Bodohnya Manusia Dalam Tinjauan Surat Al Ahzab

Oleh : Kholid Mirbah, Lc

Al Quran hadir dalam kehidupan manusia diantara tujuannya adalah melahirkan masyarakat yang cerdas dan berperadaban, dan diantara caranya adalah menghilangkan kebodohan, maka mempelajari ilmu pengetahuan merupakan sebuah kewajiban yang mendapatkan kedudukan yang tinggi di dalam islam.
Allah mengingatkan kita dalam al- Qur’an jangan melakukan pemborosan potensi, oleh karenanya, kita tidak diperkenankan bertanya sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, pertanyaan tersebut diantaranya adalah seputar hari kiamat, karena yang tau jawabannya adalah hanya Allah swt. Maka bertanya seperti itu pada hakikatnya adalah pemborosan.
Sebagaimana Allah berfirman,

(یَسۡـَٔلُكَ ٱلنَّاسُ عَنِ ٱلسَّاعَةِۖ قُلۡ إِنَّمَا عِلۡمُهَا عِندَ ٱللَّهِۚ وَمَا یُدۡرِیكَ لَعَلَّ ٱلسَّاعَةَ تَكُونُ قَرِیبًا)

Manusia bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat. Katakanlah, “Ilmu tentang hari Kiamat itu hanya di sisi Allah.” Dan tahukah engkau, boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat waktunya.
[Surat Al-Ahzab 63]

Di dalam tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa manusia bertanya kepadamu (wahai Rasul) kapan datangnya Kiamat, sebagai wujud pendustaan dan pengingkaran. Katakanlah kepada mereka, “Ilmu tentang Kiamat hanyalah di sisi Allah.” siapa tahu (wahai Rasul) bahwa waktu terjadinya Kiamat itu sudah dekat saatnya?
(Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia)

Mari kita kupas sebagian lafadz di dalam ayat tersebut,
Pertama kata An-Naas, Allah tidak menggunakan redasi Al-Mu’minun atau Alladzina Amanu, hal itu memberikan pemahaman kepada kita bahwa manusia dengan tabiat kemanusiaan saja itu tidak akan cerdas, makanya pasti dia terjatuh kebodohan, jangankan kita, para Nabi dan Rasul saja juga tidak mengetahui tentang kapan terjadinya hari kiamat, makanya dalam dialog panjang antara Nabi dengan Malaikat Jibril as, ketika Nabi ditanya oleh Jibril as tentang kapan terjadinya hari kiamat, Nabi saw bersabda,

( ما المسؤول عنها بأعلم من السائل… )

“Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya….” (HR. Muslim)

Maka yang menjadi tanggungjawab kita adalah kesiapan kita menghadapi hari kiamat dengan bekal iman dan amal shalih, bukan tentang waktu terjadinya hari kiamat, karena itu adalah urusan Allah, kita tidak akan ditanyai tentang hal tersebut pada yaumul Hisab nanti, Bahkan kalau kita amati begitu manusia itu meninggal dunia sesungguhnya telah tiba hari kiamatnya, makanya Allah katakan kiamat itu dekat, bahkan sangat dekat dengan kehidupan kita. Jangan sampai ada yang mengkiritisi kata nya kiamat dekat kok sampai sekarang belum terjadi, ini pertanda kalau dia tidak faham hakikat kiamat.

Nah, para pembaca yang budiman Potensi manusia berupa akal, perasaan, hati, anggota badan harus digunakan untuk memproduksi kebaikan demi kebaikan. Jangan sampai terjebak pada rekreasi intelektual yang mandul, yaitu yang tidak melahirkan produktivitas kerja. Maka para ulama mengatakan dilarang bertanya yang tidak ada kaitannya dengan kerja, karena itu pemborosan, karena hakikat pemborosan itu bukan hanya terkait materi seperti harta, tapi program, tenaga, kerangka berfikir dan juga pertanyaan yang tidak bisa dilogika itu juga bagian pemborosan. Maka Allah melarang segala bentuk pemborosan, karena orang-orang yang boros itu dipersaudarakan dengan setan, firman Allah swt,

(إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِینَ كَانُوۤا۟ إِخۡوَ ٰ⁠نَ ٱلشَّیَـٰطِینِۖ وَكَانَ ٱلشَّیۡطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورࣰا)

“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
[Surat Al-Isra’ 27]

Bagaimana akhir perjalanan orang orang yang bodoh? Ini ada kaitannya dengan pembuka surat al-Ahzab dan penutupnya, diawal surat Allah menjelaskan larangan praktek tradisi jahiliyah sementara diakhir surat dijelaskan akibat bagi yang masih terjerumus dalam tradisi jahiliyah tersebut, terkadang menurut perspektif manusia menganggap orang yang tidak lulus SD, atau SMP atau yang tidak lulus di perguruan tinggi disebut sebagai jahiliyah, bukan itu definisi jahiliyah dalam islam. Akan tetapi jahiliyah dalam islam adalah kondisi mental seseorang dimana pada kondisi itu dia selalu menolak islam, apapun yang berbau islam ditolak, pendidikan yang berlabel islam ditolak, politik islami ditolak, ekonomi yang berbau islam diprotes, lain sebagainya.
Nah orang seperti itu sudah terjangkit virus jahiliyah.

Nah, bagaimana akhir perjalanan serta akibat yang terjadi pada mereka yang bodoh, yang selalu menentang segala hal yang datang dari islam?
Diantaranya adalah,

1. Allah melaknat mereka.

(إِنَّ ٱللَّهَ لَعَنَ ٱلۡكَـٰفِرِینَ)

“Sungguh, Allah melaknat orang-orang kafir”

[Surat Al-Ahzab 64]
Apa itu laknat? Para ulama tafsir mengatakan bahwa,

اللعنة هو الإبعاد والطرد من رحمة الله

Laknat itu ketika seseorang dijauhkan dari rahmat Allah, maka dalam ayat itu secara tersirat menjelaskan bahwa hakikat orang kafir itu bodoh, meskipun orang kafir dulunya di dunia kaya dan berkuasa, apa gunanya hidup tanpa hidayah nanti di akhirat ia di laknat oleh Allah swt, sehingga tidak mendapatkan ganjaran surga di sisi-Nya.

2. Allah menyediakan bagi mereka neraka Sa’ir, Allah swt berfirman;

(وَأَعَدَّ لَهُمۡ سَعِیرًا)

“Dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)”
[Surat Al-Ahzab 64]

Allah menyediakan mereka neraka Sa’ir, neraka yang sangat panas tidak ada padanya di dunia, dari segi kualitas dan lamanya karena satu hari di neraka sama saja 1000 tahun di dunia.
Firman Allah,

(وَیَسۡتَعۡجِلُونَكَ بِٱلۡعَذَابِ وَلَن یُخۡلِفَ ٱللَّهُ وَعۡدَهُۥۚ وَإِنَّ یَوۡمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلۡفِ سَنَةࣲ مِّمَّا تَعُدُّونَ)

“Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar azab itu disegerakan, padahal Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”
[Surat Al-Hajj 47]

3. Orang yang bodoh, diakhirat nanti tidak ada (wali) pelindung dan (nashir) penolong, sehingga ketika mereka disiksa selama-lamanya di akhirat tidak ada kekuatan yang mampu melindungi mereka, kemudian muka mereka akan di jungkir-balikkan sembari terpanggang dalam panasnya api neraka, padahal muka itu merupakan simbol kehormatan manusia, karena itulah dalam dunia pendidikan akademik kita tidak boleh memukul muka karena ia bagian anggota tubuh yang paling dihormati namun orang kafir yang sewaktu di dunia walaupun wajahnya ganteng dan cantik karena menolak kebenaran islam, di akhirat nanti wajah mereka akan hancur terpanggang dalam panasnya api neraka, Allah berfirman,

(خَـٰلِدِینَ فِیهَاۤ أَبَدࣰاۖ لَّا یَجِدُونَ وَلِیࣰّا وَلَا نَصِیرࣰا ۝ یَوۡمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمۡ فِی ٱلنَّارِ یَقُولُونَ یَـٰلَیۡتَنَاۤ أَطَعۡنَا ٱللَّهَ وَأَطَعۡنَا ٱلرَّسُولَا۠)

“Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong. Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.”
[Surat Al-Ahzab 65 – 66]

Nah, Para pembaca yang budiman, Kita tahu seluruh tubuh kita sakit ketika terkena sengatan api, terlebih lagi api neraka, tetapi kenapa yang disebut muka? Ini memberikan pemahaman kepada kita betapa hinanya orang yang suka menolak islam, karena muka adalah lambang kehormatan, kalau muka saja di siksa apalagi anggota tubuh yang lainnya. Dalam ayat ini juga terdapat isyarat tafsir ilmi, bahwa meskipun kulit kita akan terasa sakit jika terkena sengatan api, tetapi kulit muka itu lebih dahsyat sakitnya. Kulit muka lebih sensitif, makanya yang disebut dalam ayat tersebut adalah muka.

4. Rugi dan Menyesal,

Orang-orang yang bodoh akibatnya akan menyesal dihari dimana hari penyesalan tidak ada gunanya, sampai-sampai penyesalan mereka diabadikan oleh Allah swt dalam ayat berikutnya,

(یَوۡمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمۡ فِی ٱلنَّارِ یَقُولُونَ یَـٰلَیۡتَنَاۤ أَطَعۡنَا ٱللَّهَ وَأَطَعۡنَا ٱلرَّسُولَا۠ ۝ وَقَالُوا۟ رَبَّنَاۤ إِنَّاۤ أَطَعۡنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاۤءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِیلَا۠ ۝ وَقَالُوا۟ رَبَّنَاۤ إِنَّاۤ أَطَعۡنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاۤءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِیلَا۠ ۝ رَبَّنَاۤ ءَاتِهِمۡ ضِعۡفَیۡنِ مِنَ ٱلۡعَذَابِ وَٱلۡعَنۡهُمۡ لَعۡنࣰا كَبِیرࣰا)

“Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.”Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.”
[Surat Al-Ahzab 66 – 68]

Mereka menyesal kenapa sewaktu di dunia mereka tidak taat kepada Allah swt dan Rasul nya justru ketaatan mereka diperuntukkan kepada para pembesar atau pemimpin mereka yang justru menyesatkan mereka dari jalan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan dalam ayat tersebut Allah swt mengabarkan kepada kita perseteruan antara Aimmatul Kufr (Pemimpin-pemimpin yang kufur) dengan pengikut mereka dimana Allah berfirman:

“Para pengikut Aimmatul Kufr berkata, wahai Rabb kami sungguh kami telah mentaati pemimpin dan pembesar kami maka mereka pun menyesatkan kami”.[Al-Ahzab 67]

Syaikh Abdul Aziz ath-Thuwaili’i ra dalam risalah berjudul “Faqatilu Aimmatal Kufr”, beliau berkata ketika mendefenisikan makna Aimmatul Kufr dari kalangan penguasa dan orang yang berkedudukan:

هم السادة والكبراء والحكام والأمراء الذين يحكمون بغير شرع الله ويدعون إلى غير دينه ويصدون عن سبيله

“Mereka adalah para pembesar, pemimpin dan penguasa yang berhukum dengan selain Syariat Allah dan menyerukan untuk berhukum kepada selain Agama Allah serta menghalang-halangi manusia dari jalan-Nya”.
Mudah-mudahan kita dijauhkan tipu daya para penguasa seperti ini.

5. Menyakiti Rasulullah saw.
Ketika ia melakukan perbuatan demikian, maka sungguh dia adalah orang yang bodoh, karena diantara tanda orang-orang bodoh, meskipun sebagian orang mengatakan ia cerdas dan cendekiawan, mereka adalah yang menyakiti Rasulullah saw baik itu melalui ucapan maupun perbuatan. Sebaliknya, manusia yang cerdas adalah manusia yang yang cinta dan menghormati kepada pemimpin dan suri tauladan nya yaitu Rasulullah saw, Maka Allah swt mewanti-wanti kita jangan sampai seperti Bani Israil yang tega melecehkan kehormatan Nabi mereka, sebagaiman firman Allah,

(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ ءَاذَوۡا۟ مُوسَىٰ فَبَرَّأَهُ ٱللَّهُ مِمَّا قَالُوا۟ۚ وَكَانَ عِندَ ٱللَّهِ وَجِیهࣰا)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu seperti orang-orang yang menyakiti Musa, maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan. Dan dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.”
[Surat Al-Ahzab 69]

Dalam Shahih Muslim, Abu Hurairah meriwayatkan,

كَانَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام رَجُلًا حَيِيًّا قَالَ فَكَانَ لَا يُرَى مُتَجَرِّدًا قَالَ فَقَالَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِنَّهُ آدَرُ قَالَ فَاغْتَسَلَ عِنْدَ مُوَيْهٍ فَوَضَعَ ثَوْبهُ عَلَى حَجَرٍ فَانْطَلَقَ الْحَجَرُ يَسْعَى وَاتَّبَعَهُ بِعَصَاهُ يَضْرِبُهُ ثَوْبِي حَجَرُ ثَوْبِي حَجَرُ حَتَّى وَقَفَ عَلَى مَلَإٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَنَزَلَتْ
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا }

“Nabi Musa adalah orang yang pemalu dan tidak pernah terlihat auratnya. Orang-orang bani Israil menuduhnya bahwa terdapat cacat pada auratnya. Abu Hurairah berkata; Pada suatu ketika, Nabi Musa mandi di sebuah sungai. Ia letakkan pakaiannya di atas sebuah batu. Tetapi batu itu hanyut dibawa air. Lalu Musa mengejarnya untuk menggapainya dengan menggunakan tongkat seraya berkata; Pakaianku hanyut terbawa batu! Pakaianku hanyut terbawa batu! Hingga akhirnya dia berhenti di sekelompok orang-orang Bani Israil. Lalu turunlah ayat Al Qur’an yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa, maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Sesungguhnya Musa adalah orang yang mempunyai kedudukan yang terhormat dan mulia di sisi Allah. [QS Al Ahzab: 69].”

Ayat yang memberikan pemahaman kita agar kita sebagai seorang muslim jangan sampai seperti bani Israel yang tidak pandai bersyukur kepada Allah swt berupa di berikan anugerah berupa diutusnya Nabi Musa as ditengah tengah mereka, tetapi mereka menyakiti musa, Allah swt menyebutkan bentuk bagaimana mereka menyakiti musa dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar, maka ayat tersebut juga mengisyaratkan kepada kita pada makna menyakiti secara umum, sehingga seorang mukmin tidak boleh menyakiti Nabinya baik itu dengan ucapan maupun perbuatannya, jangan sampai ada orang beriman mengatakan Muhammad itu cocoknya memimpin Arab saja, tidak pantas memimpin dunia, Ia tidak cocok dijadikan teladan untuk zaman kekinian, nauzubillah min dzalik, Sungguh Ucapan yang tidak Pantas keluar dari lisan seorang mukmin! Bukankah Allah berfirman,

(وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا رَحۡمَةࣰ لِّلۡعَـٰلَمِینَ)

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.
[Surat Al-Anbiya’ 107]

Jangan sekali kali kita menyakiti Rasulullah! Karena Allah swt akan timpakan adzab yang pedih bagi mereka yang berbuat seperti itu. Allah mengkategorikan orang-orang yang menyakiti Rasulullah saw mereka adalah orang-orang munafik, Firman Allah

(وَمِنۡهُمُ ٱلَّذِینَ یُؤۡذُونَ ٱلنَّبِیَّ وَیَقُولُونَ هُوَ أُذُنࣱۚ قُلۡ أُذُنُ خَیۡرࣲ لَّكُمۡ یُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَیُؤۡمِنُ لِلۡمُؤۡمِنِینَ وَرَحۡمَةࣱ لِّلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمۡۚ وَٱلَّذِینَ یُؤۡذُونَ رَسُولَ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِیمࣱ)

“Dan di antara mereka (orang munafik) ada orang-orang yang menyakiti hati Nabi (Muhammad) dan mengatakan, “Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya.” Katakanlah, “Dia mempercayai semua yang baik bagi kamu, dia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu.” Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah akan mendapat azab yang pedih.”
[Surat At-Taubah 61]

Nah, Pertanyaannya, bagaimana agar kita semua agar selamat dari kebodohan-kebodohan tersebut, termasuk kebodohan dalam bentuk menyakiti Rasulullah?
Maka diantara caranya adalah,

1. Takwa

Cara yang pertama adalah takwa,
dan inilah yang disebut oleh Allah dalam ayat berikutnya,

(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَقُولُوا۟ قَوۡلࣰا سَدِیدࣰا)

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,
[Surat Al-Ahzab 70]

Orang yang bertakwa, berarti dia takut kepada Allah, maka tidak mungkin ia berani menyakiti Rasulullah dan para sahabatnya, kalau ada yang mengaku beriman tapi ia menyakiti nabi dan sahabatnya maka dia adalah seorang munafik, hanya sekedar pengakuan tanpa dibarengi bukti yang nyata, karena seorang mukmin pasti akan membela nabi dan para sahabatnya.

2. Al-Qoul As-Sadid,

Perintah untuk memiliki Al-Qoul As-Sadid ditekankan oleh Allah melalui firman-Nya,

وَقُولُوا۟ قَوۡلࣰا سَدِیدࣰا

Dan ucapkanlah perkataan yang benar,
[Surat Al-Ahzab 70]

Makna Sadid itu bukan hanya sekedar artinya benar (As-Shidq) tetapi juga memiliki makna ucapan yang tepat (As-Shawab) Sebagaimana yang dijelaskan Said Hawa di dalam kitab tafsirnya Al-Asas fit Tafsir, karena terkadang ada ucapan benar tetapi tidak tepat, contohnya orang ingin ceramah atau menasihati saudara-saudaranya tapi pada waktu tengah malam, jam-jam orang sedang istirahat, nah amalan menasihati seorang mukmin adalah amalan yang benar, hanya saja dilakukan pada tengah malam, maka ini tidak tepat. Maka kita harus tau waktu, maka Rasulullah tidak suka ceramah lama-lama dikhawatirkan bosan, maka bicara itu harus benar dan tepat, maka orang yang ucapannya benar dan tepat tidak mungkin menyakiti Rasulullah saw.
Sehingga orang yang mampu memiliki tekad kuat untuk selalu berprinsip takwa menjadi jalan hidupnya serta memiliki Al-Qoul as-Sadid dalam tutur katanya maka ia berhak meraih janji Allah swt yang dijelaskan dalam ayat berikutnya,

(یُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَـٰلَكُمۡ وَیَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن یُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِیمًا)

Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.
[Surat Al-Ahzab 71]

3. Amanah

Amanah serta korelasi dengan kelemahan dan kebodohan manusia dijelaskan dalam penutup surat ini.
Allah swt berfirman tentang Amanah.

(إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَیۡنَ أَن یَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَـٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومࣰا جَهُولࣰا
لِّیُعَذِّبَ ٱللَّهُ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ وَٱلۡمُنَـٰفِقَـٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِینَ وَٱلۡمُشۡرِكَـٰتِ وَیَتُوبَ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِینَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورࣰا رَّحِیمَۢا)

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh. Sehingga Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, orang-orang musyrik, laki-laki dan perempuan; dan Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
[Surat Al-Ahzab 72-73]”

Para Ahli tafsir berbeda pendapat di dalam menafsirkan kata amanah pada ayat di atas:

a) Imam Al-Aufi dari Ibnu Abbas ra berkata, “Yang dimaksud dengan al-amanah adalah, ketaatan yang ditawarkan kepada mereka sebelum ditawarkan kepada Adam ‘Alaihissalam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Lalu Allah berfirman kepada Adam, ‘ Sesungguhnya Aku memberikan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Apakah engkau sanggup untuk menerimanya?’ Adam menjawab, ‘Ya Rabbku, apa isinya?’ Maka Allah berfirman, ‘Jika engkau berbuat baik maka engkau akan diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk maka engkau akan diberi siksa’. Lalu Adam menerimanya dan menanggungnya. Itulah maksud firman Allah, ‘Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh’.”

b) Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas ra berkata, ‘Amanah adalah kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Jika mereka menunaikannya, Allah akan membalas mereka. Dan jika mereka menyia-nyiakannya, maka Allah akan menyiksa mereka. Mereka enggan menerimanya dan menolaknya bukan karena maksiat, tetapi karena ta’zhim (menghormati) agama Allah kalau-kalau mereka tidak mampu menunaikannya.” Kemudian Allah Ta’ala menyerahkannya kepada Adam, maka Adam menerimanya dengan segala konsekwensinya. Itulah maksud dari firman Allah:

“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” yaitu pelanggar perintah Allah.

c) Imam Malik meriwayatkan bahwa Zaid bin Aslam berkata, “Amanah itu ada tiga: shalat, zakat, dan mandi junub.”

d) Imam Al-Qurthubi berkata: amanah meliputi semua tugas agama menurut pendapat yang paling kuat. Sebagaimana ia berkata dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun:8)
(Tafsir Ibnu Katsiir)

Pada hakikatnya, amanah meliputi segala hal termasuk janji bagian dari amanah, orang yang diberi amanah harus menunaikan amanahnya. Karena Allah memerintahkan menunaikan amanah kepada pemiliknya, dan melarang berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta melarang mengkhianati semua amanah mereka. Dan Dia menjadikan di antara sifat orang-orang yang beruntung adalah bahwa sesungguhnya mereka menjaga janji dan amanah mereka.
Maka tentang perintah menjaga amanah ini, Nabi saw pernah berpesan,

أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَتَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu.” (HR. Abu Dawud)

Kenapa dalam ayat diatas manusia di vonis sangat dzalim dan bodoh ? Artinya apa bahwa ketika manusia tidak memegang amanah dan tidak melaksanakannya maka ia divonis oleh Allah bahwa dia sangat dzalim dan bodoh, sehingga karena kebodohan dan kedzalimannya yang membuat ia tersungkur ke dalam jurang api neraka. Nauzubillah min dzalik!.

menghafal al quran

Metode Mudah Menghafal Al Quran

Oleh : Kholid Mirbah, Lc

Sesungguhnya kegiatan menghafal Al-Qur’an merupakan sebuah nikmat yang paling agung dan ibadah yang paling mulia. Bagaimana tidak? Allah menitipkan Kalam-Nya, agar tersimpan rapat di dalam dada para hamba-Nya yang terpilih. Sebagaimana dalam literatur hadits, Nabi saw bersabda,

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَرَأ القُرآنَ فَقَدِ اسْتَدْرَجَ النُّبُوَّةَ بَيْنَ جَنْبيْهِ غَيْرَ اَنَهُ لَا يُوْحى اِلَيهِ لَا يَنْبَغِىْ لِصَاحِبِ القُرآنِ اَنْ يَجِدَ مَعَ مَنْ وَجَدَ وَلَا يَجْهَلَ مَعَ مَنْ جَهِلَ وَفيْ جَوْفِه كَلَامُ اللهِ. (رواه الحاكم وقال صحيح الأسناد).

Dari Abdullah bin Amr r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca al Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu kenabian diantara kedua lambungnya, sekalipun wahyu tidak diturunkan kepadanya. Tidak pantas bagi hafizh Al-Qur’an memarahi seorang pemarah dan bertindak bodoh terhadap orang bodoh, sedang Al-Qur’an berada dalam dadanya.”

Maka hakikatnya, para penghafal Al-Qur’an telah menyimpan seluruh ilmu kenabian, hanya saja wahyu tidak diturunkan kepada mereka, maka ini adalah satu keutamaan yang harus kamu raih, maka bersungguh sungguhlah kamu, jangan kamu pelit dalam menggunakan waktumu untuk Al-Qur’an, karena Allah pasti akan memberikan keberkahan terhadap ilmumu, waktumu, kesehatanmu, masa mudamu, dan segala sisi kehidupanmu, bahkan Allah swt pula akan menurunkan keberkahan terhadap rumah yang kamu tinggali, karena selalu kamu menghafalkan Al-Qur’an di dalamnya.
Makanya seorang Alim Ahli Qur’an Masa kini, Dr. Aiman Rusydi Suwaid mengatakan,

من لزم المبارك صار مباركا

“Barang siapa yang gemar berinteraksi dengan Al-Mubarak (Al-Qur’an) maka ia akan diberkahi”

Maka bersungguh-sungguhlah kamu, jauhkan diri dari sifat malas, peganglah erat Al-Qur’an di tanganmu dengan satu cita-cita dan harapan besar, dan ketahuilah bahwa menghafal Al-Qur’an adalah sebuah amalan yang agung, amalan generasi salaf dan orang-orang shalih, amalan para tokoh dan pembesar yang nama serta jasa mereka terukir dalam sejarah, hidup mereka diawali dengan menghafal Al-Qur’an sebelum menghafal dan belajar ilmu yang lain, sehingga Allah mengangkat derajat mereka, meninggikan kedudukan mereka dan menyebarluaskan ilmu mereka ke seluruh penjuru dunia.
Dalam sebuah hadits Umar bin Khattab ra, Rasulullah saw bersabda,

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ . (رواه مسلم)

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengangkat suatu kaum dengan Al-Qur’an dan menjatuhkan kaum yang lain juga dengan Al-Qur’an”. (H.R. Muslim).

Suatu kaum akan ditinggikan kedudukannya dengan sebab mereka perhatian terhadap Al-Qur’an, mengikuti dan mengamalkan kandungannya. Sebaliknya suatu kaum yang mengabaikan Al-Qur’an dan mengingkari kebenarannya akan jatuh derajat dan kedudukan mereka.

Rasulullah pernah mengangkat seorang pemuda sebagai pemimpin di tengah kelompok yang terdapat orang yang lebih tua karena memiliki hafalan Al-Qur’an terbanyak yang salah satunya surah Al-Baqarah.

Demikian pula dalam pemakaman para syahid/korban perang Uhud Rasulullah mendahulukan mereka yang terbanyak hafalan Al-Qur’annya. Begitu pula kalau ada ada yang ingin menghafalkan Al-Qur’an apapun titel pendidikan dan pekerjaannya pasti ia akan pergi belajar kepada Ahlul Quran, ini bukti Allah memuliakan ahlu Qur’an di dunia, terlebih lagi di Akhirat, Allah swt telah menyiapkan baginya sebuah kemuliaan yang agung yaitu kedudukan yang agung di surga-Nya, sebagaimana Rasulullah saw bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ ». (رواه الإمام أحمد وابن ماجه)

Sesungguhnya Allah s.w.t. mempunyai keluarga dari manusia”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah keluarga Allah itu?” Rasulullah saw menjawab: “Para penghafal Alqur’an itu adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Nah, bagaimana metode dan cara mudah hafal seluruh Al-Qur’an seperti mudahnya menghafal Surat Al-Fatihah?
Sebenarnya cara yang dibahas disini hanya sekedar salah satu metode standar menghafal, bukan bersifat pembatasan, artinya tekadang orang-orang mendapatkan metode menghafal yang lebih baik dan lebih mudah sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Nah, diantara cara mudah menghafalkan Al-Qur’an,

1. Mengkhususkan satu mushaf tertentu untuk menghafal, jangan berganti-ganti mushaf Al-Quran, dan lebih utama menggunakan mushaf Al-Madinah Al-Munawwaroh.

2. Mengkhususkan satu halaman baru untuk dihafal dalam satu hari, begitupula seterusnya, jangan lebih dari satu halaman, walaupun sebelumnya halaman tersebut pernah dihafal.

3. Sebelum memulai hafalan, bacalah halaman yang akan dihafal secara perlahan-lahan sebanyak 20 kali, dan fokuskan bacaan pada lafadz-lafadz dan tanda baca dalam Al-Qur’an (fathah, dhammah dan kasrah) dan jikalau terdapat kesulitan pengucapan pada suatu lafadz pada ayat yang dihafal, maka dengarkan lafadz tersebut dari kaset atau rekaman dari para Masyayikh dan Qurra’ yang sudah diakui kualitas bacaan mereka, semacam Syaikh Muhammad Ayyub, Syaikh Al-Minsyawi dan lain sebagainya secara berulang-ulang. Kalau seandainya kamu berguru kepada seorang Syaikh atau Ustadz yang Ahli dalam bidang Al-Quran, maka hal itu lebih utama kamu bisa memintanya untuk memperbaiki bacaanmu berulang-ulang, sampai lisanmu benar-benar lihai dan mudah mengucapkan lafadz yang sulit tersebut. Maka kamu dianjurkan untuk banyak mengulang-ulang hafalan tersebut dengan tujuan supaya agar hafalan itu terpatri dalam benakmu, sehingga tidak ada kesalahan dalam hafalan, karena hafalan yang salah itu terjadi karena awal kesalahan ketika belajar menghafal Al-Qur’an, dan ketika hal itu terjadi, maka sangat susah untuk diperbaiki.

4. Mulailah dengan menghafal pada ayat di baris pertama pada mushaf, setelah dirasa telah hafal, maka ulangi hafalan ayat tersebut sebanyak 10 kali, sampai benar-benar mutqin di benakmu, kemudian pindah ke ayat selanjutnya pada baris kedua, lalu mulailah menghafal dan ulangilah ayat tersebut sebanyak 10 kali juga sampai benar-benar hafal, kemudian setelah selesai dari hafalan baris pertama dan kedua, ulangi kembali hafalan pada baris pertama dan kedua sebanyak 10 kali, begitupula seterusnya sampai selesai satu halaman. Setelah itu kamu baca satu halaman tersebut tanpa melihat mushaf sebanyak 10 kali. Jikalau terdapat kesulitan pada salah satu lafadz di dalam halaman tersebut, maka lihatlah letak posisi lafadz tersebut, kemudian ulangi lagi hafalan pada halaman tersebut, lalu agar lebih meyakinkan lagi, mintalah salah satu keluarga mu atau kawanmu untuk menyimak hafalanmu dihadapan mereka supaya hafalanmu dapat dikoreksi dengan benar.

5. Pada hari berikutnya, mulailah menghafal halaman baru dengan cara yang telah disebutkan diatas, setelah selesai, ulangi kembali hafalan pada halaman sebelumnya dan halaman yang sedang dihafal tanpa melihat mushaf sebanyak 10 kali, kemudian mintalah temanmu atau saudaramu untuk menyimak hafalanmu sebanyak dua halaman, yaitu halaman yang dihafalkan sebelumnya dan yang dihafalkan sekarang. Jika hafalanmu kurang sempurna, maka ulangi lagi sebanyak dua atau tiga kali sampai benar-benar mutqin dan sama sekali tidak ada kesalahan.

Perhatian

Tidak boleh pindah ke halaman yang baru selama-lamanya sebelum dipastikan kamu benar-benar hafal pada halaman sebelumnya.

6. Dengan berjalannya hari, maka hafalanmu semakin banyak, surat demi surat, juz demi juz akan kamu lewati, maka tugas selanjutnya adalah kamu jaga hafalanmu dengan cara mengulangi hafalan-hafalan yang lalu, misalnya ketika kamu sudah hafal 15 halaman, maka setiap hari harus diulangi sejumlah itu pula setelah menyelesaikan hafalan baru, seandainya kamu sudah hafal satu juz, maka setiap hari kamu harus mengulanginya sebanyak itu pula setelah menambah hafalan pada halaman baru dengan cara yang kami sebutkan pada poin keempat, kemudian kamu ulangi lagi hafalan pada halaman-halaman baru tadi pada juz selanjutnya ditambah murojaah satu juz yang sudah dihafal. Lakukanlah hal tersebut hingga kamu menyelesaikan dua juz kemudian tiga juz, lalu kamu harus memuroja’ah tiga juz disetiap harinya setelah menambah hafalan baru.

7. Setelah kamu menyelesaikan hafalan 4 juz, maka kamu mulai memurojaah 3 juz sebelumnya setiap hari setelah menambah hafalan baru, maksudnya adalah kamu memurojaah lagi pada hari itu setelah menambah hafalan baru misalnya muroja’ah juz satu, dua, tiga, dan pada hari selanjutnya kamu memurojaah juz empat, satu dan dua setelah menambah hafalan baru. Begitupula pada hari berikutnya setelah menambah hafalan baru kamu memurojaah juz tiga, empat, dan satu. Dan jangan lupa biar tambah yakin, kamu datang kepada seorang Hafidz untuk menyetorkan hafalanmu.

8. Ketika hafalanmu sudah mencapai lebih dari 16 juz, maka hendaknya kamu memurojaah setiap hari 3 juz tanpa melihat mushaf dengan cara yang kami sebutkan pada poin ke tujuh, dan kamu minta agar temanmu menyimak hafalanmu dan begitu seterusnya.. maksudnya misalnya jika sekarang kamu sudah hafal 15 juz maka, 15 dibagi 3 sama dengan 5, sehingga kamu akan memurojaah hafalan mu sebanyak 15 juz dalam 5 hari dan seterusnya, dan jangan lupa kamu minta kawanmu untuk menyimak hafalanmu.

9. Ditengah aktivitas mu memurojaah hafalan-hafalan lama, terkadang kamu lupa atau ragu pada suatu ayat pada halaman tertentu, maka hendaknya kamu melihat ke mushaf, dan amati baik-baik ayat tersebut, lalu kamu memurojaah lagi halaman tersebut sebanyak minimal dua kali tanpa melihat mushaf sampai benar-benar mutqin, lalu kamu tandai posisi ayat tersebut dalam catatan khusus, supaya kesalahan ini tidak terulang lagi pada kesempatan yang lain.

Catatan penting..

a. Memurojaah hafalan-hafalan lama tidak boleh dilakukan kecuali selesai menghafal pada halaman baru secara mutqin. Dan hendaknya kamu menentukan satu waktu khusus, entah itu ba’da subuh atau habis ashar dan lain sebagainya untuk memurojaah hafalan-hafalan lama. Dan ketahuilah bahwa muroja’ah hafalan itu lebih baik dari pada menambah hafalan baru!
Saking pentingnya menjaga hafalan dengan cara muroja’ah ini, sampai Nabi saw bersabda,

تَعَاهَدُوا القُرْآنَ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ الإِبِلِ فِي عُقُلِهَا

“Jagalah (hafalan) Al-Qur’an itu, maka demi Dzat, jiwaku di kekuasaan-Nya, sungguh ia (Al-Qur’an) lebih cepat lepasnya daripada unta dari ikatannya” (HR Bukhari)

b. Penting sekali kamu untuk mencari rekan yang dapat diajak setoran hafalan secara bergantian bisa itu ayah, ibu, saudara, istri, teman dekat dan lain sebagainya untuk memastikan hafalanmu benar.

c. Hari jumat adalah hari istirahat untukmu dalam satu pekan, maka dihari itu jangan kamu menambah hafalan baru, dan jangan pula mengulang hafalan lama, rehatkan sejenak diri dan pikiran mu, sehingga pada hari sabtu kamu kembali sudah siap dengan energi dan semangat baru untuk menambah hafalan baru.

d. Jadwal hafalan baru yang sudah ditentukan setiap hari adalah satu halaman mushaf, jikalau pada hari itu terdapat uzur, karena kesibukan pekerjaan atau hajat tertentu, maka kamu bisa menggantinya pada hari berikutnya, sehingga jumlah hafalan baru menjadi dua halaman, ditambah memurojaah hafalan-hafalan sebelumnya.

e. Pada setiap akhir pekan, usahakan kamu meminta rekanmu untuk mengetes seberapa mutqin hafalanmu, misalnya dengan beberapa soal sambung ayat, atau tebak surat dan nomor ayat atau yang lainnya, karena biasanya dengan cara ini sangat ampuh untuk menguatkan hafalan Al-Qur’an seseorang, sehingga dengan izin Allah swt hafalan tersebut akan terpatri dalam ingatannya untuk selama-lamanya.

(Dinukil dari kitab Ihfadzil Qur’an Kama tahfadzul Fatihah karya Syaikh Duraid Ibrahim al-Mushili)

Kebutuhan Manusia Terhadap Ulama

Oleh : Kholid Mirbah, Lc

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

(وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَىِٕمَّةࣰ یَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔایَـٰتِنَا یُوقِنُونَ)

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.
[Surat As-Sajdah 24]

Alhamdulilah, Allah swt memberikan kesempatan kita untuk melaksanakan rangkaian ibadah dan amal shalih, nah bersambungnya rangkaian ibadah demi ibadah dan amal shalih yang kita lakukan itu pertanda bahwa semua amalan ibadah dan amal shalih yang kita tunaikan di terima oleh Allah swt, sebagaimana kata imam Hasan Al-Bashri,

إذا قبل الله أعمال العبد يوفقه في الطاعات ويصرفه عن المعاصي

Ketika Allah swt menerima amalan-amalan hamba-Nya maka ia akan memberikan kemudahan untuk melaksanakan rangkaian ketaatan dan menjauhkan nya dari segala maksiyat.

Sebuah tema yang penting untuk kita pelajari mengingat kita menyaksikan fenomena-fenomena bagaimana kurangnya adab para murid terhadap guru pada hari ini, sangat jauh dari keteladanan yang diajarkan oleh salafus shalih kita dahulu. Ulama salaf kita sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam perbedaan ulama. Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Ibnu Sirin berkata,

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Abdullah ibnu Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Maka kita bisa saksikan potret keteladanan para sahabat nabi dalam adab memuliakan guru mereka, diantara mereka adalah Abdullah bin Abbas dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhuma,

Selepas menshalati jenazah sang ibunda, Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu pulang menaiki bighal. Saat akan menunggangi hewan peranakan kuda dan keledai itu, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu tiba-tiba menghampirinya lalu memegang tali kendali tunggangan tersebut. Abdullah hendak menuntunnya sebagai bentuk penghormatan.

Keduanya adalah sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Zaid merupakan ulama di kalangan para sahabat. Ia dipercaya oleh Rasulullah sebagai penulis wahyu dan di masa Abu Bakar dan Utsman ia diangkat sebagai ketua penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an.

Sedangkan Abdullah bin Abbas, Ia adalah lautan ilmu, ahli tafsir, dan banyak meriwayatkan hadits Rasulullah. Meskipun lebih muda dari Zaid bin Tsabit, ia juga menjadi tempat bertanya para sahabat senior karena keluasan ilmunya.

Namun kali ini, Abdullah bin Abbas menunjukkan tawadhu’nya. ia memegang tali kekang kendaraan Zaid bin Tsabit lalu menuntunnya. Zaid merasa sungkan diperlakukan seperti itu oleh keluarga Rasulullah itu. “Lepaskanlah, wahai anak paman Rasulullah!” kata Zaid.

Abdullah bin Abbas enggan melepasnya. “Beginilah kami memperlakukan ulama,” jawab Abdullah sembari memuji Zaid sebagai ulamanya umat Islam.

Zaid tidak mau kalah, ia meraih tangan Abdullah lalu mencium tangannya. “Beginilah kami diperintahkan dalam memperlakukan keluarga Nabi,” katanya. Kerendahan hati Abdullah bin Abbas dibalas dengan kerendahan hati oleh Zaid bin Tsabit.
Subhanallah !!, lihatlah bagaimana ketawadhu’an para sahabat terhadap guru mereka!
Di masa tabiin, Abu Hanifah rahimahullah beliau senantiasa mendoakan kebaikan untuk gurunya imam Hammad bin Abi Sulaiman setiap selesai shalat, kemudian tradisi ini diteruskan oleh murid seniornya yaitu Imam Abu Yusuf, setiap selesai shalat beliau senantiasa mendoakan Imam Abu Hanifah sampai akhir hayatnya. Inilah adab yang luar biasa seorang murid terhadap guru, yaitu selalu mendoakan kebaikan untuk gurunya. Disebutkan didalam Thabaqat Syafiiah Imam Ahmad bin Hanbal senantiasa mendoakan kebaikan untuk gurunya Imam Syafii selama 40 tahun di setiap selesai shalatnya, beliau berdoa kepada Allah swt,

اللهم اغفرلي ولوالدي ولمحمد بن إدريس

Ya Allah ampunilah dosaku, dosa kedua orangtuaku dan dosa guruku Muhammad bin Idris (Imam Syafii).

Adab seperti ini hilang dari generasi kita, adab ini telah banyak hilang baik itu di dunia nyata maupun dunia maya, ada santri mlototi ulama sambil berteriak-teriak dihadapannya dan itu disaksikan secara live di televisi hanya karena beda pandangan, ada siswa yang melaporkan gurunya ke polisi hanya karena tidak terima ia ditegur karena tidak shalat zuhur berjamaah, atau hanya karena beda pendapat ia tega meninggalkan majelis gurunya, terlebih lagi didunia maya banyak sekali kita dapati cacian, hinaan, komentar buruk kepada para ulama.

Nah bagaimana kebutuhan manusia terhadap ulama?

Kebutuhan mereka persis seperti kebutuhan Umat terdahulu terhadap para Nabi yang di utus kepada mereka. Membawa risalah yang benar, yang mengajarkan bagaimana menciptakan hubungan yang harmonis dengan Allah dan sesama manusia, menggandeng mereka menuju hidayah Allah untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat, membimbing mereka menuju tatanan kehidupan masyarakat yang diridhai Allah swt, sehingga tercipta sistem kehidupan manusia yang harmonis, berkepribadian yang luhur dan beradab.
Imam Al Ajiri dalam kitabnya Akhlaqul Ulama membuat permisalan yang unik tentang kebutuhan manusia terhadap ulama, beliau mengatakan,

“مثل العلماء ومثل الناس بهم وبدونهم كمثل قوم ساروا في ليلة مظلمة في وادٍ مسبع، فيه سباع ووحوش وأشجار وحيات وعقارب، في ظلام دامس، يسيرون لا يدرون على ما يطئون، وما يواجههم، ولا إلى أين يتجهون؟ فجاءهم شخص بيده مصباح فأنار لهم الطريق حتى أخرجهم من هذا الوادي المظلم، يعني هؤلاء هل هم بحاجة إلى صاحب المصباح؟ بحاجة ماسة

Perumpamaan Para Ulama dengan manusia yang bersama mereka adalah bagaikan suatu kaum yang berjalan dalam kegelapan malam di lembah liar, di dalamnya terdapat binatang bertaring, buas, pepohonan, ular dan kalajengking, mereka berjalan serta tidak tahu dimana kaki mereka sedang menginjak, apa yang mereka hadapi dan kemana mereka akan tuju? Lalu datang seseorang membawa lentera, lalu ia pun menerangi jalan tersebut hingga membawa mereka keluar dari lembah yang gelap, maka apakah mereka butuh lentera tersebut? Tentu saja sangat butuh”

Kenapa demikian? Karena Ulama itu pewaris para Nabi, disebutkan dalam hadits, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menegaskan:

إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (H.R. At-Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Kenapa di dalam hadits ini disebut kata pewaris, tidak menggunakan redaksi yang lain?
Imam al-Munawi dalam kitab Faidul Qadir mengatakan,

لأن الميراث ينتقل إلى الأقرب وأقرب هذه الأمة بنسبة هذا الدين العلماء

Karena warisan itu berpindah kepada manusia yang terdekat, dan manusia yang terdekat ditinjau dari agama ini adalah para ulama.

Maka kalau kita ingin benar dalam beragama, benar dalam berakidah dan bermuamalah, maka bergurulah kepada para ulama, karena mereka adalah pewaris para Nabi.

Mengenai pentingnya keberadaan ulama dalam kehidupan manusia adalah awal musibah terbesar di dunia akan terjadi bila manusia meninggalkan ulama mereka, sebagaimana dalam hadits Rasulullah saw bersabda

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا

“Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dan merebaknya kebodohan dan diminumnya khamer serta praktek perzinahan secara terang-terangan”
[HR. Bukhari No. 78]

Hancurnya tatanan kehidupan manusia diawali dengan hilangnya ilmu dari kehidupan manusia dan cara Allah swt menghilangkan ilmu dari kehidupan mereka adalah dengan mewafatkan para ulama, sebagaimana Nabi saw bersabda,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا(رواه البخاري)

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan. (HR. Bukhari)

Al Munawi menjelaskan bahwa yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu untuk makrifatullah dan iman kepada-Nya serta ilmu mengenai hukum-hukum Allah, karena ilmu hakiki adalah ilmu yang berkenaan dengan hal ini. Dengan wafatnya para ulama maka proses mengajar akan berhenti, sehingga tidak ada yang menggantikan ulama-ulama sebelumnya.

Tatkala ulama diangkat maka sekedar buku saja tidak bisa menggantikan kedudukan mereka, sebagaimana Imam Ahmad menyebutkan bahwa hadits ini disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika haji wada’. Di riwayat lain disebutkan bahwa seorang badui bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,”Wahai Nabi Allah, bagaimana ilmu diangkat sedangkan ada pada kami mushaf-mushaf, dan kami telah belajar darinya apa yang ada di dalamnya dan kami mengajarkan istri-istri, anak-anak dan para pembantu kami?”

Maka, Rasulullah saw mendongakkan wajah dan beliau marah lalu bersabda,”Ini orang-orang Yahudi dan Nashrani ada pada mereka lembaran-lembaran, mereka tidak mempelajari darinya mengenai apa yang datang kepada mereka dari para nabi mereka”.

Al Munawi menyatakan bahwasannya hadits di atas menunjukkan bahwa adanya buku-buku setelah ilmu diangkat dengan meninggalnya para ulama, buku-buku itu tidak berguna apapun bagi orang yang bodoh. (Faidh Al Qadir, 2/274)

Imam As Syatibi juga menyatakan bahwa di masa lalu, ilmu itu di dada para ulama, kemudian berpindah ke buku-buku, namun kuncinya masih di tangan para ulama. (Al Muwafaqat, 1/31)

Makanya kita patut bersedih ketika ulama diwafatkan oleh Allah, karena ini tanda Allah ingin mempercepat terjadinya hari kiamat.

Nah, pada hakikatnya kedudukan ulama sangatlah agung di sisi Allah dan di tengah kehidupan manusia, sampai sampai ketika Al Imam Ibnu Qayyim mensifati kedudukan ulama beliau katakan,

العلماء هم في الأرض بمنزلة النجوم في السماء؛ بهم يهتدي الحيران في الظلماء، وحاجةُ الناس إليهم أعظمُ من حاجتهم إلى الطعام والشراب”

Kedudukan para ulama di bumi bagaikan bintang-bintang di langit, dengan adanya mereka orang-orang yang kebingungan arah dalam kegelapan mendapatkan petunjuk, maka kebutuhan manusia terhadap para ulama lebih besar dari pada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman (I’lamul Muwaqi’in)

،قال ابن المبارك: “مَن استخفَّ بالعلماء ذهبتْ آخرتُه، ومَن استخف بالأمراء ذهبتْ دنياه، ومن استخف بالإخوان ذهبتْ مروءتُه”.

“Barangsiapa meremehkan ‘ulama niscaya hilang (kebahagiaan) akhiratnya, barangsiapa meremehkan para penguasa niscaya hilang (kebahagiaan) dunianya, dan barangsiapa meremehkan saudara-saudaranya (se-iman) maka niscaya akan hilang kewibawaannya”
(Siyarul A’laam Wan-Nubalaa, Jilid 15 Hal: 425)

Dari mana kita bisa membaca quran memahami tafsirnya, mengetahui benar dan salah, membedakan ibadah dan maksiyat semuanya kalau tidak dari para ulama.

Maka wafatnya ulama itu lebih dahsyat bahayanya dari pada bencana alam sekalipun, karena ketika terjadi bencana manusia masih memiliki kesempatan untuk bertahan hidup, namun ketika ia tidak sempat bertanya dengan ulama maka ia tidak akan selamat walaupun hanya sesaat saja, bahkan dapat mengantarkan kepada kematian, sebagaimana kisah yang diriwayatkan Jabir ra

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ

Dari Jabir ra, beliau berkata, “Kami berangkat dalam satu perjalanan lalu seorang dari kami tertimpa batu dan melukai kepalanya. Kemudian orang itu mimpi “basah” lalu ia bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapatkan keringanan bagiku untuk tayammum ?” Mereka menjawab, “Kami memandang kamu tidak mendapatkan keringanan karena kamu mampu menggunakan air.” Lalu ia mandi kemudian meninggal. Ketika kami sampai dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, peristiwa tersebut diceritakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allâh membalas mereka. Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui ? Karena obat dari tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya dia cukup bertayammum [HR Abu Daud dalam sunannya dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ , no. 4362]

Dalam sebuah riwayat di kitab Al Ba’its ala inkaril Bida’ karya Abi Syamah hal 1755 disebutkan,

 

– قال الإمام مالك:
” بكى ربيعة يوما بكاء شديدا فقيل له:
أمصيبة نزلت بك؟ فقال:
” لا ! ولكن استفتي من لا علم عنده وظهر في الإسلام أمر عظيم ”
الباعث على إنكار البدع لأبي شامة (ص 1755)

Imam Malik bercerita: “Imam Rabiah suatu hari menangis tersedu-sedu, maka muridnya iba dan bertanya “Apa Musibah yang menimpamu wahai Ustadzi? Beliau menjawab “Tidak ada musibah yg menimpa diriku tapi aku bertanya masalah kepada orang yang tak berilmu, ternyata dampaknya sangat dahsyat dalam agama.”

Maka tidak ada musibah yang lebih besar melebihi musibah yang menimpa pada agama seseorang, yaitu ketika ilmu tidak diserahkan pada ahlinya, atau ilmu hanya digunakan untuk meraih popularitas dan kedudukan disamping penguasa. Maka bahaya sekali kalau fatwa agama itu dituntut menyesuaikan kehendak penguasa politik, dalam sebuah kisah disebutkan, Di zaman Ahmad bin Hanbal berkembang paham jahmiyah menganggap al Quran makhluk, mengingkari nama dan sifat Allah, bahkan paham ini diamini para penguasa pada waktu itu, lebih dari itu para ulama dipaksa untuk mengimani Al Quran sebagai makhluk, sehingga sebagian ulama karena takut ada yang berpura-pura, namun Imam Ahmad teguh pendirian ia meyakini Al Quran adalah Kalamullah bukan makhluk. Lalu karena menolak beliau mendapatkan siksaan bertubi tubi, kepada ulama yang berpura-pura dan tidak berani menyampaikan kebenaran beliau berbicara kepada mereka tentang kisah Khabbab bin Arats, yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tak tahan dengan penderitaan yang dialami dalam berdakwah. Ketika itu beliau sedang berbantalkan sorbannya di bawah lindungan Ka’bah. Kemudian kami bertanya, ‘Apakah engkau tidak memintakan pertolongan untuk kami? Apakah engkau tidak mendoakan untuk kebaikan kami?’

Beliau bersabda, ‘Orang-orang yang sebelum kamu itu ada yang ditanam hidup-hidup, ada yang digergaji dari atas kepalanya sehingga tubuhnya terbelah dua, dan ada pula yang disisir dengan sisir besi yang mengenai daging dan tulangnya, tetapi yang demikian itu tidak menggoyahkan mereka dari agamanya.
Beliau mengajak para ulama lain untuk bersabar umtuk menghadapi ujian berat pada hari itu.

Meskipun kedudukan ulama sangat penting hari ini. Maka penting hari ini kita untuk mengetahui sifat dan karakteristik ulama berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Ada Sebagian orang menganggap ulama itu yg punya santri yang banyak, sebagian memahami ulama adalah yang bisa berbahasa Arab dan baca kitab kuning, sebagian berpendapat ulama adalah yang dapat menangkap jin lalu memindahkannya ke botol, sebagian memahami ulama itu yang berpakaian gamis dan bersorban dan kemana mana membawa tasbih di tangannya, maka masyarakat mendapati kerancuan mengenai definisi ulama, karena mereka tidak mengembalikan istilah ulama sesuai Al Quran dan sunnah.

Nah, Apa saja sifat-sifat atau Muwashafat ulama itu?

1. خشية الله في السر و العلانية

(Takut kepada Allah swt dalam kondisi tersembunyi maupun terang-terangan)

Dalam Al Quran Allah swt berfirman,

إِنَّمَا یَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰۤؤُا۟ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِیزٌ غَفُورٌ)

Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.
[Surat Fathir 28]

Maka ulama sejati itu yang semakin berilmu menyebabkan semakin takut kepada Allah, sebagaimana falsafah padi semakin berisi semakin merunduk
Maka Syaikhul Islam ketika mengomentari ayat tersebut beliau berkata,

” وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَنْ خَشِيَ اللَّهَ فَهُوَ عَالِمٌ . وَهُوَ حَقٌّ ، وَلا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ عَالِمٍ يَخْشَاهُ ” انتهى من [“مجموع الفتاوى” (7/539) ]

“Ini menunjukkan bahwa pasti setiap orang yang takut kepada Allah adalah alim, dan tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang alim itu takut kepada Allah swt (Majmu Fatawa 7/539)”

Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata:

«لَيْسَ الْعِلْمُ لِلْمَرْءِ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ»

“Ilmu bagi seseorang itu tidaklah ditentukan dengan banyaknya hafalan riwayat (hadits) akan tetapi ilmu itu yang mengantarkan kepada al-Khasyah (rasa takut kepada Allah)
dan rasa takut itu letaknya di dalam hati Makanya Allah menyebut ilmu itu dengan sebutan Nur atau cahaya, Allah swt berfirman,

(وَكَذَ ٰ⁠لِكَ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ رُوحࣰا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِی مَا ٱلۡكِتَـٰبُ وَلَا ٱلۡإِیمَـٰنُ وَلَـٰكِن جَعَلۡنَـٰهُ نُورࣰا نَّهۡدِی بِهِۦ مَن نَّشَاۤءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَهۡدِیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ)

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus,
[Surat Asy-Syura 52]

Ilmu adalah cahaya yg menerangi kehidupan manusia dengan bimbingan dan arahan kebaikan yg membuat seseorang takut kepada Allah.
Sehingga Imam malik ketika melihat kecerdasan muridnya yaitu Imam Syafii, maka beliau berkomentar,

“إني أرى الله قد ألقى على قلبك نورا، فلا تطفئه بظلمة المعصية”

“Sungguh, aku melihat Allah telah menancapkan cahaya (ilmu) di dalam hatimu, maka jangan engkau padamkan cahaya tersebut dengan gelapnya maksiyat”

Nah, Pada suatu hari Imam Syafii kehilangan cahayanya, ia lupa pada suatu hafalannya, Padahal Imam Syafi’i sebenarnya orang yang hafalannya sungguh amat luar biasa. Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, ia berkata, “Aku telah menghafalkan Al Qur’an ketika berumur 7 tahun. Aku pun telah menghafal kitab Al Muwatho’ ketika berumur 10 tahun. Ketika berusia 15 tahun, aku pun sudah berfatwa.” (Thorh At Tatsrib, 1: 95-96). Sungguh luar biasa hafalan beliau rahimahullah. maka suatu saat terjadi masalah dalam ingatan hafalannya, lalu ia mengadu kepada gurunya imam Waki bin Jarrah.

شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي

“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).

Maka kalau ada seorang pelajar kehilangan atau rusak hafalannya itu penyebab utamanya adalah maksiyat kepada Allah.

Imam Syafi’i pun merenung, ia merenungkan keadaan dirinya, “Apa yah dosa yang kira-kira telah kuperbuat?” Beliau pun teringat bahwa pernah suatu saat beliau melihat seorang wanita tanpa sengaja yang sedang menaiki kendaraannya, lantas tersingkap pahanya [ada pula yang mengatakan: yang terlihat adalah mata kakinya]. Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya.

Maka Imam Syafi’i tak sengaja melihat betis wanita itu saja bisa merusak hafalan, maka jangan-jangan ilmu yg kita pelajari selama ini tidak berbekas pada ingatan kita itu karena dosa dosa yang selama ini tak sadari.

2. عالم بعلمه وعامل به

Mengetahui pokok pokok persoalan agama, sekaligus ia amalkan, ia menjiwai ilmu tersebut lalu mempraktekannya dalam kehidupan sehari hari. Kita bisa lihat keteladanan imam Hasan al Bashri dalam masalah ini, ketika didatangi oleh para budak.

Suatu waktu, serombongan budak mengunjungi ulama besar ini di rumahnya. Tujuan mereka, Imam Hasan mau menyampaikan materi tentang keutamaan memerdekakan budak di majelisnya. Dengan penyampaian itu, mereka berharap majikannya berkenan membebaskan mereka.

Imam Hasan hanya menjawab, “Insya Allah…”

Keesokan harinya, Imam Hasan pun berceramah. Namun, tidak sedikit pun menyinggung materi pesanan rombongan budak yang bertamu ke rumah beliau.

Mendengar materi ceramah Imam Hasan yang tidak menyinggung keutamaan memerdekakan budak, para hamba sahaya itu pun kembali menemui Imam Tabi’in tersebut, dan menyampaikan permintaan serupa.

Namun, kejadian itu berulang lagi, hingga 3 kali.

Hingga suatu hari, Imam Hasan menyampaikan ceramah dengan materi yang sesuai dengan permintaan para budak tersebut. Para jemaah pun langsung beramai-ramai memerdekakan hamba sahaya yang mereka miliki.

Setelah kejadian itu, rombongan budak kembali menemui Imam Hasan. Di antara mereka ada yang berkata, “Seandainya saja engkau menyampaikan materi itu dari kemarin-kemarin, maka kami pun tidak perlu menunggu lama untuk menjadi manusia merdeka.”

Imam Hasan pun menjawab, “Sejak kemarin kalian memintaku untuk memerdekakan budak, sebenarnya aku belum pernah melakukan hal tersebut. Aku pun berada dalam kondisi tidak memiliki budak untuk dimerdekakan saat itu. Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli budak dari orang lain.”

“Beberapa hari kemarin, aku menabung. dan tepat hari ini aku baru memiliki uang yang cukup untuk membeli budak, lalu memerdekakannya, maka baru hari ini pula, aku memiliki keberanian dan pengetahuan yang cukup untuk menyampaikan materi tersebut.
Aku takut termasuk manusia yang diancam oleh Allah melalui firman-Nya dalam Al Quran,

(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ۝ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفۡعَلُونَ)

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Surat Ash-Shaf 2 – 3)”

3. معلم

Mau mengajarkan ilmunya, bukan hanya duduk manis dikantor, cuman tanda tangan, tidak pilih pilih tempat maunya di tempat yang elit manja, maunya berangkat di jemput pulang diantar, tapi juga mau terjun ke masyarakat ke daerah daerah pedalaman, maka kita harus miris melihat keadaan seperti ini. Ada seorang ikhwah bercerita disuatu daerah pedalaman ada seorang minisionaris yang rela tinggal di pedalaman selama bertahun tahun, ia meninggalkan kehidupannya dikota ketika ditanya kenapa kau melakukan hal ini? Ia menjawab “Aku rela tinggal disini selama bertahun-tahun, mempelajari bahasa mereka, memahami karakter kehidupan dan lingkungan mereka supaya aku bisa menerjemahkan Injil kedalaman bahasa mereka.
Imam Qutaibah ketika ditanya tafsir Rabbaniyyun dalam Al-Qur’an Allah berfirman,

(مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن یُؤۡتِیَهُ ٱللَّهُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ یَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا۟ عِبَادࣰا لِّی مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَـٰكِن كُونُوا۟ رَبَّـٰنِیِّـۧنَ بِمَا كُنتُمۡ تُعَلِّمُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ وَبِمَا كُنتُمۡ تَدۡرُسُونَ)

Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah yan Rabbani, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!”
[Surat Ali ‘Imran 79]

Maka beliau menjawab,

هم العلماء المعلمون
“Mereka adalah Ulama yang mau mengajar”

3. عدم الإغترار بالدنيا و ما فيها

Tidak mudah ketipu dunia dan apa yang ada di dalamnya

Makanya Allah sampaikan dalam Al Quran,

(وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَىِٕمَّةࣰ یَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔایَـٰتِنَا یُوقِنُونَ)

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.
[Surat As-Sajdah 24]

Didalam ayat diatas ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang tokoh itu benar dan mendapat petunjuk Allah, yaitu memiliki sifat sabar dan yakin, dan kedua sifat ini harus ada dalam diri para ulama, agar dia selamat dari fitnah-fitnah yang menjerumuskan nya dari hal-hal yang dibenci oleh Allah swt.

Ibnu Qayyim dalam kitabnya Rasail ila ahadi ikhwanihi mengatakan, bahwa fitnah yang menimpa ulama dan para tokoh agama itu ada dua macam.

1. Fitnah Syahwat, yaitu syahwat jabatan, kekayaan dan popularitas maka untuk menghadapi fitnah ini harus dihadapi dengan sabar, sabar terhadap fitnah dunia. Bukan disebut ulama kalau masih tergiur dengan dunia, karena hakikat ulama itu idealisme mereka tidak mudah berubah hanya karena iming-iming dunia.

2. Fitnah syubhat, kita dapati banyak syubhat dalam islam yang digaungkan oleh ulama-ulama su’ ada ulama yang mengatakan jilbab itu tidak wajib hukumnya, syubhat boleh nya kepemimpinan non muslim bagi kaum muslimin dan lain sebagainya. Bahkan syubhat seperti ini yang pernah meluluhlantakkan kota Baghdad pada waktu itu yang menjadi pusat peradaban islam disebutkan dalam Kitab Al-Adab As-Sulthaniyah wa Ad-Duwal Al-Islamiyah yang ditulis Ibnu Ath-Thoqthoq, setelah meluluhlantakkan Kota Baghdad dan menenggelamkan kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama ke Sungai Dajlah, saat itu pasukan Tatar yang dipimpin panglima kafir yang dikenal bengis Hulagu Khan kemudian mengumpulkan para tokoh dan ulama.

Untuk mencari legitimasi kekuasaan dan demi meraih simpati rakyat Baghdad, Hulagu Khan kemudian bertanya kepada mereka, mana yang lebih baik pemimpin kafir tapi adil atau pemimpin muslim tapi dzalim? Maka dijawablah dengan lantang oleh seorang pemuka ulama Syiah Radhiuddin Ali bin Thawus;

الحاكم العادل الكافر أفضل على المسلم الجائر، ذلك بأن لنا عدل الكافر العادل عندما يحكم وعليه وزر كفره لوحده بينما لنا ظلم المسلم الجائر إذا حكم، وله لوحده إسلامه الذي يثاب عليه

“Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang dhalim. Karena keadilan pemimpin kafir untuk rakyatnya dan dosa kekafirannya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kedzaliman pemimpin muslim yang dzalim adalah untuk rakyatnya, sedangkan islamnya pahalanya untuk dirinya sendiri.”

Syubhat ini hanya bisa dilawan dengan sikap yakin terhadap kebenaran melalui ayat-ayat Allah.

Potret Salafus Shalih Ketika Berpisah Dengan Ramadhan

Oleh: Kholid Mirbah, Lc

Tinggal menunggu hitungan jam, kita akan berpisah dengan Ramadhan, bulan suci itu akan pergi meninggalkan kita, kita tidak tahu apakah tahun depan kita bisa kembali bertemu lagi bulan Ramadhan. Setiap detik hari-harinya begitu berharga, setiap hembusan nafas kita bernilai kebaikan di sisi Allah swt, menjaga amalan yang sunnah meningkat status pahalanya seperti menjaga amalan yang wajib, dan banyak sekali manfaat yang kita raup, serta pahala Allah yang dapat kita raih jikalau kita maksimal beribadah di dalamnya. Telah berakhir Bulan Shiyam dan Qiyam, berakhir pula bulan penuh rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka, berakhir pula nikmat yang sangat agung dalam hidup ini, yang belum tentu bulan suci tersebut kembali ke pangkuan kita. Sungguh datangnya bulan tersebut merupakan kabar gembira bagi para pendosa untuk meraih ampunan, pengabulan doa, pembebasan api neraka serta curahan kasih sayang Allah begitu terasa pada bulan tersebut.

Sungguh, berpisah dengan Ramadhan meninggalkan kesedihan dalam hati, duka serta nestapa yang mendalam, Bagaimana tidak sedih? Seseorang berpisah dengan kekasihnya untuk selama-lama nya, dan ia tidak tahu apakah nanti akan berjumpa lagi dengannya. Seolah-olah kepergiannya menjadi musibah besar sehingga tak jarang ia merasa sedih, pilu dan kehilangan.
Apakah kita sambut perpisahan itu dengan sikap futur dan malas atau kita sambut perpisahan tersebut dengan sikap yang dicontohkan oleh manusia-manusia terbaik, mereka adalah para salafus shalih kita, generasi terdepan di dalam kebaikan, mereka adalah generasi yang menyelaraskan antara kesungguhan amal dengan ilmu dan perhatian agar diterimanya amal setelah itu serta khawatir jikalau amalan mereka tertolak.

Maka, para salafus shalih telah menunjukkan sebuah kepribadian yang istimewa serta semangat yang membara tatkala mereka memasuki bulan Ramadhan, diantara buktinya sebagaimana yang di jelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali ra,

كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان، ثم يدعون الله ستة أشهر أن يتقبله منهم

Enam bulan sebelum Ramadhan menjelang, mereka berdoa dengan giat agar disampaikan kepada bulan agung ini. Sedangkan enam bulan sesudahnya, mereka sangat gigih berdoa agar segenap amalan mereka diterima Allah Subhanahu Wata’ala (Lathâ`ifu al-Ma’arif, 209).

Sungguh mereka menunjukkan kesedihan dan duka yang mendalam ketika ramadhan berada di penghujung bulan, mereka berusaha saling menasehati agar tidak kendor dalam ibadah dan senantiasa istiqomah diatas ketaatan pada bulan-bulan setelahnya, karena semua bulan di sepanjang tahun bagi setiap mukmin adalah musim-musim ibadah, bahkan seluruh umur kita adalah musim-musim untuk melaksanakan ketaatan.

Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali ra, ketika berkisah tentang kesedihan para salafus shalih yang akan berpisah dengan Ramadhan,

خرج عمر بن عبد العزيز -رحمه الله- في يوم عيد فطر، فقال في خطبته: “أيها الناس، إنكم صمتم لله ثلاثين يومًا، وقمتم ثلاثين ليلة، وخرجتم اليوم تطلبون من الله أن يتقبل منكم”. وكان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر، فيقال له: إنه يوم فرح وسرور. فيقول: صدقتم، ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملاً، فلا أدري أيقبله مني أم لا؟

Suatu saat, Umar bin Abdul Aziz RA keluar rumah di hari Idul Fitri. Dalam khutbahnya beliau menandaskan, “Wahai rakyatku sekalian! Kalian telah berpuasa karena Allah Subhanahu Wata’ala selama tiga puluh hari. Demikian juga telah menunaikan shalat malam tiga puluh hari. Hari ini kalian keluar untuk memohon kepada Allah agar semua amalan diterima.” Pada momen demikian, ada seorang salaf yang menampakkan kesedihan. Kemudian ia ditanya, “Bukankah ini hari kegembiraan dan kesenangan?” Ia menjawab, “Benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba yang Allah perintahkan melakukan amalan. Sedangkan aku tidak tahu apakah amalan itu diterima atau tidak? Itulah yang membuatku sedih.”

ورأى وهب بن الورد قومًا يضحكون في يوم عيد، فقال: إن كان هؤلاء تقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الشاكرين، وإن كان لم يتقبل منهم صيامهم فما هذا فعل الخائفين. وعن الحسن قال: إن الله جعل شهر رمضان مضمارًا لخلقه يستبقون فيه بطاعته إلى مرضاته، فسبق قوم ففازوا، وتخلف آخرون فخابوا، فالعجب من اللاعب الضاحك في اليوم الذي يفوز فيه المحسنون، ويخسر فيه المبطلون.

Fenomena lain yang tak kalah menarik, ketika Wahab bin al-Warad melihat suatu kaum yang tertawa di hari Idul Fitri, ia berkomentar, “Jika puasa mereka diterima, bukan seperti ini kondisi orang yang bersyukur. Jika tidak diterima, maka bukan demikian perbuatan orang yang takut.”
Diriwayatkan dari Al-Hasan ia berkata :”Sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai Arena Pacuan, siapa saja yang finish duluan dia yang menang, sedangkan yang tertinggal mereka pasti kalah, maka sangat mengherankan peserta lomba yang hanya tertawa dihari kemenangan bagi orang-orang yang baik dan kekalahan bagi orang-orang jahat.”

Bayangkan! Tertawa di bulan kemenangan saja, menjadi aib tersendiri bagi ulama salaf. Bagi mereka, Idul Fitri bukanlah momentum untuk meluapkan kegembiraan, justru untuk evaluasi diri apakah amalan sepanjang Ramadhan diterima Allah Subhanahu Wata’ala.

Beliau melanjutkan,

وروي عن علي رضي الله عنه أنه كان ينادي في آخر ليلة من شهر رمضان: يا ليت شعري من هذا المقبول فنهنِّيه، ومن هذا المحروم فنعزِّيه! وعن ابن مسعود أنه كان يقول: من هذا المقبول منا فنهنِّيه، ومن هذا المحروم منا فنعزيه، أيها المقبول، هنيئًا لك! أيها المردود، جبر الله مصيبتك”

Khalifah Keempat Ali RA memiliki kebiasaan unik. Pada akhir malam bulan Ramadhan beliau berseru, “Duhai, siapakah yang diterima amalnya lalu kita beri ucapan selamat kepadanya. Siapa pula yang tidak diterima amalnya, lalu kita berkabung untuknya.”
Begitupula Ibnu Mas’ud berkomentar “siapakah orang yang diterima amalnya lalu kita ucapkan selamat kepadanya? Dan siapa yang tidak diterima amalnya lalu kita berkabung untuknya. Wahai orang yang diterima, selamat dan sukses untuk kalian. Wahai orang yan tertolak? Allah telah memperbaiki musibah kalian.” (Lathaiful Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hanbali, 209, 210).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saat Ramadhan berakhir, mereka merasa sangat kehilangan. Mereka berada dalam kondisi harap-harap cemas apakah amalan-amalan selama Ramadhan diterima Allah. Di samping itu, akhir Ramadhan dijadikan momentum introspeksi diri dan wahana untuk saling menasehati agar tetap beramal kebaikan walau di bulan-bulan lain. Wallâhu a’lam

Tiga Macam Kelompok Manusia Di Bulan Ramadhan

Allah swt memberikan kemuliaan yang begitu besar kepada bulan Ramadhan, makanya didalam bulan tersebut disyariatkan berbagai macam ibadah dan ketaatan, termasuk puasa dengan harapan manusia mencapai derajat takwa. Namun, tetap saja di bulan ini ada beberapa golongan manusia yang tidak sesuai dengan tujuan puasa, setidaknya ada tiga kelompok manusia di bulan Ramadhan.

Ahli tafsir Imam Qatada, seperti yang dinukil oleh Imam At-Thabari, menjelaskan bahwa manusia itu terbagi ke dalam tiga kelompok, baik di dunia, ketika meninggal dunia, dan nanti diakhirat. Di dunia manusia terbagi ke dalam kelompok mukmin, munafik dan musyrik. Sedangkan ketika meninggal dunia maka sesuai dengan firman Allah SWT:

فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ فَسَلامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ فَنزلٌ مِنْ حَمِيمٍ وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ

“Adapun jika Dia (orang yang mati) Termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta jannah kenikmatan, dan Adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan, dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam Jahannam”. (QS. Al-Waqiah: 88-94)

Adapun diakhirat, maka manusia juga terbagi kedalam tiga kelompok sesuai dengan firman Allah SWT:

فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ

“Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu, dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu, dan orang-orang yang beriman paling dahulu”. (QS. Al-Waqiah:8-10)

Menurut Imam At-Thabari, penjelasan Imam Qatadah ini lebih mengarah kepada sebuah kesimpulan bahwa orang-orang yang termasuk dalam katagori zholim pada ayat QS. Fathir: 32 itu tempatnya di neraka. Namun kita juga tidak menutup mata bahwa ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang zholim tetap berada di syurga selagi mereka tidak mensyirikkan Allah SWT, ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan selainnya walau keberadaannya di surga bisa jadi setelah sebelumnya diadzab dulu di neraka, demikian kesimpulan dari Imam At-Thabari pada akhirnya.

Sehingga sikap seorang muslim yang moderat seharusnya terdepan dalam kebaikan, dia harus menjadi pribadi yang terbaik dan menjadi qudwah hasanah dalam melaksanakan perintah Allah, jangan sampai menganggap ibadah adalah beban hidup yang hanya dikerjakan sebatas agar gugur dari tanggungannya, dan lebih menyedihkan lagi apabila dia tidak peduli lagi dengan perintah dan larangan Allah, maka ia termasuk pribadi yang zalim, maka Allah membagi jenis manusia dalam kaitannya menyambut seruan Allah swt di dalam Al Quran menjadi tiga kelompok.
Allah berfirman dalam Surat Fatir ayat 32:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Artinya:

”Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS. Fatir: 32)

Maka dalam kaitannya dengan ibadah Ramadhan, jika kita analogikan dengan ayat diatas, Ada tiga golongan manusia dalam menyikapi bulan Ramadhan sebagaimana dijelaskan Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir dalam bukunya “Bekal Ramadhan dan Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan”, diantara mereka:

1. Kelompok Zhalim.

Mereka ini adalah orang-orang yang kurang sekali perhatiannya terhadap bulan Ramadhan. Bagi mereka kedatangan Ramadhan dianggap biasa-biasa saja dan dianggap sebagai beban. Kelompok ini menyamakan bulan Ramadhan dengan bulan-bulan yang lainnya.

Mereka berpuasa, tapi hanya sebagian saja, lalu sebagian lainnya mereka tinggalkan bukan karena alasan yang diperbolehkan.

Sehingga kewajiban berpuasa tidak dijalankan dengan sempurna. Bisa jadi mereka berpuasa penuh selama satu bulan, namun hari-hari mereka meninggalkan salat fardhu, banyak tidur. Inilah kezhaliman mereka untuk diri masing-masing.

Di akhirat kelak nasibnya akan menyedihkan, walaupun kita tetap berharap ampunan dan kasih sayang Allah. Orang-orang seperti ini harus diingatkan dan diajak dengan baik agar menyadari pentingnya beramal saleh di bulan Ramadhan.

2. Muqtashid (Pertengahan).

Mereka adalah orang-orang yang bergembira menyambut hadirnya bulan Ramadhan. Rasa gembira itu semakin menjadi-jadi karena setelah itu bakal ada libur panjang. Ada kesadaran bergama bahwa di Ramadhan waktunya untuk menghapus dosa dan mengambil banyak pahala untuk bekal di akhirat kelak. Namun, padatnya aktivitas dan kurang mantapnya iman, membuat mereka lalai mengerjakan ibadah-ibadah sunnah.

Kelompok pertengahan ini terkadang meninggalkan ibadah salat tarawih dan witir ataupun salat rawatib qabliyah dan badiyah. Dalam satu hari itu ada rasa malas untuk membaca Al-Qur’an, sehingga target bacaan Al-Qur’an tidak tercapai. Mereka juga full berpuasa, namun ada di antara mereka yang kesehariannya terlalu banyak tidur. Amalan-amalan sunnah Ramadhan tidak begitu diperhatikan.

3. Sabiqun Bil Khairat (Berpestasi).

Kelompok ketiga ini disebut dengan istilah orang-orang berprestasi karena memang mereka adalah orang-orang yang berusaha meninggalkan perkara haram dan makruh. Mereka juga meninggalkan sebagian perkara mubah demi kesempurnaan ibadah puasa yang mereka jalankan.

Mereka ini sebenarnya bukan hanya berprestasi di bulan Ramadhan, namun di luar Ramadhan mereka adalah orang-orang berprestasi. Kerinduan mereka kepada Ramadhan membuat mereka selalu berdoa sepanjang bulan kepada Allah.

Golongan manusia ini disifati oleh Allah sebagi orang yang bertakwa dalam satu ayat:

(كَانُوا۟ قَلِیلࣰا مِّنَ ٱلَّیۡلِ مَا یَهۡجَعُونَ ۝ وَبِٱلۡأَسۡحَارِ هُمۡ یَسۡتَغۡفِرُونَ)

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum Fajar.” (QS. Adz-Dzariyat: 17-18). Kualitas ibadah mereka jangan ditanya.

Salat malam tidak pernah ketinggalan. Ibadah sosial mereka juga sangat kuat. Mereka sangat dermawan di bulan Ramadhan. Seluruh anggota badan mereka berpuasa, mata berpuasa dari melihat hal-hal yang dilarang oleh Allah. Begitu juga dengan telinga, lidah, bibir, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh lainnya tidak bermaksiat kepada Allah.

(Diringkas dari buku “Bekal Ramadhan dan Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan”, karya Muhammad Saiyid Mahadhir hal 38-47)

Hakikat Ucapan Jazakallah Khairan

Islam tak hanya mengajarkan bersyukur kepada Allah, tetapi juga menuntun untuk mengucapkan terima kasih kepada sesama manusia. Terutama yang berbuat baik. Apalagi jika itu adalah orang tua.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan terima kasih kepada sesama manusia sebagai indikator syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah, siapa yang tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud; shahih)

Lalu bagaimana ucapan terima kasih terbaik ketika ada seseorang yang berbuat baik kepada kita? Apakah ucapan syukran seperti yang kita dengar? Ternyata bukan. Meskipun kata syukran juga boleh dan baik. Namun ada yang lebih baik,
Apa itu? Yaitu kata Jazakallah Khairan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

“Barangsiapa diperlakukan baik oleh orang lain kemudian ia berkata kepadanya jazakallah khairan, maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya.” (HR. Tirmidzi, Al Albani berkata: “shahih”)

Nah, apa saja keutamaan ucapan Jazakallah Khairan, diantaranya adalah:

1. Ucapan terimakasih terbaik.

Dibandingkan dengan ucapan “terima kasih”, “syukran”, “thank you”, “matursuwun”, dan lainnya, ucapan jazakallah khairan adalah yang terbaik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

“Barangsiapa diperlakukan baik oleh orang lain kemudian ia berkata kepadanya jazaakallah khairan, maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya.” (HR. Tirmidzi, Al Albani berkata: “shahih”)

2. Sunnah Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam.

Ucapan terima kasih dengan jazakallah khairan adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengajarkan ucapan ini dan para sahabat juga mengamalkannya.

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Jika seseorang berkata kepada saudaranya “jazaakallah khairan” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya. (HR. Thabrani, Al Albani berkata: “shahih li ghairihi”)

3. Ucapan doa

Rasulullah mengajarkan, ketika mendapat kebaikan atau hadiah dari orang lain, hendaklah kita membalasnya dengan kebaikan dan hadiah pula. Namun jika belum bisa, minimal dengan ucapan terima kasih dan mendoakannya.
Ucapan jazakallah khairan, jazakillah khairan dan jazakumullah khairan merupakan ucapan terima kasih sekaligus doa untuk orang yang telah memberi hadiah dan kebaikan untuk kita.

وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

“Dan barangsiapa yang berbuat kepada kalian maka balaslah. Jika ia tidak mendapati sesuatu untuk membalasnya, maka doakanlah ia, sampai kalian melihat bahwa kalian sudah membalasnya.” (HR. Abu Daud)

4. Mendapat doa

Ketika kita berterima kasih dengan cara mengucapkan doa ini, maka kita pun akan mendapatkan jawaban dengan didoakan kembali. Kalaupun tidak dijawab oleh orang tersebut, malaikat yang akan menjawabnya dengan mendoakan kita.

Jawaban Jazakallah Khairan.

Bagaimana jawaban atau balasan jika kita mendapat ucapan jazakallah khairan dan sejenisnya?
Karena ini doa, kita bisa menjawab dengan mengaminkan doa tersebut. Misalnya “aamiin” atau “aamiin ya Rabb.” Kadang pula dijawab dengan “afwan” yang merupakan jawaban dari “syukran”.
Namun yang lebih utama adalah membalas dengan mendoakannya pula. Tidak hanya mengaminkan doanya. Sering kali, jawaban dalam bentuk mendoakan ini dengan ucapan “waiyakum” yang artinya “dan demikian pula bagimu.” Namun ini umum dan ada yang lebih baik lagi, yakni yang kita dapatkan dari hadits.
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam An Nasa’i dan Ibnu Hibban, ketika Usaid bin Hudhair mewakili kaum Anshar berterima kasih kepada Rasulullah dengan jazakallah khairan, Rasulullah menjawabnya dengan ucapan:

وَأَنْتُمْ مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ فَجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

“Dan kamu sekalian wahai kaum Anshar, semoga Allah juga membalasmu dengan kebaikan.”
Jadi, balasan jazakallah khairan yang dicontohkan Rasulullah adalah:

فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا

Artinya: Semoga Allah juga membalasmu dengan kebaikan
Ucapan di atas sebagai jawaban jika yang mengucapkan jazakallah khairan adalah laki-laki.
Sedangkan untuk perempuan, jawaban untuknya adalah:

فَجَزَاكِ اللهُ خَيْرًا

Artinya: Semoga Allah juga membalasmu dengan kebaikan
Adapun jika yang menyampaikan ucapan terima kasih itu orang banyak atau mewakili orang banyak, jawaban untuk mereka adalah:

فَجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Artinya: Semoga Allah juga membalas kalian dengan kebaikan

I’tikaf di Bulan Ramadhan di Rumah Ditengah Pandemi Virus Corona

Oleh : Kholid Mirbah, Lc

Di tengah pandemi wabah Covid-19 ini kita dituntut untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing, dan begitu pula mayoritas negara-negara di dunia, termasuk indonesia, melarang para warganya untuk mengadakan kegiatan yang mengundang perkumpulan masa dalam rangka untuk memutus rantai penyebaran covid-19, terlebih lagi mereka yang tinggal di zona merah seperti kami yang tinggal di Cibubur, Bekasi dan sekitarnya pun tak lepas dari himbauan ini, termasuk dalamnya dilarang menyelenggarakan ibadah shalat berjamaah bagi kaum muslimin di masjid-masjid, maka kita saksikan pemandangan bulan Ramadhan pada tahun ini dimana banyak masjid-masjid yang kosong dari aktivitas ibadah didalamnya termasuk berjamaah lima waktu, shalat tarawih dan juga kegiatan beritikaf di dalam masjid.

Maka sebagian dari kami berinisiatif untuk melakukan berbagai kegiatan Ramadhan di rumah masing-masing, dengan mengkhususkan satu ruangan tertentu untuk dijadikan sebagai masjid atau dikenal masjid al-bait/mushalla rumah, sehingga dapat digunakan untuk shalat berjamaah, membaca Al-Quran, berzikir termasuk I’tikaf sebagai upaya menghidupkan sunnah-sunnah di bulan Ramadhan. Nah apakah I’tikaf semacam ini diperbolehkan, tentunya dengan mengesampingkan masjid sebagai salah satu syarat sah I’tikaf yang termaktub dalam firman Allah swt

وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِی ٱلۡمَسَـٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ

Te-tapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
[Surat Al-Baqarah 187]

Nah sebelum kita membahas permasalahan tersebut lebih lanjut, maka alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengupas tentang hakikat I’tikaf.

a. Pengertian I’tikaf

I’tikaf secara bahasa adalah al-muktsu wal ihtibas yaitu menahan dan mengekang diri, maksudnya adalah menahan diri untuk mengerjakan aktivitas yang biasa ia lakukan.
Adapun secara istilah fuqaha’, diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Sulaiman Al-Bajirimi dalam Hasyiatihi ala Syarhi Minhajut Thullab, (2/91)

الإعتكاف هو أن يمكث المسلم في المسجد بنية العبادة

I’tikaf adalah seorang muslim berdiam diri dan menetap di dalam Masjid dengan niat ibadah.

Al-Imam Ibnu Qudamah didalam kitab Al-Mughni (3/186) mendefinisikan I’tikaf secara bahasa adalah,

الإعتكاف في اللغة لزوم الشيئ وحبس النفس عليه برا كان أو غيره

I’tikaf secara bahasa adalah diamnya sesuatu dan menahan diri dari perbuatan baik maupun yang buruk, diantara makna I’tikaf tersebut disebutkan di dalam firman Allah swt,

a. Ketika Nabi Ibrahim as menasehati ayahnya dan kaumnya agar menjauhi berhala,
Allah berfirman,

(إِذۡ قَالَ لِأَبِیهِ وَقَوۡمِهِۦ مَا هَـٰذِهِ ٱلتَّمَاثِیلُ ٱلَّتِیۤ أَنتُمۡ لَهَا عَـٰكِفُونَ)

(Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beri’tikaf disamping nya (menyembahnya)?”
[Surat Al-Anbiya’ 52]

b. Kisah Bani Israil yang berniat kembali musyrik setelah diselamatkan oleh Allah swt dari kejaran Firaun dan pengikut nya.

(وَجَـٰوَزۡنَا بِبَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡا۟ عَلَىٰ قَوۡمࣲ یَعۡكُفُونَ عَلَىٰۤ أَصۡنَامࣲ لَّهُمۡۚ قَالُوا۟ یَـٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُونَ)

Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”
[Surat Al-A’raf 138]

Sedangkan secara istilah syariat beliau kemukakan tentang I’tikaf,

الإعتكاف هو الإقامة في المسجد على صفة نذكرها وهو قربة وطاعة

I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam tujuan yang bersifat mendekatkan diri dan melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.

b. Dalil Pensyari’atan I’tikaf

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

-Firman Allah ta’ala,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

-Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri ketika sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.

Dalil dari sunnah

-Hadits dari Aisyah ra, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”(HR. Bukhari Muslim)

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah,
-Imam Muhyiddin An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu'(6/475)

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.

c. Hikmah dibalik syariat I’tikaf

Imam As-Shawi dalam kitab Bulghatus Salik li aqrabil Masalik hal. 469 dalam Bab Al-I’tikaf ketika menjelaskan hikmah I’tikaf beliau berkata,

وكان من حكمة مشروعيته تصفية مرآة العقل والتشبه بالملائكة الكرام في وقته، أتبعه بالكلام على الاعتكاف التام الشبه بهم في استغراق الأوقات في العبادات، وحبس النفس عن الشهوات، وكف اللسان عما لا ينبغي“.

Diantara hikmah disyariatkannya I’tikaf adalah untuk Menjernihkan akal dan menyerupai keadaan para malaikat yang mulia, Kesamaan antara orang yang I’tikaf dengan para malaikat adalah didalam totalitas seluruh waktu digunakan untuk beribadah, menahan diri dari syahwat dan menahan lisan dari ucapan yang tak pantas.

Beliau lanjutkan,

“فـالاعتكاف فيه تسليم المعتكف نفسه بالكلية إلى عبادة الله تعالى طلب الزلفى ، وإبعاد النفس من شغل الدنيا التي هي مانعة عما يطلبه العبد من القربى ، وفيه استغراق المعتكف أوقاته في الصلاة إما حقيقة أو حكما ، لأن المقصد الأصلي من شرعية الاعتكاف انتظار الصلاة في الجماعات ، وتشبيه المعتكف نفسه بالملائكة الذين لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون ، ويسبحون الليل والنهار لا يفترون”.

“Maka I’tikaf hakikatnya ia berserah diri kepada Allah swt secara totalitas dalam beribadah, menjauhkan diri dari kesibukan dunia, dan didalamnya orang yang sedang I’tikaf menghabiskan waktunya dalam rangka menunaikan shalat, baik itu secara hakikat atau hukum. Karena tujuan utama dari syariat I’tikaf adalah menunggu waktu shalat berjamaah, menyamai kepribadian para malaikat yang tidak pernah bermaksiyat kepada perintah Allah swt, mengerjakan semua yang diperintahkan kepada mereka, senantiasa bertasbih kepada Allah siang malam dan tidak pernah merasa bosan.

d. Hukum I’tikaf

I’tikaf dibulan Ramadhan dan di bulan selainnya hukumnya sunnah, sehingga bagi pelakunya dapat pahala di sisi Allah swt, hanya saja status hukum sunnah ini dapat berubah menjadi wajib karena menjadi nazar bagi pelakunya.
Imam Ibnu Munzir dalam kitab Al-Ijma hal. 7.

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”
Dan itu senada dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, beliau bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya (HR. Bukhari).

e. Syarat dan rukun I’tikaf

Sebelum melakukan i’tikaf, penting untuk memperhatikan syarat dan rukunnya, antara lain sebagai berikut:

Pertama, niat, dalam i’tikaf harus ada niat sehingga orang yang melakukannya paham apa yang harus dilakukan, tidak melamun, dan pikiran tidak kosong.

نويت الاعتكاف لله تعالى
“Saya niat I’tikaf karena Allah swt”

Kedua, diam di dalam masjid dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang beri’tikaf, sebagaimana firman Allah SWT “…Tetapi, jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS Al-Baqarah: 187).

Orang yang melakukan i’tikaf harus muslim, berakal, suci dari hadas besar (haid, nifas, keluar mani) dan harus di masjid.

f. Waktu I’tikaf

I’tikaf itu disyari’atkan setiap waktu, namun lebih ditekankan lagi di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan suci tersebut. Sedangkan bagi seseorang yang berniat itikaf di sepuluh malam terakhir maka hendaklah dia memasuki masjid atau memulai itikafnya sebelum terbenam matahari di malam 21 Ramadhan, sebagaimana pendapat jumhur ulama.

g. I’tikaf bagi wanita.

Para Ulama telah bersepakat tentang sahnya wanita untuk beri’tikaf, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang tempat mereka harus beri’tikaf,

-Jumhur ulama mengatakan bahwa wanita diwajibkan I’tikaf di masjid, karena adanya riwayat dari Ibnu Abbas ra ketika beliau ditanya tentang wanita yang bernazar untuk beri’tikaf di rumahnya, maka beliau menjawab, “Bid’ah, dan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah membuat bid’ah. Maka, tidak sah I’tikaf kecuali didalam masjid yang didalam nya ditegakkan shalat jamaah, karena rumah tidak sama dengan masjid baik itu secara hakikat maupun hukum, karena dirumah orang yang sedang junub boleh berdiam diri sedangkan di masjid tidak diperbolehkan, seandainya hal itu boleh niscaya istri-istri Rasul saw pasti melakukannya walaupun hanya sekali, namun kita tak mendapatkan riwayat semacam itu.

-Adapun kelompok Hanafiyah dan pendapat imam Syafi’i dalam qoul qadim memperbolehkan wanita untuk I’tikaf di rumahnya (ruangan khusus untuk ibadah di dalam rumah/mushalla rumah), karena memang ruangan itu tempat khusus untuk ia shalat, dan makruh bagi ia untuk I’tikaf di masjid jami’ yang dipakai untuk shalat berjamaah, mereka berpendapat bahwa Rumah itu lebih afdhol baginya dari pada masjid kampungnya, sedangkan masjid kampungnya itu lebih afdhol baginya dari pada masjid kota. Dan tidak diperbolehkan bagi wanita untuk I’tikaf diselain ruangan khusus untuk shalat di rumahnya. Adapun bagi laki-laki seluruh ulama bersepakat bahwa I’tikaf nya harus di masjid, karena masjid adalah salah satu rukun dalam I’tikaf. Sekalipun demikian Ibnu Lubabah Al-Maliki memiliki pendapat berbeda yaitu kebolehan I’tikaf bukan di masjid seperti yang dikatakan oleh Ibnu Bazizi Al-Maliki: “Dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa I’tikaf yang syar’i tidak sah kecuali di masjid, dan Ibnu Lubabah mengatakan sah di selain masjid”. Begitu pula sebagian ulama Malikiyah memperbolehkan Itikaf bagi lelaki dan wanita di rumah, karena I’tikaf itu hukumnya sunnah, dan perkara yang sunnah lebih baik dilaksanakan di rumah (Raudhatul Mustabin juz 1 hal 548)

h. Bagaimana sikap kita I’tikaf dirumah atau di masjid di tengah pandemi covid-19 ini?

Tidak diragukan lagi bahwa Masjid sebagai bagian rukun dari I’tikaf tidak terbantahkan lagi karena adanya nash dari Al Quran dan Hadits, perbuatan Rasulullah saw dan para sahabatnya, dan memang di masjid lah tercapai tujuan I’tikaf yaitu menahan diri dari syahwat dan totalitas dalam beribadah, adapun I’tikaf seorang lelaki di rumahnya mencegah nya untuk meraih maksud dan tujuan I’tikaf itu sendiri.
Hanya saja karena keadaan yang mendesak kau muslimin untuk tetap tinggal dirumah dalam rangka pencegahan tertular wabah virus covid-19, maka jumhur ulama merajihkan pendapat dari ulama Malikiyah dengan catatan:

a. I’tikaf hanya boleh dilakukan diruangan khusus untuk shalat dan ibadah/mushalla rumah, tidak boleh dilakukan disetiap ruangan yang ada di rumah.
b. Ia harus komitmen I’tikaf di mushalla rumah dengan tidak keluar darinya kecuali karena hal yang sangat mendesak, seperti buang air dan lainnya, adapun ia keluar masuk keliling rumah maka ini bukanlah I’tikaf.
c. Menyibukkan diri dengan berbagai ibadah sewaktu I’tikaf di mushalla rumahnya seperti membaca Al Quran, berzikir, shalat, sehingga dengannya terwujud maksud dan tujuan I’tikaf
d. Ikhtiyar seperti ini dibangun karena menyesuaikan kondisi yang ada, namun ketika uzur ini telah hilang maka kembali kepada hukum asal yaitu I’tikaf harus di masjid, kecuali bagi wanita yang sebagian ulama memperbolehkan I’tikaf di mushalla rumahnya.
e. Pendapat yang mengatakan bolehnya I’tikaf di rumah itu lebih mengacu pada sisi maslahatnya, karena dalam rangka menjaga syiar dibulan Ramadhan, dan dalam Kaidah fiqih dikatakan,

” الإعمال مع سقوط بعض الشروط أولى من الإسقاط بالكلية”

Mengamalkan suatu amalan dengan menggugurkan sebagian syarat-syarat nya itu lebih baik dari pada meninggalkan amalan tersebut secara totalitas.

Wallahua’lam bish Shawab!

Keutamaan Malam Lailatul Qadar

Setiap muslim pasti merindukan malam yang agung dan mulia, Lailatul Qadar. Malam ini hanya hadir setahun sekali. Orang yang beribadah sepanjang tahun sudah barang tentu lebih mudah mendapatkan kemuliaan malam tersebut karena ibadahnya rutin dibanding dengan orang yang beribadah jarang-jarang.
Maka betapa spesialnya malam Lailatul Qadar, Sampai Imam Ibnu Qayyim berkata;

لـو كانـت ليلـة القـدر بالسنـة ليلـة واحـدة لقمـت السنـة حتى أدركهـا فمـا بالـك بعشـر ليـال

“Jika seandainya Lailatul Qadar itu harus dicari sepanjang tahun, maka niscaya aku akan menghidupkan seluruh (malam) dalam satu tahun sehingga aku bisa mendapatkan nya. Lalu bagaimana pendapatmu apabila malam Lailatul Qadar terjadi hanya pada 10 hari (terakhir di bulan Ramadhan).” {Bada’iul Fawaid,55}

Nah, apa saja keutamaan malam lailatul qadar itu?

1- Lailatul Qadar adalah waktu dimana Al Qur’an diturunkan, sebagaimana firman Allah,

إِنَّاۤ أَنزَلۡنَـٰهُ فِی لَیۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar.
[Surat Al-Qadar 1]

Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Sungguh keutamaan yang agung.

2- Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan
Allah Ta’ala berfirman,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3).

An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan yang besar dalam Lailatul Qadar.

3- Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar.
Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4)

Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya keberkahan pada malam tersebut. Karena memang, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)

Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.

3- Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5)

yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang diselamatkan dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.

4- Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan.
Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3).

Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.

6- Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan
Allah Ta’ala berfirman,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhohak dan ulama salaf lainnya.

7- Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Lihat Fathul Bari, 4: 251)

Maka Bagaimana Petunjuk Nabi saw untuk meraih kemuliaan malam tersebut?

1. Bersungguh-sungguh dalam menghidupkan malamnya, baik dengan sholat tarawih berjama’ah, shalat tahajjud, membaca Al-Qur’an, berdzikir, sedekah ataupun dengan ketaatan dan amal sholeh lainnya, dan juga Membangunkan istri dan anak-anak di malam tersebut,
Ini sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah –radhiyallahu’anha-, beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), Beliau mengencangkan sarung Beliau, menghidupkan malamnya dengan ber’ibadah dan membangunkan keluarga Beliau” (HR Bukhari),

2. Nabi shallallahu’alaihi wasallam sangat bersungguh-bersungguh dalam beribadah di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan lebih dari hari-hari sebelumnya, Aisyah berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR Muslim).

3. Bersungguh-sungguh dalam mencari dan mendapatkan malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, Beliau bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan” (HR Bukhari).

4. Nabi –shallallahu’alaihi wasallam- memerintahkan mencarinya pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, Beliau bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan”(HR Bukhari).

5. Jika tidak sempat mencarinya atau tidak mampu di 10 hari penuh maka janganlah terlewatkan darinya di 7 hari terakhir bulan ramadhan, Rasulullah –shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

“Carilah ia pada sepuluh terakhir (Ramadlan), yakni Lailatul Qadr. Maka jika salah seorang dari kalian tidak sempat atau tidak mampu, maka jangan sampai terlewatkan tujuh malam terakhir.” (HR Muslim).

6. Sahabat Ubay bin ka’ab menetapkan malam lailatul qadr pada hari ke 27 ramadhan, beliau berkata:

والله إني لأعلم أي ليلة هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين

“Demi Allah aku mengetahui, pada malam apa, malam lailatul qadr itu yang Nabi memerintahkan kita untuk menghidupkannya, ia adalah malam ke 27 ramdhan” (HR Muslim).

Dan pendapat yang paling rojih adalah, bahwa tepatnya malam lailatul qadar tidak dikhususkan dan tentukan pada waktu tertentu, pada malam ke berapa setiap tahunnya, akan tetapi waktunya berpindah-pindah sesuai kehendak Allah, dan ia pasti berada di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, dan hikmah disembunyikan malamnya agar kaum muslimin memanfaatkan penuh di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, bukan hanya di malam-malam tertentu.

7. Bersungguh-sungguh dalam ber’itikaf di sepuluh hari terakhir, Sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya” (HR Bukhari).

8. Memperbanyak doa pada malam-malam tersebut, dengan doa:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah sesungguhnya engkau maha pengampun, yang suka mengampuni, maka ampunilah atas dosa dosa kami.

Mudah-mudahan kita dipertemukan dengan malam lailatul qadar, dan diberikan kesempatan untuk memaksimalkan segala ibadah di dalamnya sehingga kita termasuk hamba Allah yang beruntung dengan menuai banyak kebaikan dan pahala di dalamnya.

Disusun dan diringkas oleh Ustadz Khalid, Lc
Dari berbagai sumber.

Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Sekolah Ramadhan

Oleh : Kholid Mirbah, Lc

Waktu semakin cepat berputar, tak terasa kita kembali berjumpa dengan bulan Ramadhan padahal rasanya baru kemarin sore kita berjumpa dengan Ramadhan, kaum muslimin bersuka cita dengan kedatangan bulan suci tersebut, mereka berlomba-lomba dalam keta’atan dan bersegera dalam kebaikan.

Maka sudah barang tentu bulan yang istimewa ini terkumpul di dalamnya berbagai peristiwa agung, pelajaran, nasehat, ibadah yang tidak ada di bulan-bulan selain Ramadhan.

Maka di bulan suci ini adalah Bulan permulaan wahyu turun, artinya bahwa awal hidayah turun kepada umat ini adalah di bulan Ramadhan, dan Hidayah adalah sebaik-baiknya nikmat Allah secara mutlak, maka kita tidak akan mendapatkan hidayah iman ini kecuali dari jalur permulaan wahyu yang turun kepada Nabi saw di bulan Ramadhan, sehingga Ramadhan disebut Sebagai Syahrul Hidayah. maka renungkanlah baik-baik!

Sudah sepatutnya bagi setiap muslim yang mendapati bulan Ramadhan untuk mengambil pelajaran dan memetik hikmah dibalik keistimewaan bulan Ramadhan, supaya ia tidak menyia-nyiakan keagungan dan kebaikannya serta tidak terhalang dari keutamaan dan pahala yang besar di dalamnya.

Nah, Pelajaran apa saja yang bisa kita dapatkan selama bulan Ramadhan? Diantaranya adalah:

1. Ramadhan adalah Syahrut Tarbiyah,

Yaitu mendidik dan menggembleng kaum muslimin me jadi insan-insan yang mulia, yaitu dengan pembekalan ibadah yang maksimal, pengajaran akhlak mulia, penyucian jiwa dan pelaksanaan ibadah yang bervariasi. Maka proses pendidikan ini akan melahirkan sifat serta tabiat yang terpuji diantaranya adalah belajar mengendalikan diri, disiplin dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, belajar menghargai, membiasakan diri berbagi dan lain sebagainya.
Maka dibulan Ramadhan ini Allah menyuguhkan berbagai macam ketaatan dan amal shalih yang harus kita kerjakan, supaya kita terbiasa dengan amal-amal kebaikan tersebut sehingga pengaruh pendidikan itu tidak hanya dirasakan dibulan Ramadhan saja tetapi buah positif pendidikan Ramadhan tersebut juga akan kita rasakan seusai bulan Ramadhan.

2. Ramadhan adalah Syahru at-Taqwa.

Bulan Ramadhan akan melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang bertakwa, karena segala ibadah yang dilakukan dibulan Ramadhan pada hakikatnya dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga dari situlah memudahkan seseorang untuk menggapai prestasi ketakwaan kepada Allah, termasuk diantaranya adalah puasa,

(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ)

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, [Surat Al-Baqarah 183]

Maka puasa hakikatnya mendidik seorang muslim untuk menjadi pribadi yang bertakwa, dan diantara bagian dari sifat takwa adalah menjauhi perkara yang haram dan dosa.
Tidaklah kita tahu bahwa hamba Allah yang sedang berpuasa itu meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Allah swt, takut akan azab-Nya dan berharap pahala dari-Nya, ini adalah contoh kecil dari pelajaran takwa.
Karena hakikat takwa pada dasarnya adalah

طاعة الله بامتثال أمره و اجتناب نهيه على علم و بصيرة

“Mentaati Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya diatas ilmu (ilmu syar’i).
Maka dari itu sebagian ulama menafsirkan makna Taqwa dengan:

أن تعبد الله على نور من الله ترجو ثواب الله و أن تترك ما حرم الله على نور من الله و تخشى عقاب الله

Artinya: “Engkau sembah Allah diatas cahaya dari Allah lalu engkau mengharap pahala dari Nya, dan engkau tinggalkan setiap perkara yang diharamkan Allah diatas cahaya dari Allah lalu engkau merasa takut akan hukuman dari Nya.”

Kemudian sebagian ulama lainnya ada yang menafsirkan makna Taqwa dalam untaian bait syair:

خل الذنوب صغيرها # و كبيرها ذاك التقى
و اعمل كماش فوق#أرض الشوك يحذر ما يرى
لا تحقرن صغيرة # إن الجبال من الحصى

Artinya:
Tinggalkanlah bagian terkecil dari dosa,
Dan dosa besar, itulah hakekat taqwa.
Beramallah bagai pejalan kaki diatas bumi,
Yang dipenuhi duri, maka dengan pengelihatannya ia pun berhati-hati.
Jangan kau remehkan dosa kecil,
Karena sesungguhnya gunung itu tersusun dari batu kerikil.

Sahabat Ali ra ketika menjelaskan tentang taqwa beliau berkata,

اَلتَّقْوَى: الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل

Bahwa Takwa adalah takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar Al Qur’an (At Tanjil), dan menerima (Qona’ah) terhadap yang sedikit dan bersiap-siap menghadapi hari akhir (hari perpindahan)

Tentang takwa pula terdapat percakapan indah dua sahabat Umar bin Khattab RA dan Ubay bin Ka’ab ini. Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”

Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa.”

Percakapan yang sarat akan ilmu. Bukan hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi kita yang mengaku manusia bertakwa ini. Menjadi orang bertakwa hakikatnya menjadi orang yang amat berhati-hati. Ia tidak ingin kakinya menginjak duri-duri larangan Allah SWT.

(Kitab Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullahu-).

Maka Bulan Ramadhan melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang bertakwa.

3. Ramadhan adalah Syahrul Ikhlas.

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari bulan Ramadhan, di dalamnya dilatih untuk selalu ikhlas dalam beramal. Yang dimaksud ikhlas adalah memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata. Maka pantaslah Ramadhan disebut Madrasah ikhlas.
Maka Ikhlas dalam beramal merupakan salah satu faktor dimana amal itu diterima oleh Allah,
Para ulama menjelaskan bahwa syarat amal ibadah diterima Allah ada dua,
1. Ikhlas semata mata karena Allah
2. Ittiba’ atau Mengikuti Petunjuk Rasulullah saw.

Hakikat puasa adalah amalan rahasia antara dia dengan Allah, yang mana pahala puasa tidak diketahui seorangpun kecuali Allah swt. Sebagaimana Hadits Nabi Riwayat Abu Hurairah ra, beliau bersabda,

كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به » [رواه الإمام البخاري في صحيحه)

“Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung ”. (HR Bukhari dalam Shahihnya: 7/226)

Maka puasa melatih diri untuk selalu ikhlas dalam beribadah hanya karena Allah, ia rela meninggalkan makan, minum dan syahwatnya semata mata ingin meraih ridho dan maghfirah Allah swt.

4. Ramadhan adalah Syahru As-Shabr.

Ramadhan melatih diri kita menjadi pribadi yang sabar. Sabar merupakan salah satu sifat orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sabar merupakan kunci kesuksesan seorang mukmin dalam mengarungi kehidupan. Secara langsung, puasa mengajarkan dan melatih kita bersabar. Bersabar untuk menahan lapar dan dahaga dari waktu fajar hingga terbenamnya matahari; sabar menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang membatalkan puasa; sabar dalam menjaga lisan dan menahan diri dari perbuatan yang sia-sia. Dengan demikian, puasa secara garis besar melatih seorang Muslim untuk bersabar dalam segala hal. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW, “Puasa itu separuh sabar.” (HR. Ibnu Majah)

Sabar bukanlah hal yang mudah, oleh karena itulah Allah menyediakan pahala yang tak terbatas bagi hamba hamba Nya yang senantiasa bersabar.
Firman Allah,

(قُلۡ یَـٰعِبَادِ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمۡۚ لِلَّذِینَ أَحۡسَنُوا۟ فِی هَـٰذِهِ ٱلدُّنۡیَا حَسَنَةࣱۗ وَأَرۡضُ ٱللَّهِ وَ ٰ⁠سِعَةٌۗ إِنَّمَا یُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَیۡرِ حِسَابࣲ)

Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.
[Surat Az-Zumar 10]

Nah, para ulama membagi sabar itu ada tiga macam yaitu:

a- Sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah,
b- Sabar dalam meninggalkan yang haram dan
c- Sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan.

Ketiga macam bentuk sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan puasa. Dalam puasa tentu saja di dalamnya ada bentuk melakukan ketaatan, menjauhi hal-hal yang diharamkan, juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa amalan puasa bisa meraih pahala tak terhingga sebagaimana sabar. (Lihat Lathoiful Ma’arif karya Ibnu Rajab, hal. 268-269)

5. Ramadhan adalah Syahrul Quran.

Ramadhan mengajarkan kita untuk rajin berinteraksi dengan Al Quran, karena Ramadhan adalah bulan Al Quran, dimana Al Quran diturunkan pada bulan suci tersebut, Sebagaimana firman Allah,

(شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ فِیهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدࣰى لِّلنَّاسِ وَبَیِّنَـٰتࣲ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ )

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)
[Surat Al-Baqarah 185]

Al-Qur’an merupakan sumber kemuliaan dan kekuatan bagi umat Islam. Melalui Al-Qur’anlah manusia mendapatkan kemuliaannya dan menemukan kebahagiaannya; baik di dunia maupun di akhirat. Adapun bentuk kemuliaan yang terpancar dari Al-Qur’an sangatlah jelas; karena ia sebagai kitab yang disucikan dan kitab yang dimuliakan, seperti yang disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya : “Dan demi Al-Qur’an yang Mulia,” (QS. Qaf:1),

Oleh karena Segala hal yang bersinggungan dengan Al Quran pasti akan memperoleh kemuliaan.

Kita bisa lihat Rangkaian kemuliaan yang terpancar dari Al-Qur’an itu sendiri dapat kita lihat melalui beberapa hal berikut;

a. Bahwa Zat yang menurunkan Al-Qur’an adalah Zat yang Karim, Zat yang Mulia yaitu Allah SWT;

b. Manusia pertama yang menerima Al-Qur’an adalah sosok paling mulia, dijuluki sayyidul anbiya wal mursalin (penghulu para nabi dan Rasul), bahkan beliau juga sebagai manusia yang paling mulia dari para nabi dan rasul serta seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini sehingga wajar beliau mendapatkan predikat khairul basyar (sebaik-baik manusia) yaitu Nabi Muhammad saw;

c. Tempat diturunkannya Al-Qur’an adalah tempat yang paling mulia di muka bumi ini, yang diberi julukan sebagai tanah haram (tanah yang disucikan), dan sebagai ummul qura (yaitu Makkah Al-Mukarramah.

d. Bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an adalah bulan yang paling mulia; yaitu bulan Ramadhan yang memiliki julukan sayyidus syuhur (penghulu bulan)

e. Malam diturunkannya Al-Qur’an juga merupakan malam yang paling mulia disisi Allah SWT yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan) seperti yang disebutkan dalam surat Al-Qadar: ayat 1-5; yaitu kemuliaan dan lailatul mubarakah (malam penuh keberkahan) seperti yang difirmankan Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3, dan menjadi malam yang sangat mulia yang disebut dengan lailatul qadar (malam kemuliaan) dan malam seribu bulan.

f. setiap hamba Allah banyak berinteraksi dengan Al-Qur’an; baik dengan membaca, memahami, menyimak, mentadabburi, menghafal dan mengamalkan kandungan isi Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, serta mengajarkannya kepada orang lain akan meraih kemuliaan yaitu menjadi Khairun Nas (Manusia terbaik).
Sebagaimana sabda Rasulullah saw bersabda:

خيركم من تعلم القرآن وعلمه

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mau belajar Al-Qur’an dan mau mengajarkannya”.(HR Bukhari)

Maka agar kita meraih kemuliaan dan keutamaan yang banyak dari Allah mari kita perbanyak interaksi dengan Al Quran, khususnya di bulan Ramadhan ini.
Maka Ramadhan mendidik kita di bulan suci ini agar kita menjadi Ahlul Quran.
Semoga Allah swt menjadikan diri kita, keluarga kita, masyarakat kita sebagai pribadi yang Qurani, Sehingga dapat memberikan manfaat dimanapun dan kapanpun kita berada.

Cibubur, Ahad 3 Mei 2020

Keutamaan Memberi Makan Orang Yang Berbuka Puasa

oleh : Kholid Mirbah, Lc

Sifat dermawan adalah salah satu sifat terpuji, ia merupakan salah satu sifat yang dapat mengundang kecintaan Allah dan Rasul-Nya yang merupakan salah satu sebab pemilik nya meraih segala kemudahan di dalam sendi Kehidupan, mudah rizkinya, mudah meraih kesembuhan, mudah meraih jalan keluar dalam menghadapi persoalan hidup.
Sebaliknya sifat kikir dan pelit dalam kebaikan adalah sifat yang mendatangkan kebencian dari Allah dan Rasul-Nya, menyumbat aliran rizki serta dapat memutuskan rantai keberkahan yang Allah turunkan untuknya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من يوم يصبح العباد فيه إلا ملكان ينزلان فيقول أحدهما اللهم أعط منفقا خلفا ويقول الآخر اللهم أعط ممسكا تلفا

Artinya: “Tidak satu hari pun dimana seorang hamba berada padanya kecuali dua Malaikat turun kepadanya. Salah satu di antara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang kikir.” (H.R. Bukhari).

Ketika berbicara tentang kedermawanan Nabi saw, sahabat Anas ra pernah bercerita,

مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الإسْلامِ شَيْئًا إلا أعْطَاهُ. قَالَ: فَجَاءَه رَجُلٌ (وفي رواية : سأل النبي صلى الله عليه وسلم غنما بين جبلين) فَأعْطَاهُ غَنمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَرَجَعَ إلَى قَوْمِهِ، فَقَالَ: يَاقَوْمِ، أسْلِمُوا، فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِى عَطَاءً لا يَخْشَى الْفَقر،وإنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيُسْلِمُ مَا يُرِيدُ إلا الدُّنْيَا، فَمَا يُسْلِمُ حَتَّى يَكُونَ الإسْلامُ أحبَّ إلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diminta sesuatu –demi untuk masuk Islam- kecuali Rasulullah berikan. Maka datang seseorang (dalam riwayat yang lain : Orang ini meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kambing sepenuh lembah diantara dua gunung) maka Nabi memberikan kepadanya kambing sepenuh lembah, lalu iapun kembali kepada kaumnya dan berkata, “Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad memberi pemberian tanpa takut kemiskinan sama sekali, Sungguh seseorang masuk Islam tujuannya hanyalah untuk mendapat harta duniawi, maka tidaklah ia masuk Islam hingga akhirnya Islam lebih ia cintai daripada dunia dan seisinya” (HR. Muslim).

Begitu pula para Sahabat Nabi saw, meskipun mereka mendapatkan jaminan surga, mereka adalah generasi terdepan di dalam kebaikan terutama dalam memiliki Sifat kedermawanan.

Dikisahkan bahwa Thalhah bin Ubaidillah menceritakan suatu hari datang pembagian harta dari Hadhramaut sebesar 700 ribu dirham (senilai 70.000 dinar/29,75 Kg emas). Malam itu, Thalhah tidak bisa tidur karena gelisah. Melihat kondisi Thalhah, sang istri Ummu Kultsum binti Abu Bakar Al-Shiddiq bertanya, “Ada apa denganmu?”

“Sejak tadi malam aku berpikir dan berkata kepada diriku sendiri. Apa pikiran hamba kepada Tuhannya, jika malam ini dia tidur dengan harta sebanyak ini ada di rumahnya? Jawab Thalhah.

“Bukankah engkau memiliki banyak saudara. Jika pagi telah terbit, letakkan harta tersebut di atas nampan dan wadah, lalu bagikan,” kata sang istri memberikan jalan ke luar.
“Engkau benar, Muwafiqah binti Muwafiq, semoga Allah merahmatimu.”
Maka ketika pagi menjelang, Thalhah pun membagi-bagikan harta tersebut kepada kaum Muhajirin dan Anshar.
Subhanallah begitu luar biasa para Sahabat Nabi saw, ketika mereka mendapatkan kelebihan harta, mereka tidak memperkaya diri sendiri, justru mereka ingat bahwa dalam harta mereka terdapat hak bagi yang membutuhkan untuk di salurkan.

Khususnya bulan Ramadhan ini kita dianjurkan untuk menjadi pribadi yang dermawan, dan diantara bentuk dari sifat kedermawanan adalah memperbanyak Sedekah makanan bagi orang orang yang buka puasa.

Begitu banyak pintu-pintu kebaikan di bulan Ramadhan, dan tidak ada sedekah terbaik yang lebih agung dibulan suci ini selain memberi makan orang yang berbuka puasa, khusunya bagi kalangan fakir dan orang-orang yang membutuhkan. Oleh karenanya, Allah swt memotivasi kita untuk memperbanyak panen kebaikan dengan cara banyak bersedekah di bulan Ramadhan, karena diantara karakteristik bulan ini adalah bulan cinta dan kasih sayang.
Mengenai keutamaan memberi makanan berbuka puasa Rasulullah saw bersabda :

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا) . صححه الألباني في صحيح الترمذي .

“Siapa yang memberi makan berbuka kepada orang yang sedang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikitpun juga.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi)

Hadits ini berlaku umum, baik yang berpuasa itu orang kaya atau miskin, termasuk apakah dia kerabat atau selainnya.(Faidhul Qadir, Al-Munawi, penjelasan hadits no. 8890.)

Dan memang memberi makan kepada pihak yang membutuhkan memiliki kedudukan yang tinggi di dalam islam. Allah menjadikan amalan memberi makan merupakan salah satu cara penebusan kaffarat dan bentuk pembayaran fidyah, maka orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, Orang yang berusia lanjut yang tidak mampu berpuasa maka ia wajib membayar fidyah dengan cara memberi makan orang miskin disetiap harinya. Sebagai mana firman Allah :

وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Al Baqarah 184).

Begitu pula melakukan hubungan intim suami istri di siang hari bulan Ramadhan, maka pelakunya wajib membayar kaffarat dengan cara memberi makan 60 orang miskin jika ia tak mampu menebus nya dengan puasa dua bulan berturut-turut, dan juga kaffarat sumpah palsu diantara bentuk tebusan nya adalah memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian untuk mereka.
Bahkan memberi makan kepada orang lain salah satu amalan yang memudahkan seseorang masuk ke dalam surga. Nabi Saw bersabda :

يا أيها الناس أفشوا السلام أطعموا الطعام وصلوا الأرحام وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام

Wahai manusia, tebarkalah salam, dan berikanlah makan, sambung tali Rahim, sholat malamlah ketika manusia tidur, maka engkau pun kan masuk surge dengan keselamatan (HR. Tirmidzi)

Dan diantara keutamaan memberi makan orang lain adalah bahwa ia termasuk amalan yang paling dicintai Allah swt. Nabi Saw bersabda :

عن عبد الله بن عمرو أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم : أي الإسلام خير ؟ قال : ” تطعم الطعام وتقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف ” .

Artinya: Dari Abdullah bin Amr, bahwa seorang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Islam yang bagaimana yang lebih utama? Maka beliau menjawab, “Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal. (HR. Bukhari).

Dan yang paling penting diantara keutamaan memberi makan kepada orang lain adalah memperoleh keselamatan dari malapetaka di hari kiamat. Allah swt ingatkan hal tersebut di dalam Al-Quran.

(وَیُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِینࣰا وَیَتِیمࣰا وَأَسِیرًا إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِیدُ مِنكُمۡ جَزَاۤءࣰ وَلَا شُكُورًا إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا یَوۡمًا عَبُوسࣰا قَمۡطَرِیرࣰا فَوَقَاهُمُ ٱللَّهُ شَرَّ ذَ ٰ⁠لِكَ ٱلۡیَوۡمِ وَلَقَّاهُمۡ نَضۡرَةࣰ وَسُرُورࣰا)

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan,(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.
Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan.” (Surat Al-Insan 8-11)

Dan diantara potret kehidupan Salafus Shalih di dalam kebaikan adalah mereka generasi yang bersemangat di dalam memberi sedekah makanan kepada orang lain, khususnya di bulan suci ramadhan, bahkan diantara mereka ada yang mendahulukan kebutuhan makanan saudaranya dibanding kebutuhan makanan pribadinya sendiri, padahal ia sendiri sangat membutuhkan nya, mereka lakukan hal itu semata mata mengharap ridho dan pahala dari Allah swt.

Diantara mereka adalah Abdullah ibnu Umar, Malik bin Dinar, Ahmad bin Hanbal, bahkan Ibnu Umar ra tidaklah mau berbuka kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin bahkan bisa jadi tak mau berbuka jika keluarganya menolak mereka pada malam itu. (Ibnu Rajab dalam kitab Ikhtiyarul Aula fi syarhi haditsi ikhtishamil mala’il a’la, 78)

Diantara mereka ada yang ada yang berbuka bersama pembantu pembantu mereka dan memberikan keringanan beban pekerjaan kepada mereka khusus di bulan Ramadhan, diantara nya adalah Hasan dan Abdullah Ibnu Mubarak. (Tadzkirotul Ikhwan bi Hadyi an-Nabi saw was Salaf fi Ramadhan, 21).

Abu Siwar Al Adawi berkata : Ada beberapa orang dari bani Adi yang sholat di masjid, salah seorang dari mereka tidak mau berbuka sendirian, kecuali ia berbuka bersama orang lain, atau ia orang lain berbuka bersamanya. (Ibnu Rajab, Ikhtiyar Aula fi syarhi haditsi ikhtishamil mala’il a’la, 79)

Yunus bin Yazid berkata : Dulu Ibnu Shihab Az-Zuhri ketika tiba bulan Ramadhan maka aktivitasnya hanya membaca Al-Quran dan memberi makan orang berbuka. (Ibnu Abdil Bar dalam kitab At-tamhid, 6/111)

Dulu Imam Hammad bin Sulaiman (Guru Abu Hanifah) biasa memberikan makanan iftar dibulan Ramadhan sebanyak 500 orang, dan ketika tiba hari raya idul fitri beliau memberi sedekah setiap dari mereka sebanyak 100 dirham. (Siyar alam Nubala 5/334)

Dan perlu diingat bahwa sedekah yang kita keluarkan tadi tidak akan mengurangi harta kita, bahkan diganti Allah dengan harta dan pahala yang berlipat ganda, karena
terkadang Allah membuka pintu rizki yang luas dari harta yang disedekahkan. Sebagaimana terdapat dalam hadits,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim).

Maksud hadits di atas sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah:

1) Harta tersebut akan diberkahi dan akan dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan secara inderawi dan kebiasaan.

2) Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang amat banyak. (Syarh Shahih Muslim, 16: 128).

Mudah-mudahan kita diberikan kemudahan oleh Allah swt untuk mendermakan sebagian harta kita dibulan Ramadhan, khususnya dalam memberikan sedekah makanan bagi orang yang sedang berbuka, dengan harapan kita pahala dan surga di sisi Allah swt.

Cibubur, 1 Mei 2020

Ramadhan-Quran

Keadaan Salafus Shalih Di Bulan Ramadhan

Oleh Al Ustadz Khalid, Lc Hafidzahullah.

Allah swt memberikan banyak sekali keutamaan dan kebaikan di bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan adalah bulan taubat, pengampunan, penyucian jiwa, penghapusan dosa dan kesalahan, pembebasan dari siksaan neraka, terbukanya pintu-pintu surga, tertutupnya pintu-pintu neraka, terbelenggunya setan, terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu malam, bulan penuh dengan kebaikan, kedermawanan dan doa doa yang terkabul.

Oleh karena itu, para salafus shalih tidak menyia-nyiakan musim kebaikan tersebut, sehingga mereka berlomba lomba beribadah dan bersungguh sungguh dalam beramal shalih dalam rangka untuk meraih ridho dan pahala dari Allah swt.

Sebelum kita membahas tentang keadaan salafus shalih di bulan Ramadhan maka alangkah baiknya kita terlebih dahulu menilik keadaan Qudwah kita dan Qudwah Salaf Shalih yaitu Baginda kita Nabi Muhammad saw di bulan Ramadhan. Al Imam Ibnu Qayyim berkata “Diantara sebagian petunjuk Nabi saw di bulan Ramadhan adalah memperbanyak variasi ibadah, dulunya Jibril as gemar mengajari Nabi saw Al Quran dibulan Ramadhan, dan Jibril mendapati Nabi saw lebih dermawan dari angin yang berhembus, beliau adalah sosok yang paling dermawan dibanding yang lain, terlebih lagi di bulan Ramadhan, beliau memperbanyak Sedekah, berbuat baik, membaca Al – Quran, shalat, zikir dan I’tikaf, beliau sangat mengistimewakan bulan Ramadhan dengan semangat ibadah dibanding bulan bulan yang lain, sehingga tidak terlewatkan sedetikpun waktu siang dan malam beliau kecuali diisi dengan ibadah (Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Juz 2/30).

Salafus Shalih kita begitu sangat memperhatikan bulan Ramadhan, mereka bersungguh sungguh untuk mengisi hari hari mereka dengan berbagai ketaatan dan amal shalih. Mereka adalah generasi terdepan didalam kebaikan, terdepan dalam bertaubat kepada Allah swt.

Nah, Bagaimana kesungguhan Salafus Shalih dalam aktivitas ibadah di bulan Ramadhan?

1. Salafus Shalih bersama Al -Quran di bulan Ramadhan.

Kita telah dapati pemandangan yang sangat menakjubkan bagaimana interaksi mereka terhadap Al Quran selama bulan Ramadhan, mereka adalah sosok yang menaruh perhatian yang besar terhadap Al Quran Khusus nya dibulan Ramadhan.
Lihatlah Imam Bukhari ra ketika tiba malam pertama bulan Ramadhan, beliau menjadi Imam shalat bersama Sahabat-sahabat nya, lalu beliau membaca 20 ayat disetiap Rakaat nya sampai mengkhatamkan Al-Quran. Beliau membaca Al Quran di waktu Sahur antara sepertiga sampai setengah Al Quran, sampai beliau menghatamkannya ketika datang waktu berbuka disetiap harinya. Lalu beliau berkata : Setiap selesai Khataman Al Quran terdapat doa yang mustajab (Sifatus Shafwah Juz 4/170).

Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i Menghatamkan Al Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 Kali selain yang beliau baca dalam shalatnya. Sebagaimana hal itu disampaikan imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman (Sifatus Shafwah Juz 2/255).

Terkadang kita mendapati kerancuan karena adanya riwayat dari Nabi tentang larangan bagi orang yang mengkhatamkan Al Quran kurang dari 3 hari, Kenapa mereka malah menyelisihi larangan tersebut?

Maka Ibnu Rajab Al Hanbali menjawab bahwa larangan tersebut berlaku apabila dilakukan terus menerus, adapun di waktu waktu yang agung seperti bulan Ramadhan terkhusus malam 10 terakhir ramadhan yang didalamnya terdapat malam Lailatul Qadar atau di tempat tempat yang agung seperti memasuki kota makkah maka ini sangat dianjurkan memperbanyak khataman Al Quran sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu dan tempat yang suci tersebut.

2. Salafus Shalih ketika menghidupkan Qiyam Ramadhan.

Qiyamul lail adalah tradisi orang-orang shalih, perniagaan orang-orang beriman dan amalan orang-orang yang beruntung. Di malam hari seorang mukmin berkhalwat bersama Tuhannya, berdoa, bermunajat serta mengadukan permasalahan hidup kepada sang Khaliq.

Al-hafidz Imam Az Zahabi bercerita tentang Muhammad Al Labban :
“Beliau pernah mendapati bulan Ramadhan di tahun 427 H di Baghdad, beliau sholat tarawikh bersama orang-orang dalam setiap malamnya selama sebulan penuh. Dan beliau jika sudah selesai sholat, maka senantiasa beliau sholat hingga waktu subuh. Jika sudah sholat subuh, maka beliau melanjutkannya dengan membuka majlis bersama sahabat-sahabatnya. Beliau pernah berkata, “ Aku tidak pernah meletakkan pinggangku untuk tidur selama sebulan ini baik siang atau pun malam “.[Tarikh al-Islam : juz 1/3145].

Diriwayatkan oleh Saib bin Yazid bahwasanya Khalifah Umar bin Khattab ra memerintahkan Ubay bi Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk membangunkan orang-orang supaya Qiyam Ramadhan, lalu sang Imam pun membaca surat surat miun (yang ayatnya berjumlah 100 lebih), sampai saking letihnya kami dari lamanya berdiri, kamipun sampai berpegangan tongkat, kamipun baru selesai darinya ketika menjelang subuh (Riwayat Imam Baihaqi dalam Sunan-nya).

Diriwayatkan dari Malik dari Abdullah bin Abu Bakar berkata, bahwasanya aku mendengar ayahku berkata : Kami selesai menunaikan Qiyam Ramadhan, maka pembantu kami tergesa gesa memasakkan kami makanan khawatir tiba waktu subuh. (Al- Muwatta’ karya imam Malik).

Diriwayatkan oleh Daud bin Hushain dari Abdurrahman bin Hurmuz, beliau berkata : Imam shalat Kami Mengimami kami 8 rakaat dengan membaca surat Al Baqarah, ketika ia mengimami kami 12 rakaat dengan bacaan yang sama, maka orang-orang menganggap bahwa sang Imam meringankan beban mereka.(Riwayat Imam Baihaqi dalam Sunannya).

Oleh karena itu mari kita pergunakan kesempatan bulan Ramadhan ini untuk menuai pahala sebanyak-banyak nya dengan kesungguhan ibadah dan memperbanyak amal shalih jangan sampai kita sia-siakan kesempatan emas ini karena belum tentu kita bisa bertemu ramadhan tahun depan, bahkan bisa jadi ini bulan Ramadhan terakhir kita, makanya Al Imam Ibnu Qayyim mengingatkan betapa bahayanya perbuatan menyia-nyiakan waktu

إضاعة الوقت أشد من الموت لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها

Menyia-nyiakan waktu itu lebih dahsyat dari kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutuskan mu dari Allah dan negeri akhirat sedangkan kematian hanya memutuskan mu dari dunia dan penghuninya.

Semoga Allah menerima seluruh ibadah yang kita tunaikan selama Ramadhan ini dan mudah-mudahan Allah swt jadikan bulan Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan terbaik dalam hidup kita

Teladan Generasi Hebat Dalam Membaca Al Quran

Alquran memiliki hubungan erat dengan bulan suci Ramadhan karena Alquran pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan (QS al-Baqarah: 185). Keutamaan suatu hari atau bulan biasanya disebabkan adanya peristiwa yang terjadi pada hari atau bulan tersebut.

Oleh sebab itu, Rasulullah lebih sering dan lebih banyak membaca Alquran pada bulan ini dibandingkan bulan-bulan lainnya. Bahkan, Malaikat Jibril pun turun langsung untuk me-murajaah atau mengecek bacaan Alquran beliau.

Imam Azzuhri mengatakan, “Amalan yang afdhal pada bulan Ramadhan setelah amalan puasa adalah tilawatul Quran.” Atas dasar hubungan inilah, umat Islam sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang mengkhususkan sebagian besar waktunya pada Ramadhan untuk tilawatul Quran.

Utsman bin Affan radiyallahuanhu mengkhatamkan Alquran setiap hari, sebagian sahabat lainnya mengkhatamkannya dalam tiga hari. Ada yang mengkhatamkannya setiap 10 hari sekali. Qatadah selalu, mengkhatamkannya dalam sepekan selama Ramadhan setiap tahun.

Imam Syafii mengkhatamkannya 60 kali selama Ramadhan, selain bacaan dalam shalat. Imam Malik kalau sudah memasuki bulan Ramadhan meninggalkan membaca hadis dan mengkhususkan untuk memperbanyak tilawatul Quran.
Demikian juga Sufyan ats-Tsauri mengkhususkan membaca Alquran dan mengurangi ibadah-ibadah sunah lainnya.

Maka moment Ramadhan hendaknya mari kita jadikan sebagai Syahrul Quran, kita perbanyak berinteraksi dengan Al Quran di dalamnya agar predikat ketaqwaan mudah kita raih.

Dan ini sebagian potret kegiatan santri kami di Ma’had Al Itqan Islamic Boarding School, meski sedang menjalani masa liburan, Santri kami Abdullah Al Harits (Fajar Munawwar) sedang terlihat asik membaca dan menghayati untaian demi untaian kalam ilahi bersama kawan kawan nya di masjid di kampung halamannya, terdengar lirih merdu lantunan ayat Al-quran yang dibaca. Mudah mudahan kita dan keluarga kita, Allah jadikan sebagai Hamba hamba-Nya yang selalu dekat dengan Al Quran dengan harapan meraih syafaat-Nya pada hari kiamat nanti.

 

Oleh: Ust Khalid Mirbah, Lc

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?”       (Q.S. Fushilat : 33)

Mailing form

    Kontak Kami

    Jl. Kranggan Wetan No.11, RT.1/RW.5, Jatirangga, Jatisampurna, Kota Bks, Jawa Barat 17434

    0852-1510-0250

    info@tanmia.or.id

    × Ahlan, Selamat Datang!