri dan melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.

b. Dalil Pensyari’atan I’tikaf

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

-Firman Allah ta’ala,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

-Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri ketika sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.

Dalil dari sunnah

-Hadits dari Aisyah ra, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”(HR. Bukhari Muslim)

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah,
-Imam Muhyiddin An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu'(6/475)

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.

c. Hikmah dibalik syariat I’tikaf

Imam As-Shawi dalam kitab Bulghatus Salik li aqrabil Masalik hal. 469 dalam Bab Al-I’tikaf ketika menjelaskan hikmah I’tikaf beliau berkata,

وكان من حكمة مشروعيته تصفية مرآة العقل والتشبه بالملائكة الكرام في وقته، أتبعه بالكلام على الاعتكاف التام الشبه بهم في استغراق الأوقات في العبادات، وحبس النفس عن الشهوات، وكف اللسان عما لا ينبغي“.

Diantara hikmah disyariatkannya I’tikaf adalah untuk Menjernihkan akal dan menyerupai keadaan para malaikat yang mulia, Kesamaan antara orang yang I’tikaf dengan para malaikat adalah didalam totalitas seluruh waktu digunakan untuk beribadah, menahan diri dari syahwat dan menahan lisan dari ucapan yang tak pantas.

Beliau lanjutkan,

“فـالاعتكاف فيه تسليم المعتكف نفسه بالكلية إلى عبادة الله تعالى طلب الزلفى ، وإبعاد النفس من شغل الدنيا التي هي مانعة عما يطلبه العبد من القربى ، وفيه استغراق المعتكف أوقاته في الصلاة إما حقيقة أو حكما ، لأن المقصد الأصلي من شرعية الاعتكاف انتظار الصلاة في الجماعات ، وتشبيه المعتكف نفسه بالملائكة الذين لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون ، ويسبحون الليل والنهار لا يفترون”.

“Maka I’tikaf hakikatnya ia berserah diri kepada Allah swt secara totalitas dalam beribadah, menjauhkan diri dari kesibukan dunia, dan didalamnya orang yang sedang I’tikaf menghabiskan waktunya dalam rangka menunaikan shalat, baik itu secara hakikat atau hukum. Karena tujuan utama dari syariat I’tikaf adalah menunggu waktu shalat berjamaah, menyamai kepribadian para malaikat yang tidak pernah bermaksiyat kepada perintah Allah swt, mengerjakan semua yang diperintahkan kepada mereka, senantiasa bertasbih kepada Allah siang malam dan tidak pernah merasa bosan.

d. Hukum I’tikaf

I’tikaf dibulan Ramadhan dan di bulan selainnya hukumnya sunnah, sehingga bagi pelakunya dapat pahala di sisi Allah swt, hanya saja status hukum sunnah ini dapat berubah menjadi wajib karena menjadi nazar bagi pelakunya.
Imam Ibnu Munzir dalam kitab Al-Ijma hal. 7.

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”
Dan itu senada dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, beliau bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya (HR. Bukhari).

e. Syarat dan rukun I’tikaf

Sebelum melakukan i’tikaf, penting untuk memperhatikan syarat dan rukunnya, antara lain sebagai berikut:

Pertama, niat, dalam i’tikaf harus ada niat sehingga orang yang melakukannya paham apa yang harus dilakukan, tidak melamun, dan pikiran tidak kosong.

نويت الاعتكاف لله تعالى
“Saya niat I’tikaf karena Allah swt”

Kedua, diam di dalam masjid dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang beri’tikaf, sebagaimana firman Allah SWT “…Tetapi, jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS Al-Baqarah: 187).

Orang yang melakukan i’tikaf harus muslim, berakal, suci dari hadas besar (haid, nifas, keluar mani) dan harus di masjid.

f. Waktu I’tikaf

I’tikaf itu disyari’atkan setiap waktu, namun lebih ditekankan lagi di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan suci tersebut. Sedangkan bagi seseorang yang berniat itikaf di sepuluh malam terakhir maka hendaklah dia memasuki masjid atau memulai itikafnya sebelum terbenam matahari di malam 21 Ramadhan, sebagaimana pendapat jumhur ulama.

g. I’tikaf bagi wanita.

Para Ulama telah bersepakat tentang sahnya wanita untuk beri’tikaf, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang tempat mereka harus beri’tikaf,

-Jumhur ulama mengatakan bahwa wanita diwajibkan I’tikaf di masjid, karena adanya riwayat dari Ibnu Abbas ra ketika beliau ditanya tentang wanita yang bernazar untuk beri’tikaf di rumahnya, maka beliau menjawab, “Bid’ah, dan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah membuat bid’ah. Maka, tidak sah I’tikaf kecuali didalam masjid yang didalam nya ditegakkan shalat jamaah, karena rumah tidak sama dengan masjid baik itu secara hakikat maupun hukum, karena dirumah orang yang sedang junub boleh berdiam diri sedangkan di masjid tidak diperbolehkan, seandainya hal itu boleh niscaya istri-istri Rasul saw pasti melakukannya walaupun hanya sekali, namun kita tak mendapatkan riwayat semacam itu.

-Adapun kelompok Hanafiyah dan pendapat imam Syafi’i dalam qoul qadim memperbolehkan wanita untuk I’tikaf di rumahnya (ruangan khusus untuk ibadah di dalam rumah/mushalla rumah), karena memang ruangan itu tempat khusus untuk ia shalat, dan makruh bagi ia untuk I’tikaf di masjid jami’ yang dipakai untuk shalat berjamaah, mereka berpendapat bahwa Rumah itu lebih afdhol baginya dari pada masjid kampungnya, sedangkan masjid kampungnya itu lebih afdhol baginya dari pada masjid kota. Dan tidak diperbolehkan bagi wanita untuk I’tikaf diselain ruangan khusus untuk shalat di rumahnya. Adapun bagi laki-laki seluruh ulama bersepakat bahwa I’tikaf nya harus di masjid, karena masjid adalah salah satu rukun dalam I’tikaf. Sekalipun demikian Ibnu Lubabah Al-Maliki memiliki pendapat berbeda yaitu kebolehan I’tikaf bukan di masjid seperti yang dikatakan oleh Ibnu Bazizi Al-Maliki: “Dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa I’tikaf yang syar’i tidak sah kecuali di masjid, dan Ibnu Lubabah mengatakan sah di selain masjid”. Begitu pula sebagian ulama Malikiyah memperbolehkan Itikaf bagi lelaki dan wanita di rumah, karena I’tikaf itu hukumnya sunnah, dan perkara yang sunnah lebih baik dilaksanakan di rumah (Raudhatul Mustabin juz 1 hal 548)

h. Bagaimana sikap kita I’tikaf dirumah atau di masjid di tengah pandemi covid-19 ini?

Tidak diragukan lagi bahwa Masjid sebagai bagian rukun dari I’tikaf tidak terbantahkan lagi karena adanya nash dari Al Quran dan Hadits, perbuatan Rasulullah saw dan para sahabatnya, dan memang di masjid lah tercapai tujuan I’tikaf yaitu menahan diri dari syahwat dan totalitas dalam beribadah, adapun I’tikaf seorang lelaki di rumahnya mencegah nya untuk meraih maksud dan tujuan I’tikaf itu sendiri.
Hanya saja karena keadaan yang mendesak kau muslimin untuk tetap tinggal dirumah dalam rangka pencegahan tertular wabah virus covid-19, maka jumhur ulama merajihkan pendapat dari ulama Malikiyah dengan catatan:

a. I’tikaf hanya boleh dilakukan diruangan khusus untuk shalat dan ibadah/mushalla rumah, tidak boleh dilakukan disetiap ruangan yang ada di rumah.
b. Ia harus komitmen I’tikaf di mushalla rumah dengan tidak keluar darinya kecuali karena hal yang sangat mendesak, seperti buang air dan lainnya, adapun ia keluar masuk keliling rumah maka ini bukanlah I’tikaf.
c. Menyibukkan diri dengan berbagai ibadah sewaktu I’tikaf di mushalla rumahnya seperti membaca Al Quran, berzikir, shalat, sehingga dengannya terwujud maksud dan tujuan I’tikaf
d. Ikhtiyar seperti ini dibangun karena menyesuaikan kondisi yang ada, namun ketika uzur ini telah hilang maka kembali kepada hukum asal yaitu I’tikaf harus di masjid, kecuali bagi wanita yang sebagian ulama memperbolehkan I’tikaf di mushalla rumahnya.
e. Pendapat yang mengatakan bolehnya I’tikaf di rumah itu lebih mengacu pada sisi maslahatnya, karena dalam rangka menjaga syiar dibulan Ramadhan, dan dalam Kaidah fiqih dikatakan,

” الإعمال مع سقوط بعض الشروط أولى من الإسقاط بالكلية”

Mengamalkan suatu amalan dengan menggugurkan sebagian syarat-syarat nya itu lebih baik dari pada meninggalkan amalan tersebut secara totalitas.

Wallahua’lam bish Shawab!

Keutamaan Malam Lailatul Qadar

Setiap muslim pasti merindukan malam yang agung dan mulia, Lailatul Qadar. Malam ini hanya hadir setahun sekali. Orang yang beribadah sepanjang tahun sudah barang tentu lebih mudah mendapatkan kemuliaan malam tersebut karena ibadahnya rutin dibanding dengan orang yang beribadah jarang-jarang.
Maka betapa spesialnya malam Lailatul Qadar, Sampai Imam Ibnu Qayyim berkata;

لـو كانـت ليلـة القـدر بالسنـة ليلـة واحـدة لقمـت السنـة حتى أدركهـا فمـا بالـك بعشـر ليـال

“Jika seandainya Lailatul Qadar itu harus dicari sepanjang tahun, maka niscaya aku akan menghidupkan seluruh (malam) dalam satu tahun sehingga aku bisa mendapatkan nya. Lalu bagaimana pendapatmu apabila malam Lailatul Qadar terjadi hanya pada 10 hari (terakhir di bulan Ramadhan).” {Bada’iul Fawaid,55}

Nah, apa saja keutamaan malam lailatul qadar itu?

1- Lailatul Qadar adalah waktu dimana Al Qur’an diturunkan, sebagaimana firman Allah,

إِنَّاۤ أَنزَلۡنَـٰهُ فِی لَیۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar.
[Surat Al-Qadar 1]

Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Sungguh keutamaan yang agung.

2- Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan
Allah Ta’ala berfirman,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3).

An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan yang besar dalam Lailatul Qadar.

3- Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar.
Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4)

Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya keberkahan pada malam tersebut. Karena memang, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)

Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.

3- Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5)

yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang diselamatkan dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.

4- Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan.
Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3).

Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.

6- Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan
Allah Ta’ala berfirman,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhohak dan ulama salaf lainnya.

7- Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Lihat Fathul Bari, 4: 251)

Maka Bagaimana Petunjuk Nabi saw untuk meraih kemuliaan malam tersebut?

1. Bersungguh-sungguh dalam menghidupkan malamnya, baik dengan sholat tarawih berjama’ah, shalat tahajjud, membaca Al-Qur’an, berdzikir, sedekah ataupun dengan ketaatan dan amal sholeh lainnya, dan juga Membangunkan istri dan anak-anak di malam tersebut,
Ini sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah –radhiyallahu’anha-, beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), Beliau mengencangkan sarung Beliau, menghidupkan malamnya dengan ber’ibadah dan membangunkan keluarga Beliau” (HR Bukhari),

2. Nabi shallallahu’alaihi wasallam sangat bersungguh-bersungguh dalam beribadah di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan lebih dari hari-hari sebelumnya, Aisyah berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR Muslim).

3. Bersungguh-sungguh dalam mencari dan mendapatkan malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, Beliau bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan” (HR Bukhari).

4. Nabi –shallallahu’alaihi wasallam- memerintahkan mencarinya pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, Beliau bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan”(HR Bukhari).

5. Jika tidak sempat mencarinya atau tidak mampu di 10 hari penuh maka janganlah terlewatkan darinya di 7 hari terakhir bulan ramadhan, Rasulullah –shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

“Carilah ia pada sepuluh terakhir (Ramadlan), yakni Lailatul Qadr. Maka jika salah seorang dari kalian tidak sempat atau tidak mampu, maka jangan sampai terlewatkan tujuh malam terakhir.” (HR Muslim).

6. Sahabat Ubay bin ka’ab menetapkan malam lailatul qadr pada hari ke 27 ramadhan, beliau berkata:

والله إني لأعلم أي ليلة هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين

“Demi Allah aku mengetahui, pada malam apa, malam lailatul qadr itu yang Nabi memerintahkan kita untuk menghidupkannya, ia adalah malam ke 27 ramdhan” (HR Muslim).

Dan pendapat yang paling rojih adalah, bahwa tepatnya malam lailatul qadar tidak dikhususkan dan tentukan pada waktu tertentu, pada malam ke berapa setiap tahunnya, akan tetapi waktunya berpindah-pindah sesuai kehendak Allah, dan ia pasti berada di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, dan hikmah disembunyikan malamnya agar kaum muslimin memanfaatkan penuh di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, bukan hanya di malam-malam tertentu.

7. Bersungguh-sungguh dalam ber’itikaf di sepuluh hari terakhir, Sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya” (HR Bukhari).

8. Memperbanyak doa pada malam-malam tersebut, dengan doa:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah sesungguhnya engkau maha pengampun, yang suka mengampuni, maka ampunilah atas dosa dosa kami.

Mudah-mudahan kita dipertemukan dengan malam lailatul qadar, dan diberikan kesempatan untuk memaksimalkan segala ibadah di dalamnya sehingga kita termasuk hamba Allah yang beruntung dengan menuai banyak kebaikan dan pahala di dalamnya.

Disusun dan diringkas oleh Ustadz Khalid, Lc
Dari berbagai sumber.

Perintah Ber Zakat Dan Cara Menghitungnya

Zakat adalah salah satu syariat di dalam islam, ia merupakan pilar – pilar tegakknya islam atau yang biasa kita kenal dengan istilah Rukun Islam, sungguh sebuah kehormatan dan kemuliaan apabila Allah mentaqdirkan kita sebagai orang diberikan kemampuan untuk berzakat, karena pada dasarnya kita telah diberikan kesempatan oleh Allah untuk dapat beramal shaleh lebih banyak, plus mendapatkan rahmat, ridha dan ampunan Allah lebih banyak pula, sehingga kita sangat bersyukur dengan nikmat ini, salah satu bentuk wujud syukur ialah dengan mengeluarkan zakat.

Allah ta’ala berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku'”. (QS. al-Baqarah [2]: 43).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”. [HR Bukhari, no. 8].

Selain zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi penegakan syariat Islam, Zakat juga merupakan kegiatan amal sosial dan kemanusiaan, yang dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan umat manusia.

Di antara fadhilah zakat ialah

  • Mensucikan harta
  • Menambah keberkahan harta dan jiwa
  • Melipat gandakan harta
  • Meraih keridhaan Allah ta’ala
  • Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah ta’ala berikan
  • Untuk pengembangan potensi ummat
  • Dukungan moral kepada orang yang baru masuk islam (muallaf)
  • Zakat adalah tabungan manusia, kelak ia akan mengambil tabungannya tersebut dengan berlipat ganda di hari kiamat.

Allah ta’ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Attaubah: 103).

 

CARA HITUNG ZAKAT MAAL

Zakat maal berlaku untuk harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim dengan rumusan sebagai berikut:

Zakat Maal = 2,5 persen X Jumlah harta yang tersimpan selama 1 tahun.

Menghitung Nisab Zakat Maal = 85 x harga emas pasaran per gram.

Contoh: Pak Cik Ramli punya tabungan Rp 100 juta rupiah,

Deposito Rp 200 juta rupiah,

Investasi rumah dan tanah senilai Rp 500 juta rupiah

Piutang Rp 100.000.000,-

Penghasilan lain – lain Rp 100.000.000,-

Total harta yang dimiliki Rp1 miliar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak 1 tahun yang lalu.

Misal, harga 1 gram emas sebesar Rp 500.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp 42.500.000,- Karena harta Pak Cik Ramli telah lebih dari nisab, maka ia harus membayar zakat maal sebesar Rp1 Milyard  X 2,5 persen = Rp 25 juta rupiah per tahun.

Contoh lain

Mak Cik Aminah punya tabungan uang senilai 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tabungan tersebut sudah mengendap selama satu tahun, maka cara menzakatkannya adalah sebagai berikut:

50.000.000 X 2,5%= Rp 1.250.000,- (satu juta dua ratus lima puluh ribu).

NB. (Nisab zakat harta tergantung pada nilai emas, maka hendaknya memperhatikan nilai emas di pasaran, setelah itu barulah dihitung zakatnya).

Contoh

Bila hari ini harga emas per gramnya adalah Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) maka nisab zakatnya adalah sebagai berikut:

800.000 X 85 gram emas = Rp 68.000.000,- (enam puluh delapan juta rupiah) ini adalah nisab zakatnya. Jadi bila harta simpanannya di bawah 68 juta rupiah maka ia tidak kena kewajiban zakat maal, karena belum mencapai batas minimal kelayakan membayar zakat (nisab), namun ia boleh untuk ikut sedekah, infaq, wakaf, dll.

CARA MENGHITUNG ZAKAT EMAS

Nisab emas sebanyak 20 dinar.

1 dinar = 4,25 gram emas. Jadi 20 dinar = 85 gram emas murni.

Dari nisab tersebut, diambil 2,5 persen.

Jika lebih dari nisab dan belum sampai ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nisab awal.

Contoh:

Ummi Rani memiliki emas 87 gram yang disimpan. Jika telah sampai haulnya, wajib untuk dikeluarkan zakatnya, yaitu 2,5 persen x 87 gram = 2,175 gram (dua koma satu tujuh lima gram).

CARA MENGHUTUNG ZAKAT BARANG DAGANGAN (Tijarah)

Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga beli, lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.

Contoh

Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya (aset/stock barang dagang) pada akhir tahun dengan total Rp 200.000.000,-, laba bersih Rp 50.000.000,-, dan memiliki hutang Rp. 100.000.000,-. Maka perhitungannya sebagai berikut:

Modal – Hutang: Rp200.000.000,- – Rp 100.000.000,- = Rp 100.000.000,-

Jumlah harta zakat adalah: Rp100.000.000,- + Rp 50.000.000,- = Rp150.000.000,-

Zakat yang harus dibayarkan: Rp 150.000.000,- x 2,5 % = Rp 3.750.000,-

 

Bila sang saudagar tidak ada hutang, maka dapat kita hitung sebagai berikut:

Jumlah nilai barang yang ada (stock) Rp 200.000.000,-

Laba Rp 100.000.000,-

Piutang 50.000.000,-

Maka harta zakatnya adalah 200.000.000 + 100.000.000,- + 50.000.000= Rp 350.000.000,-

Rp 350.000.000 X 2,5% = Rp 8.750.000,- (delapan juta tujuh ratus lima puluh rupiah).

Semoga Allah memberikan keberkahan pada harta kita, keluarga dan anak keturunan kita, mudahan Allah memudahkan kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka untuk kemaslahatan diri mereka, agama dan kaum muslimin.

Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Sekolah Ramadhan

Oleh : Kholid Mirbah, Lc

Waktu semakin cepat berputar, tak terasa kita kembali berjumpa dengan bulan Ramadhan padahal rasanya baru kemarin sore kita berjumpa dengan Ramadhan, kaum muslimin bersuka cita dengan kedatangan bulan suci tersebut, mereka berlomba-lomba dalam keta’atan dan bersegera dalam kebaikan.

Maka sudah barang tentu bulan yang istimewa ini terkumpul di dalamnya berbagai peristiwa agung, pelajaran, nasehat, ibadah yang tidak ada di bulan-bulan selain Ramadhan.

Maka di bulan suci ini adalah Bulan permulaan wahyu turun, artinya bahwa awal hidayah turun kepada umat ini adalah di bulan Ramadhan, dan Hidayah adalah sebaik-baiknya nikmat Allah secara mutlak, maka kita tidak akan mendapatkan hidayah iman ini kecuali dari jalur permulaan wahyu yang turun kepada Nabi saw di bulan Ramadhan, sehingga Ramadhan disebut Sebagai Syahrul Hidayah. maka renungkanlah baik-baik!

Sudah sepatutnya bagi setiap muslim yang mendapati bulan Ramadhan untuk mengambil pelajaran dan memetik hikmah dibalik keistimewaan bulan Ramadhan, supaya ia tidak menyia-nyiakan keagungan dan kebaikannya serta tidak terhalang dari keutamaan dan pahala yang besar di dalamnya.

Nah, Pelajaran apa saja yang bisa kita dapatkan selama bulan Ramadhan? Diantaranya adalah:

1. Ramadhan adalah Syahrut Tarbiyah,

Yaitu mendidik dan menggembleng kaum muslimin me jadi insan-insan yang mulia, yaitu dengan pembekalan ibadah yang maksimal, pengajaran akhlak mulia, penyucian jiwa dan pelaksanaan ibadah yang bervariasi. Maka proses pendidikan ini akan melahirkan sifat serta tabiat yang terpuji diantaranya adalah belajar mengendalikan diri, disiplin dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, belajar menghargai, membiasakan diri berbagi dan lain sebagainya.
Maka dibulan Ramadhan ini Allah menyuguhkan berbagai macam ketaatan dan amal shalih yang harus kita kerjakan, supaya kita terbiasa dengan amal-amal kebaikan tersebut sehingga pengaruh pendidikan itu tidak hanya dirasakan dibulan Ramadhan saja tetapi buah positif pendidikan Ramadhan tersebut juga akan kita rasakan seusai bulan Ramadhan.

2. Ramadhan adalah Syahru at-Taqwa.

Bulan Ramadhan akan melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang bertakwa, karena segala ibadah yang dilakukan dibulan Ramadhan pada hakikatnya dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga dari situlah memudahkan seseorang untuk menggapai prestasi ketakwaan kepada Allah, termasuk diantaranya adalah puasa,

(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ)

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, [Surat Al-Baqarah 183]

Maka puasa hakikatnya mendidik seorang muslim untuk menjadi pribadi yang bertakwa, dan diantara bagian dari sifat takwa adalah menjauhi perkara yang haram dan dosa.
Tidaklah kita tahu bahwa hamba Allah yang sedang berpuasa itu meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Allah swt, takut akan azab-Nya dan berharap pahala dari-Nya, ini adalah contoh kecil dari pelajaran takwa.
Karena hakikat takwa pada dasarnya adalah

طاعة الله بامتثال أمره و اجتناب نهيه على علم و بصيرة

“Mentaati Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya diatas ilmu (ilmu syar’i).
Maka dari itu sebagian ulama menafsirkan makna Taqwa dengan:

أن تعبد الله على نور من الله ترجو ثواب الله و أن تترك ما حرم الله على نور من الله و تخشى عقاب الله

Artinya: “Engkau sembah Allah diatas cahaya dari Allah lalu engkau mengharap pahala dari Nya, dan engkau tinggalkan setiap perkara yang diharamkan Allah diatas cahaya dari Allah lalu engkau merasa takut akan hukuman dari Nya.”

Kemudian sebagian ulama lainnya ada yang menafsirkan makna Taqwa dalam untaian bait syair:

خل الذنوب صغيرها # و كبيرها ذاك التقى
و اعمل كماش فوق#أرض الشوك يحذر ما يرى
لا تحقرن صغيرة # إن الجبال من الحصى

Artinya:
Tinggalkanlah bagian terkecil dari dosa,
Dan dosa besar, itulah hakekat taqwa.
Beramallah bagai pejalan kaki diatas bumi,
Yang dipenuhi duri, maka dengan pengelihatannya ia pun berhati-hati.
Jangan kau remehkan dosa kecil,
Karena sesungguhnya gunung itu tersusun dari batu kerikil.

Sahabat Ali ra ketika menjelaskan tentang taqwa beliau berkata,

اَلتَّقْوَى: الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل

Bahwa Takwa adalah takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar Al Qur’an (At Tanjil), dan menerima (Qona’ah) terhadap yang sedikit dan bersiap-siap menghadapi hari akhir (hari perpindahan)

Tentang takwa pula terdapat percakapan indah dua sahabat Umar bin Khattab RA dan Ubay bin Ka’ab ini. Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”

Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa.”

Percakapan yang sarat akan ilmu. Bukan hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi kita yang mengaku manusia bertakwa ini. Menjadi orang bertakwa hakikatnya menjadi orang yang amat berhati-hati. Ia tidak ingin kakinya menginjak duri-duri larangan Allah SWT.

(Kitab Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullahu-).

Maka Bulan Ramadhan melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang bertakwa.

3. Ramadhan adalah Syahrul Ikhlas.

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari bulan Ramadhan, di dalamnya dilatih untuk selalu ikhlas dalam beramal. Yang dimaksud ikhlas adalah memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata. Maka pantaslah Ramadhan disebut Madrasah ikhlas.
Maka Ikhlas dalam beramal merupakan salah satu faktor dimana amal itu diterima oleh Allah,
Para ulama menjelaskan bahwa syarat amal ibadah diterima Allah ada dua,
1. Ikhlas semata mata karena Allah
2. Ittiba’ atau Mengikuti Petunjuk Rasulullah saw.

Hakikat puasa adalah amalan rahasia antara dia dengan Allah, yang mana pahala puasa tidak diketahui seorangpun kecuali Allah swt. Sebagaimana Hadits Nabi Riwayat Abu Hurairah ra, beliau bersabda,

كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به » [رواه الإمام البخاري في صحيحه)

“Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung ”. (HR Bukhari dalam Shahihnya: 7/226)

Maka puasa melatih diri untuk selalu ikhlas dalam beribadah hanya karena Allah, ia rela meninggalkan makan, minum dan syahwatnya semata mata ingin meraih ridho dan maghfirah Allah swt.

4. Ramadhan adalah Syahru As-Shabr.

Ramadhan melatih diri kita menjadi pribadi yang sabar. Sabar merupakan salah satu sifat orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sabar merupakan kunci kesuksesan seorang mukmin dalam mengarungi kehidupan. Secara langsung, puasa mengajarkan dan melatih kita bersabar. Bersabar untuk menahan lapar dan dahaga dari waktu fajar hingga terbenamnya matahari; sabar menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang membatalkan puasa; sabar dalam menjaga lisan dan menahan diri dari perbuatan yang sia-sia. Dengan demikian, puasa secara garis besar melatih seorang Muslim untuk bersabar dalam segala hal. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW, “Puasa itu separuh sabar.” (HR. Ibnu Majah)

Sabar bukanlah hal yang mudah, oleh karena itulah Allah menyediakan pahala yang tak terbatas bagi hamba hamba Nya yang senantiasa bersabar.
Firman Allah,

(قُلۡ یَـٰعِبَادِ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمۡۚ لِلَّذِینَ أَحۡسَنُوا۟ فِی هَـٰذِهِ ٱلدُّنۡیَا حَسَنَةࣱۗ وَأَرۡضُ ٱللَّهِ وَ ٰ⁠سِعَةٌۗ إِنَّمَا یُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَیۡرِ حِسَابࣲ)

Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.
[Surat Az-Zumar 10]

Nah, para ulama membagi sabar itu ada tiga macam yaitu:

a- Sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah,
b- Sabar dalam meninggalkan yang haram dan
c- Sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan.

Ketiga macam bentuk sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan puasa. Dalam puasa tentu saja di dalamnya ada bentuk melakukan ketaatan, menjauhi hal-hal yang diharamkan, juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa amalan puasa bisa meraih pahala tak terhingga sebagaimana sabar. (Lihat Lathoiful Ma’arif karya Ibnu Rajab, hal. 268-269)

5. Ramadhan adalah Syahrul Quran.

Ramadhan mengajarkan kita untuk rajin berinteraksi dengan Al Quran, karena Ramadhan adalah bulan Al Quran, dimana Al Quran diturunkan pada bulan suci tersebut, Sebagaimana firman Allah,

(شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ )

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)
[Surat Al-Baqarah 185]

Al-Qur’an merupakan sumber kemuliaan dan kekuatan bagi umat Islam. Melalui Al-Qur’anlah manusia mendapatkan kemuliaannya dan menemukan kebahagiaannya; baik di dunia maupun di akhirat. Adapun bentuk kemuliaan yang terpancar dari Al-Qur’an sangatlah jelas; karena ia sebagai kitab yang disucikan dan kitab yang dimuliakan, seperti yang disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya : “Dan demi Al-Qur’an yang Mulia,” (QS. Qaf:1),

Oleh karena Segala hal yang bersinggungan dengan Al Quran pasti akan memperoleh kemuliaan.

Kita bisa lihat Rangkaian kemuliaan yang terpancar dari Al-Qur’an itu sendiri dapat kita lihat melalui beberapa hal berikut;

a. Bahwa Zat yang menurunkan Al-Qur’an adalah Zat yang Karim, Zat yang Mulia yaitu Allah SWT;

b. Manusia pertama yang menerima Al-Qur’an adalah sosok paling mulia, dijuluki sayyidul anbiya wal mursalin (penghulu para nabi dan Rasul), bahkan beliau juga sebagai manusia yang paling mulia dari para nabi dan rasul serta seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini sehingga wajar beliau mendapatkan predikat khairul basyar (sebaik-baik manusia) yaitu Nabi Muhammad saw;

c. Tempat diturunkannya Al-Qur’an adalah tempat yang paling mulia di muka bumi ini, yang diberi julukan sebagai tanah haram (tanah yang disucikan), dan sebagai ummul qura (yaitu Makkah Al-Mukarramah.

d. Bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an adalah bulan yang paling mulia; yaitu bulan Ramadhan yang memiliki julukan sayyidus syuhur (penghulu bulan)

e. Malam diturunkannya Al-Qur’an juga merupakan malam yang paling mulia disisi Allah SWT yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan) seperti yang disebutkan dalam surat Al-Qadar: ayat 1-5; yaitu kemuliaan dan lailatul mubarakah (malam penuh keberkahan) seperti yang difirmankan Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3, dan menjadi malam yang sangat mulia yang disebut dengan lailatul qadar (malam kemuliaan) dan malam seribu bulan.

f. setiap hamba Allah banyak berinteraksi dengan Al-Qur’an; baik dengan membaca, memahami, menyimak, mentadabburi, menghafal dan mengamalkan kandungan isi Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, serta mengajarkannya kepada orang lain akan meraih kemuliaan yaitu menjadi Khairun Nas (Manusia terbaik).
Sebagaimana sabda Rasulullah saw bersabda:

خيركم من تعلم القرآن وعلمه

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mau belajar Al-Qur’an dan mau mengajarkannya”.(HR Bukhari)

Maka agar kita meraih kemuliaan dan keutamaan yang banyak dari Allah mari kita perbanyak interaksi dengan Al Quran, khususnya di bulan Ramadhan ini.
Maka Ramadhan mendidik kita di bulan suci ini agar kita menjadi Ahlul Quran.
Semoga Allah swt menjadikan diri kita, keluarga kita, masyarakat kita sebagai pribadi yang Qurani, Sehingga dapat memberikan manfaat dimanapun dan kapanpun kita berada.

Cibubur, Ahad 3 Mei 2020

Keutamaan Memberi Makan Orang Yang Berbuka Puasa

oleh : Kholid Mirbah, Lc

Sifat dermawan adalah salah satu sifat terpuji, ia merupakan salah satu sifat yang dapat mengundang kecintaan Allah dan Rasul-Nya yang merupakan salah satu sebab pemilik nya meraih segala kemudahan di dalam sendi Kehidupan, mudah rizkinya, mudah meraih kesembuhan, mudah meraih jalan keluar dalam menghadapi persoalan hidup.
Sebaliknya sifat kikir dan pelit dalam kebaikan adalah sifat yang mendatangkan kebencian dari Allah dan Rasul-Nya, menyumbat aliran rizki serta dapat memutuskan rantai keberkahan yang Allah turunkan untuknya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من يوم يصبح العباد فيه إلا ملكان ينزلان فيقول أحدهما اللهم أعط منفقا خلفا ويقول الآخر اللهم أعط ممسكا تلفا

Artinya: “Tidak satu hari pun dimana seorang hamba berada padanya kecuali dua Malaikat turun kepadanya. Salah satu di antara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang kikir.” (H.R. Bukhari).

Ketika berbicara tentang kedermawanan Nabi saw, sahabat Anas ra pernah bercerita,

مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الإسْلامِ شَيْئًا إلا أعْطَاهُ. قَالَ: فَجَاءَه رَجُلٌ (وفي رواية : سأل النبي صلى الله عليه وسلم غنما بين جبلين) فَأعْطَاهُ غَنمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَرَجَعَ إلَى قَوْمِهِ، فَقَالَ: يَاقَوْمِ، أسْلِمُوا، فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِى عَطَاءً لا يَخْشَى الْفَقر،وإنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيُسْلِمُ مَا يُرِيدُ إلا الدُّنْيَا، فَمَا يُسْلِمُ حَتَّى يَكُونَ الإسْلامُ أحبَّ إلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diminta sesuatu –demi untuk masuk Islam- kecuali Rasulullah berikan. Maka datang seseorang (dalam riwayat yang lain : Orang ini meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kambing sepenuh lembah diantara dua gunung) maka Nabi memberikan kepadanya kambing sepenuh lembah, lalu iapun kembali kepada kaumnya dan berkata, “Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad memberi pemberian tanpa takut kemiskinan sama sekali, Sungguh seseorang masuk Islam tujuannya hanyalah untuk mendapat harta duniawi, maka tidaklah ia masuk Islam hingga akhirnya Islam lebih ia cintai daripada dunia dan seisinya” (HR. Muslim).

Begitu pula para Sahabat Nabi saw, meskipun mereka mendapatkan jaminan surga, mereka adalah generasi terdepan di dalam kebaikan terutama dalam memiliki Sifat kedermawanan.

Dikisahkan bahwa Thalhah bin Ubaidillah menceritakan suatu hari datang pembagian harta dari Hadhramaut sebesar 700 ribu dirham (senilai 70.000 dinar/29,75 Kg emas). Malam itu, Thalhah tidak bisa tidur karena gelisah. Melihat kondisi Thalhah, sang istri Ummu Kultsum binti Abu Bakar Al-Shiddiq bertanya, “Ada apa denganmu?”

“Sejak tadi malam aku berpikir dan berkata kepada diriku sendiri. Apa pikiran hamba kepada Tuhannya, jika malam ini dia tidur dengan harta sebanyak ini ada di rumahnya? Jawab Thalhah.

“Bukankah engkau memiliki banyak saudara. Jika pagi telah terbit, letakkan harta tersebut di atas nampan dan wadah, lalu bagikan,” kata sang istri memberikan jalan ke luar.
“Engkau benar, Muwafiqah binti Muwafiq, semoga Allah merahmatimu.”
Maka ketika pagi menjelang, Thalhah pun membagi-bagikan harta tersebut kepada kaum Muhajirin dan Anshar.
Subhanallah begitu luar biasa para Sahabat Nabi saw, ketika mereka mendapatkan kelebihan harta, mereka tidak memperkaya diri sendiri, justru mereka ingat bahwa dalam harta mereka terdapat hak bagi yang membutuhkan untuk di salurkan.

Khususnya bulan Ramadhan ini kita dianjurkan untuk menjadi pribadi yang dermawan, dan diantara bentuk dari sifat kedermawanan adalah memperbanyak Sedekah makanan bagi orang orang yang buka puasa.

Begitu banyak pintu-pintu kebaikan di bulan Ramadhan, dan tidak ada sedekah terbaik yang lebih agung dibulan suci ini selain memberi makan orang yang berbuka puasa, khusunya bagi kalangan fakir dan orang-orang yang membutuhkan. Oleh karenanya, Allah swt memotivasi kita untuk memperbanyak panen kebaikan dengan cara banyak bersedekah di bulan Ramadhan, karena diantara karakteristik bulan ini adalah bulan cinta dan kasih sayang.
Mengenai keutamaan memberi makanan berbuka puasa Rasulullah saw bersabda :

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا) . صححه الألباني في صحيح الترمذي .

“Siapa yang memberi makan berbuka kepada orang yang sedang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikitpun juga.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)

Hadits ini berlaku umum, baik yang berpuasa itu orang kaya atau miskin, termasuk apakah dia kerabat atau selainnya.(Faidhul Qadir, Al-Munawi, penjelasan hadits no. 8890.)

Dan memang memberi makan kepada pihak yang membutuhkan memiliki kedudukan yang tinggi di dalam islam. Allah menjadikan amalan memberi makan merupakan salah satu cara penebusan kaffarat dan bentuk pembayaran fidyah, maka orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, Orang yang berusia lanjut yang tidak mampu berpuasa maka ia wajib membayar fidyah dengan cara memberi makan orang miskin disetiap harinya. Sebagai mana firman Allah :

وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Al Baqarah 184).

Begitu pula melakukan hubungan intim suami istri di siang hari bulan Ramadhan, maka pelakunya wajib membayar kaffarat dengan cara memberi makan 60 orang miskin jika ia tak mampu menebus nya dengan puasa dua bulan berturut-turut, dan juga kaffarat sumpah palsu diantara bentuk tebusan nya adalah memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian untuk mereka.
Bahkan memberi makan kepada orang lain salah satu amalan yang memudahkan seseorang masuk ke dalam surga. Nabi Saw bersabda :

يا أيها الناس أفشوا السلام أطعموا الطعام وصلوا الأرحام وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام

Wahai manusia, tebarkalah salam, dan berikanlah makan, sambung tali Rahim, sholat malamlah ketika manusia tidur, maka engkau pun kan masuk surge dengan keselamatan (HR. Tirmidzi)

Dan diantara keutamaan memberi makan orang lain adalah bahwa ia termasuk amalan yang paling dicintai Allah swt. Nabi Saw bersabda :

عن عبد الله بن عمرو أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم : أي الإسلام خير ؟ قال : ” تطعم الطعام وتقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف ” .

Artinya: Dari Abdullah bin Amr, bahwa seorang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Islam yang bagaimana yang lebih utama? Maka beliau menjawab, “Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal. (HR. Bukhari).

Dan yang paling penting diantara keutamaan memberi makan kepada orang lain adalah memperoleh keselamatan dari malapetaka di hari kiamat. Allah swt ingatkan hal tersebut di dalam Al-Quran.

(وَیُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِینࣰا وَیَتِیمࣰا وَأَسِیرًا إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِیدُ مِنكُمۡ جَزَاۤءࣰ وَلَا شُكُورًا إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا یَوۡمًا عَبُوسࣰا قَمۡطَرِیرࣰا فَوَقَاهُمُ ٱللَّهُ شَرَّ ذَ ٰ⁠لِكَ ٱلۡیَوۡمِ وَلَقَّاهُمۡ نَضۡرَةࣰ وَسُرُورࣰا)

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan,(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.
Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan.” (Surat Al-Insan 8-11)

Dan diantara potret kehidupan Salafus Shalih di dalam kebaikan adalah mereka generasi yang bersemangat di dalam memberi sedekah makanan kepada orang lain, khususnya di bulan suci ramadhan, bahkan diantara mereka ada yang mendahulukan kebutuhan makanan saudaranya dibanding kebutuhan makanan pribadinya sendiri, padahal ia sendiri sangat membutuhkan nya, mereka lakukan hal itu semata mata mengharap ridho dan pahala dari Allah swt.

Diantara mereka adalah Abdullah ibnu Umar, Malik bin Dinar, Ahmad bin Hanbal, bahkan Ibnu Umar ra tidaklah mau berbuka kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin bahkan bisa jadi tak mau berbuka jika keluarganya menolak mereka pada malam itu. (Ibnu Rajab dalam kitab Ikhtiyarul Aula fi syarhi haditsi ikhtishamil mala’il a’la, 78)

Diantara mereka ada yang ada yang berbuka bersama pembantu pembantu mereka dan memberikan keringanan beban pekerjaan kepada mereka khusus di bulan Ramadhan, diantara nya adalah Hasan dan Abdullah Ibnu Mubarak. (Tadzkirotul Ikhwan bi Hadyi an-Nabi saw was Salaf fi Ramadhan, 21).

Abu Siwar Al Adawi berkata : Ada beberapa orang dari bani Adi yang sholat di masjid, salah seorang dari mereka tidak mau berbuka sendirian, kecuali ia berbuka bersama orang lain, atau ia orang lain berbuka bersamanya. (Ibnu Rajab, Ikhtiyar Aula fi syarhi haditsi ikhtishamil mala’il a’la, 79)

Yunus bin Yazid berkata : Dulu Ibnu Shihab Az-Zuhri ketika tiba bulan Ramadhan maka aktivitasnya hanya membaca Al-Quran dan memberi makan orang berbuka. (Ibnu Abdil Bar dalam kitab At-tamhid, 6/111)

Dulu Imam Hammad bin Sulaiman (Guru Abu Hanifah) biasa memberikan makanan iftar dibulan Ramadhan sebanyak 500 orang, dan ketika tiba hari raya idul fitri beliau memberi sedekah setiap dari mereka sebanyak 100 dirham. (Siyar alam Nubala 5/334)

Dan perlu diingat bahwa sedekah yang kita keluarkan tadi tidak akan mengurangi harta kita, bahkan diganti Allah dengan harta dan pahala yang berlipat ganda, karena
terkadang Allah membuka pintu rizki yang luas dari harta yang disedekahkan. Sebagaimana terdapat dalam hadits,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim).

Maksud hadits di atas sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah:

1) Harta tersebut akan diberkahi dan akan dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan secara inderawi dan kebiasaan.

2) Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang amat banyak. (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).

Mudah-mudahan kita diberikan kemudahan oleh Allah swt untuk mendermakan sebagian harta kita dibulan Ramadhan, khususnya dalam memberikan sedekah makanan bagi orang yang sedang berbuka, dengan harapan kita pahala dan surga di sisi Allah swt.

Cibubur, 1 Mei 2020

Ramadhan-Quran

Keadaan Salafus Shalih Di Bulan Ramadhan

Oleh Al Ustadz Khalid, Lc Hafidzahullah.

Allah swt memberikan banyak sekali keutamaan dan kebaikan di bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan adalah bulan taubat, pengampunan, penyucian jiwa, penghapusan dosa dan kesalahan, pembebasan dari siksaan neraka, terbukanya pintu-pintu surga, tertutupnya pintu-pintu neraka, terbelenggunya setan, terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu malam, bulan penuh dengan kebaikan, kedermawanan dan doa doa yang terkabul.

Oleh karena itu, para salafus shalih tidak menyia-nyiakan musim kebaikan tersebut, sehingga mereka berlomba lomba beribadah dan bersungguh sungguh dalam beramal shalih dalam rangka untuk meraih ridho dan pahala dari Allah swt.

Sebelum kita membahas tentang keadaan salafus shalih di bulan Ramadhan maka alangkah baiknya kita terlebih dahulu menilik keadaan Qudwah kita dan Qudwah Salaf Shalih yaitu Baginda kita Nabi Muhammad saw di bulan Ramadhan. Al Imam Ibnu Qayyim berkata “Diantara sebagian petunjuk Nabi saw di bulan Ramadhan adalah memperbanyak variasi ibadah, dulunya Jibril as gemar mengajari Nabi saw Al Quran dibulan Ramadhan, dan Jibril mendapati Nabi saw lebih dermawan dari angin yang berhembus, beliau adalah sosok yang paling dermawan dibanding yang lain, terlebih lagi di bulan Ramadhan, beliau memperbanyak Sedekah, berbuat baik, membaca Al – Quran, shalat, zikir dan I’tikaf, beliau sangat mengistimewakan bulan Ramadhan dengan semangat ibadah dibanding bulan bulan yang lain, sehingga tidak terlewatkan sedetikpun waktu siang dan malam beliau kecuali diisi dengan ibadah (Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Juz 2/30).

Salafus Shalih kita begitu sangat memperhatikan bulan Ramadhan, mereka bersungguh sungguh untuk mengisi hari hari mereka dengan berbagai ketaatan dan amal shalih. Mereka adalah generasi terdepan didalam kebaikan, terdepan dalam bertaubat kepada Allah swt.

Nah, Bagaimana kesungguhan Salafus Shalih dalam aktivitas ibadah di bulan Ramadhan?

1. Salafus Shalih bersama Al -Quran di bulan Ramadhan.

Kita telah dapati pemandangan yang sangat menakjubkan bagaimana interaksi mereka terhadap Al Quran selama bulan Ramadhan, mereka adalah sosok yang menaruh perhatian yang besar terhadap Al Quran Khusus nya dibulan Ramadhan.
Lihatlah Imam Bukhari ra ketika tiba malam pertama bulan Ramadhan, beliau menjadi Imam shalat bersama Sahabat-sahabat nya, lalu beliau membaca 20 ayat disetiap Rakaat nya sampai mengkhatamkan Al-Quran. Beliau membaca Al Quran di waktu Sahur antara sepertiga sampai setengah Al Quran, sampai beliau menghatamkannya ketika datang waktu berbuka disetiap harinya. Lalu beliau berkata : Setiap selesai Khataman Al Quran terdapat doa yang mustajab (Sifatus Shafwah Juz 4/170).

Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i Menghatamkan Al Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 Kali selain yang beliau baca dalam shalatnya. Sebagaimana hal itu disampaikan imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman (Sifatus Shafwah Juz 2/255).

Terkadang kita mendapati kerancuan karena adanya riwayat dari Nabi tentang larangan bagi orang yang mengkhatamkan Al Quran kurang dari 3 hari, Kenapa mereka malah menyelisihi larangan tersebut?

Maka Ibnu Rajab Al Hanbali menjawab bahwa larangan tersebut berlaku apabila dilakukan terus menerus, adapun di waktu waktu yang agung seperti bulan Ramadhan terkhusus malam 10 terakhir ramadhan yang didalamnya terdapat malam Lailatul Qadar atau di tempat tempat yang agung seperti memasuki kota makkah maka ini sangat dianjurkan memperbanyak khataman Al Quran sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu dan tempat yang suci tersebut.

2. Salafus Shalih ketika menghidupkan Qiyam Ramadhan.

Qiyamul lail adalah tradisi orang-orang shalih, perniagaan orang-orang beriman dan amalan orang-orang yang beruntung. Di malam hari seorang mukmin berkhalwat bersama Tuhannya, berdoa, bermunajat serta mengadukan permasalahan hidup kepada sang Khaliq.

Al-hafidz Imam Az Zahabi bercerita tentang Muhammad Al Labban :
“Beliau pernah mendapati bulan Ramadhan di tahun 427 H di Baghdad, beliau sholat tarawikh bersama orang-orang dalam setiap malamnya selama sebulan penuh. Dan beliau jika sudah selesai sholat, maka senantiasa beliau sholat hingga waktu subuh. Jika sudah sholat subuh, maka beliau melanjutkannya dengan membuka majlis bersama sahabat-sahabatnya. Beliau pernah berkata, “ Aku tidak pernah meletakkan pinggangku untuk tidur selama sebulan ini baik siang atau pun malam “.[Tarikh al-Islam : juz 1/3145].

Diriwayatkan oleh Saib bin Yazid bahwasanya Khalifah Umar bin Khattab ra memerintahkan Ubay bi Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk membangunkan orang-orang supaya Qiyam Ramadhan, lalu sang Imam pun membaca surat surat miun (yang ayatnya berjumlah 100 lebih), sampai saking letihnya kami dari lamanya berdiri, kamipun sampai berpegangan tongkat, kamipun baru selesai darinya ketika menjelang subuh (Riwayat Imam Baihaqi dalam Sunan-nya).

Diriwayatkan dari Malik dari Abdullah bin Abu Bakar berkata, bahwasanya aku mendengar ayahku berkata : Kami selesai menunaikan Qiyam Ramadhan, maka pembantu kami tergesa gesa memasakkan kami makanan khawatir tiba waktu subuh. (Al- Muwatta’ karya imam Malik).

Diriwayatkan oleh Daud bin Hushain dari Abdurrahman bin Hurmuz, beliau berkata : Imam shalat Kami Mengimami kami 8 rakaat dengan membaca surat Al Baqarah, ketika ia mengimami kami 12 rakaat dengan bacaan yang sama, maka orang-orang menganggap bahwa sang Imam meringankan beban mereka.(Riwayat Imam Baihaqi dalam Sunannya).

Oleh karena itu mari kita pergunakan kesempatan bulan Ramadhan ini untuk menuai pahala sebanyak-banyak nya dengan kesungguhan ibadah dan memperbanyak amal shalih jangan sampai kita sia-siakan kesempatan emas ini karena belum tentu kita bisa bertemu ramadhan tahun depan, bahkan bisa jadi ini bulan Ramadhan terakhir kita, makanya Al Imam Ibnu Qayyim mengingatkan betapa bahayanya perbuatan menyia-nyiakan waktu

إضاعة الوقت أشد من الموت لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها

Menyia-nyiakan waktu itu lebih dahsyat dari kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutuskan mu dari Allah dan negeri akhirat sedangkan kematian hanya memutuskan mu dari dunia dan penghuninya.

Semoga Allah menerima seluruh ibadah yang kita tunaikan selama Ramadhan ini dan mudah-mudahan Allah swt jadikan bulan Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan terbaik dalam hidup kita

Teladan Generasi Hebat Dalam Membaca Al Quran

Alquran memiliki hubungan erat dengan bulan suci Ramadhan karena Alquran pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan (QS al-Baqarah: 185). Keutamaan suatu hari atau bulan biasanya disebabkan adanya peristiwa yang terjadi pada hari atau bulan tersebut.

Oleh sebab itu, Rasulullah lebih sering dan lebih banyak membaca Alquran pada bulan ini dibandingkan bulan-bulan lainnya. Bahkan, Malaikat Jibril pun turun langsung untuk me-murajaah atau mengecek bacaan Alquran beliau.

Imam Azzuhri mengatakan, “Amalan yang afdhal pada bulan Ramadhan setelah amalan puasa adalah tilawatul Quran.” Atas dasar hubungan inilah, umat Islam sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang mengkhususkan sebagian besar waktunya pada Ramadhan untuk tilawatul Quran.

Utsman bin Affan radiyallahuanhu mengkhatamkan Alquran setiap hari, sebagian sahabat lainnya mengkhatamkannya dalam tiga hari. Ada yang mengkhatamkannya setiap 10 hari sekali. Qatadah selalu, mengkhatamkannya dalam sepekan selama Ramadhan setiap tahun.

Imam Syafii mengkhatamkannya 60 kali selama Ramadhan, selain bacaan dalam shalat. Imam Malik kalau sudah memasuki bulan Ramadhan meninggalkan membaca hadis dan mengkhususkan untuk memperbanyak tilawatul Quran.
Demikian juga Sufyan ats-Tsauri mengkhususkan membaca Alquran dan mengurangi ibadah-ibadah sunah lainnya.

Maka moment Ramadhan hendaknya mari kita jadikan sebagai Syahrul Quran, kita perbanyak berinteraksi dengan Al Quran di dalamnya agar predikat ketaqwaan mudah kita raih.

Dan ini sebagian potret kegiatan santri kami di Ma’had Al Itqan Islamic Boarding School, meski sedang menjalani masa liburan, Santri kami Abdullah Al Harits (Fajar Munawwar) sedang terlihat asik membaca dan menghayati untaian demi untaian kalam ilahi bersama kawan kawan nya di masjid di kampung halamannya, terdengar lirih merdu lantunan ayat Al-quran yang dibaca. Mudah mudahan kita dan keluarga kita, Allah jadikan sebagai Hamba hamba-Nya yang selalu dekat dengan Al Quran dengan harapan meraih syafaat-Nya pada hari kiamat nanti.

 

Oleh: Ust Khalid Mirbah, Lc

Menunggu Anak Bulan Ramadhan Lahir

Suhu panas sudah mulai terasa, bau – bau musim panas sudah pun mulai terendus dari teriknya cahaya matahari yang setiap hari menguras keringat badan, sebagai tanda musim panas akan segera tiba, sekaligus memberi isyarat Ramadhan akan datang, secara lafziyah Ramadhan berarti pula Panas yang menyengat, menggugurkan dan menghilangkan dosa.

Detik – detik menegangkan itu kelihatannya akan segera dirasakan banyak orang, bahkan sebahagian orang jauh – jauh hari sudah mulai persiapan, untuk menunggu detik – detik bulan melahirkan anaknya yang kian dinantikan kaum muslimin seluruh dunia, sebagian orang telah standby mengamati dari berbagai tempat, dari bukit yang tinggi hingga tepi laut sudah siaga dengan berbagai alat yang cukup canggih, benar – benar kelahiran yang sangat istimewa, kelahiran yang dapat merubah keadaan masyarakat dunia, berikut pula lahir dan batin manusia.

Bahagianya hati tidak tertahankan begitu anak bulan yang mungil nampak jauh di ufuk itu dikabarkan telah benar – benar lahir, beragam ekspresi manusia dalam menunjukkan kebahagiaan itu, dengan sujud syukur, syukran keluarga dengan makan bersama, hingga bakar mercon dan kembang api, namun bila berlebihan hingga mubadzir tentu lah tidak dianjurkan.

Nabi Shallahu alaihi wasallam memberi kabar gembira ini kepada para sahabatnya bila bulan Ramadhan telah tiba

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi. (HR Ahmad dalam Al-Musnad (2/385). Dinilai shahih oleh Al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad (8991).

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,
“Bagaimana tidak gembira? seorang mukmin diberi kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga. Tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadhan). Latha’if Al-Ma’arif hlm. 148.

Kebahagiaan kali bukan karena urusan dunia yang hendak dicapai atau keuntungan yang diharapkan melainkan janji pahala berlipat ganda berikut ampunan untuk sekian tumpukan dosa yang telah menggunung pun akan diampunkan, inilah janji Allah untuk mereka yang berpuasa dan beribadah di bulan Ramadhan.

Dalam sebuah Hadits Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ: يَقُولُ الله عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ ، وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ الله مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Al – Bukhari dan Muslim).

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah di Lathaif Al-Ma’arif mengatakan, “Sebagaimana pahala amalan puasa akan berlipat-lipat dibanding amalan lainnya, maka puasa di bulan Ramadhan lebih berlipat pahalanya dibanding puasa di bulan lainnya. Ini semua bisa terjadi karena mulianya bulan Ramadhan dan puasa yang dilakukan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah pada hamba-Nya. Allah pun menjadikan puasa di bulan Ramadhan sebagai bagian dari rukun Islam, tiang penegak Islam”.

Rasa bahagia dengan syarat Allah ini semoga menjadi salah satu bukti kebenaran iman kita kepada Allah, semoga Allah memberikan kesempatan bagi kita semuanya untuk bertemu dengan bulan Ramadhan, serta memberikan kemudahan untuk beribadah kepadaNya, barakallahu fiekum.

Penolakan Pasien dan Korban Virus Corona, Grand Syekh Al-Azhar: Haram Menurut Syariat

Siapa yang tidak ingin ketika meninggal, jasadnya diurus dengan sebaik-baiknya oleh orang sekitar? Semua pasti memimpikan hal tersebut, bukan? Manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain. Bahkan ketika mati sekalipun, setidaknya kita membutuhkan satu dua orang untuk memandikan, menshalati, memikul, menggali kubur, sampai menguburkan jasad kita.

Karena sampai saat ini, belum ada satupun kasus mayit melakukan semua hal tersebut sendiri, dan tidak akan pernah terjadi.
Semakin bertambahnya jumlah orang yang terjangkit dan banyaknya jiwa yang berguguran, membuat sebagian orang panik dan merugikan sekitar. Tidak hanya panic buying dan pengusiran tim medis Corona saja yang terjadi. Kabar kurang sedap lain juga sedang beredar belakangan ini. Tidak hanya di Indonesia, di Mesir pun hal tersebut terjadi, tepatnya di Timur Laut Delta Nil, Ad-Daqahliyah. Kabar yang dimaksud adalah kabar penolakan pemakaman pasien terinveksi virus Corona atau Covid 19 oleh masyarakatnya sendiri. Bentrokan pun tidak dapat dihindari, hingga kemudian berujung kepada penahanan.

Merespon hal tersebut, para ulama pun turut bersuara, di antaranya adalah Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Prof. Dr. Ahmad Muhammad Ahmad At-Thayyib. Seperti yang dimuat youm7 pada tanggal 12 April 2020, di antara pernyataan beliau adalah, “Menolak memakamkan atau mengejek orang yang meninggal karena Corona hukumnya haram menurut syariat.” Selain haram menurut syariat, beliau juga menegaskan bahwa hal tersebut merupakan seburuk-buruknya akhlak. “Tidak boleh hukumnya baik secara syar’i maupun kehormatan, seseorang mengejek dan merendahkan orang lain yang terjangkit wabah ini atau mati karenanya,” tegasnya.

Selain grand Syekh Al-Azhar, Mufti Besar Lembaga Fatwa Mesir (دار اللإفتاء المصرية), Syekh Prof. Dr. Syauqi Abdul Karim ‘Allam juga mengeluarkan fatwa yang serupa dan dimuat di Facebook resmi darul ifta’ pada tanggal 11 April 2020, yang inti dari fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Allah ta’ala memuliakan seluruh manusia. Penghormatan ini Allah ta’ala berikan kepada manusia bahkan sampai setelah kematiannya. Tidak ada perbedaan antara muslim atau yang lainnya, antara yang miskin atau yang kaya, antara orang yang sehat atau yang sakit.
2. Di antara bentuk penghormatan yang paling penting kepada manusia setelah ruh keluar dari jasadnya adalah dengan segera memandikannya, menshalatinya, mengantar jenazahnya ke pemakaman lalu menguburkannya. Ini adalah konsesnsus umat Islam sejak zaman nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam sampai hari ini. Imam salaf, Ayyub As-Sakhtiyani rahimahullah mengatakan, “Pemuliaan Mayit adalah dengan menguburkannya.” Hal ini didukung oleh apa yang telah diriwayatkan Al-Baihaqi di dalam Sya’bul Iman, dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu dia telah berkata, aku telah mendengar Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian meninggal, maka janganlah kalian menahannya dan segeralah menguburkannya.”
3. Oleh karena itu, tidak dibolehkan untuk siapapun menghalangi saudaranya sesama manusia untuk mendapatkan hak tersebut.
4. Tidak boleh dengan alasan apapun mem-bully pasien Corona.
5. Tidak boleh melakukan provokasi seperti menolak pemakaman korban virus Corona, di mana penolakan seperti ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai agama dan moral kita.
6. Orang yang meninggal karena virus Corona, dalam agama kita mereka dikatagorikan sebagai mati syahid karena telah merasakan sakit, capek, dan menderita, hingga meninggal dalam keadaan sabar. Terlebih apabila mereka adalah para dokter dan tim medis yang setiap waktunya menghadapi kematian untuk keselamatan orang lain, maka memuliakan dan memenuhi haknya adalah wajib.
7. Wajib kifayah hukumnya atas setiap muslim yang di lingkungannya terdapat korban meninggal dunia karena virus Corona, untuk segera menguburkannya sesuai tuntuna syariat, dengan mengikuti prosedur kesehatan.

Bukan hanya tokoh dan lembaga keagamaan di Mesir saja yang berpandangan demikian. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan pendapat yang serupa. Pernyataan mereka sudah banyak diberitakan dan disebar luaskan media tanah air.

Karenanya, mengejek dan memprovokasi massa untuk menolak dan merendahkan korban corona sama sekali tidak dibenarkan, baik secara syariat maupun akhlak dan moral. Waspada boleh, sangat dianjurkan malah. Tapi tidak dengan panik yang dapat merugikan orang lain. Agama kita indah, sempurna. Mulia dan memuliakan. Semoga Allah ta’ala menjaga kita semua dari wabah ini dan dari penyakit yang lain. Semoga wabah ini segera diangkat, sehingga kita segera dapat kembali menghirup udara segar tanpa rasa khawatir dan beraktifitas seperti biasa. Aamiin.

 

Oleh: Ahmad Ahmad Hakiki

Virus Korona: Siapakah Hari Ini Yang Merasa Aman?

Wahai Ummat Manusia, Siapakah hari ini yang merasa aman?

Mereka yang meyakini bahwa proses alam terjadi secara tabiat, dan tidak meyakini adanya Tuhan, Hari ini, mereka hidup dalam keadaan sangat ketakutan.

Secara tabiat, alam ini menciptakan virus yang mematikan dan menghancurkan (Baca; Corona Virus). Virus tersebut mampu membunuh setiap jiwa-jiwa yang bernapas, dan menghancurkan kehidupan manusia hanya dalam hitungan hari. Pada saat itu pula, kehancuran pasti akan tiba.

Mereka yang meyakini hal demikian adalah termasuk orang-orang yang tidak aman.
Adapun mereka yang meyakini bahwa di balik bencana ini, terdapat suatu oknum yang kejam dan dzalim yang ingin menghancurkan alam semesta ini dengan tujuan tertentu, mereka memiliki kekuasaan di muka bumi ini, dan mereka mampu melakukan apapun untuk memenuhi hawa nafsunya,
Hari ini, mereka hidup dalam  keadaan sangat ketakutan.

Tatkala oknum tersebut mengumumkan, bahwa mereka telah menyebarluaskan virus mematikan, menghancurkan setiap penduduk negeri dan memporak-porandakan setiap bangsa, dengan tujuan menciptakan tatanan dunia baru. Pada saat itu pula, kehancuran pasti akan tiba.

Mereka yang meyakini hal demikian adalah termasuk orang-orang yang tidak aman.
Sedangkan mereka yang meyakini adanya Tuhan, yang menciptakan alam semesta ini, Yang Maha Kuasa dan Maha Segala-galanya. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah baik yang di langit maupun di bumi, ketika Dia berkehendak akan sesuatu, Dia hanya berfirman “Jadilah!”, maka jadilah sesuatu itu. Milik-Nyalah  kunci-kunci perbendaharaan baik di langit maupun di bumi, dan Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, tak ada satupun yang mampu menandingi-Nya.

Mereka yang meyakini hal demikian, dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, Maka ketahuilah, sungguh mereka adalah termasuk orang-orang yang aman.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam surat Al-An’am [6]: 82, yang berbunyi,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”

*Penerjemah: Muhammad Munib,
Mahasiswa Al Azhar, Kairo

Dari status bahasa Arab “Muhammad Nedhal”.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?”       (Q.S. Fushilat : 33)

Mailing form

    Kontak Kami

    Jl. Kranggan Wetan No.11, RT.1/RW.5, Jatirangga, Jatisampurna, Kota Bks, Jawa Barat 17434

    0852-1510-0250

    info@tanmia.or.id

    × Ahlan, Selamat Datang!